Rabu, 10 Juni 2015

Kado Ulang Tahun



Hari ini yang terasa adalah bahwa kita telah dewasa dan kerap mengambil jarak sendiri-sendiri meski kita pernah terbenam dalam wangi ketuban yang sama di dalam rahim yang sama pula. Kau sedang bahagia di usiamu yang ke-45 tahun sedangkan aku tiba-tiba saja dihadapkan pada sebuah lembaran memori masa kanak yang terasa spesial karena ini berkaitan langsung denganmu. Barangkali karena ada dorongan besar dan intim dari dalam diriku, kisah tentangmu menyeruak begitu saja dan membuatku kagum bahwa ia masih terjaga di kedalaman memori yang rahasia. Barangkali ini cinta.

Ketika aku lahir, kau sudah pergi dari rumah dan tinggal di sebuah asrama yang isinya lelaki semua. Di sana kau menemukan bakat dan keasyikan tersendiri dalam dunia tulis menulis. Sembari kau asyik bermain sepak bola dan mengenang cinta pertamamu. Barangkali ada juga namaku di dalam buku harianmu.

Kuingat kau pertama kali tidak sebagai kakak tapi seorang tamu atau saudara jauh yang singgah ke rumah ketika musim liburan, dengan tubuh kurus semampai lalu lenyap begitu saja ketika waktu liburan usai. Tak ada jejak yang berarti. Ketika aku SD, kutahu kau sebagai kakak sulungku. Kini hadir dengan tanda yang lebih pasti dan mudah kuingat, kau hadir dengan sebuah jubah putih. Kau lantas menjadi lebih bercahaya barangkali terefleksikan dari pembawaanmu yang kalem dan tentu saja semua orang menghormati anak seminari sebagai anak Tuhan yang disapa dengan amat lembut sebagai frater. Saudara. Kau hanya mampir ke rumah setahun dua kali dan lebih banyak menghabiskan waktu di gereja tapi diam-diam kusimpan rasa kagum padamu. Ketika kau hadir di gereja dengan jubah putihmu, aku akan bisik-bisik ke teman karibku, lihat dia itu kakak sulungku, dia ganteng dan keren kan? Teman karibku akan mengangguk setuju dan tertinggal rasa puas yang memuncak di dadaku.

Ayahku jarang sekali membicarakan kakak sulungku. Hanya ibu yang sesekali memuji kakakku di depan aku dan ayah. Kata ibu, anak sulungnya ganteng karena warisan darinya. Lihat saja senyum, mata dan warna kulitnya. Ibu juga memuji huruf kakak sulungku yang rapi, lagi-lagi ibu bilang huruf itu sama dengan hurufnya. Ayah hanya diam. Tentu ibu tidak sedang mengejek ayah. Tapi faktanya kakaku memang lebih mirip ibu. Jika ia mirip ayah, barangkali terkait sikapnya yang bijaksana, batinku. Dari ibu juga aku tahu bahwa kakakku jago menulis. Pembuktiannya beberapa waktu kemudian setelah ia makin rajin mengirimi kami majalah atau buletin dari seminari yang di dalamnya ada tulisan-tulisan dia. Aku tak terlalu mengerti isinya yang serba teologis dan filsafat itu tapi kupercayai kakakku itu pintar. Karena alasan itulah ibu selalu membanding-bandingkan aku dengannya misalkan ketika aku malas belajar dan lebih suka menghabiskan waktu beberapa caturwulan hanya dengan menggambar dan menghayal. Soal menghayal, semua orang di rumah tak mengetahuinya, itu rahasiaku.

Tapi hanya mengangumi saja tidak cukup. Bukan kakakku namanya jika ia kemudian menjadi aneh di hari kemudian (ya, aku anggap begitu). Mungkin karena aku tidak dilihatnya lagi sebagai anak bungsu yang manja. Ia mulai sedikit memaksa dan menggertakku ketika aku menolak diajak bermain sepakbola dan gitar. Aku hanya merasa bahwa kedua aktivitas itu aneh sedangkan aku lebih suka membaca, menggambar dan menghayal. Kakaku mulai membawa aturannya dari seminari ke rumah. Ia menyeretku ke dalam budaya disiplin yang jelas-jelas kutolak.  Bayangkan, aku anak bungsu yang menikmati hidup enak bersama ayah dan ibu ketika semua saudaraku sudah pergi, dan tiba-tiba ada kakakku yang lain, yang jarang pulang ke rumah tapi sok mengaturku. Ia pernah memarahiku ketika aku tak bisa berkonsentrasi saat ia ajari cara meditasi. Tapi kejengkelanku terhadapnya cuma sesaat saja. Ketika hari Minggu dan kulihat ia berjubah putih, rasa kagum itu terbit lagi. Aku senang ketika ia datang bersama beberapa orang temannya, mereka berjubah putih, bersuara merdu dan piawai main gitar. Aih, mereka sudah seperti malaikat saja, bisikku kepada salah satu kawan karib. Kawanku mengangguk setuju dan aku bahagia. Dia itu kakakku!

Beberapa tahun kemudian aku mendengar bahwa kakakku akan ditahbiskan menjadi imam. Seluruh keluarga berkumpul, pesta besar akan dirayakan. Ayah membelikan aku dan dua kakak lelakiku yang lain kemeja kedodoran yang kerahnya bertuliskan ‘kenzie. made in japan’ di acara spesial itu. Ketika mendapat tugas perdana sebagai pastor, ia mengirim berdus-dus bukunya ke rumah. Saat itu juga ia mulai mengajakku surat-suratan yang sesekali ia tulis dalam bahasa Inggris. Suatu ketika aku menemukan sebuah buku catatan harian di dalam salah satu dus miliknya. Hurufnya memang rapi dan ada banyak puisi di dalam sana. Aku lancang karena mengambil buku harian dan beberapa surat kepada sahabanya di Jerman tanpa izin. Benar saja, ia menulis puisi untuk cinta pertamanya juga untuk aku yang disebutnya sebagai bayi mungil yang lucu. Beberapa waktu kemudian, puisi pertamaku muncul di majalah dinding sekolah dan mendapat sambutan positif dari teman dan guruku. Buku harian itu yang mendorongku untuk menulis puisi. Surat-surat dari sahabat penanya di Jerman dalam bahasa Inggris membantuku juga untuk belajar menulis surat sederhana dalam bahasa Inggris.

Semakin bertambah usia, cara pandangku terhadapnya makin bertambah kompleks. Ia seorang yang berkali-kali bilang padaku bahwa talenta besar ada dalam diriku.  Ketika ia sedang studi S2 di Roma sedangkan aku sedang kuliah di Jogja, ia mengirim surel padaku yang isinya kira-kira begini, “kau punya bakat besar dalam tulis menulis. Satu talenta diberikan padamu maka satu tanggungjawab besar menyertainya.” Ia mengajariku untuk tidak sombong dan bahwa setiap talenta dari Tuhan harus memberikan manfaat juga bagi orang lain. Aku memegang perkataan itu hingga kini. Ketika cinta dan dukungannya tak pernah padam. Jangan lupa berdoa, pesannya.

Aku menulis ini ketika ia berulang tahun yang ke-45 dan aku sedang berusaha belajar menyelami rahasia kerahiman ilahi yang pernah ia tularkan padaku. Ini kado untukmu, kakak.


Kupang, 9 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...