Jumat, 08 Mei 2015

Saya Sempat Kaget dengan Nilai-Nilai yang Diterapkan GMB

Sebelum meninggalkan Bandungan


Catatan refleksi Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2015 (Bagian 2)

Jika pada tulisan pertama tentang GMB saya menulis tentang motivasi awal saya mengikuti youth adventure dan youth leaders forum, maka pada bagian kedua ini saya ingin berbagi pengalaman saya tentang acara youth adventurenya GMB yang tahun ini dimulai dari Semarang menuju Jakarta.
Pesawat saya tiba di kota Semarang 70 menit sebelum batas waktu konfirmasi kehadiran ke panitia. Saya beruntung karena tidak nyasar menuju ke lokasi acara. Beberapa orang teman peserta GMB2015 asal Semarang sudah memberikan sedikit gambaran tentang akses saya dari bandara menuju lokasi acara. Terima kasih Jeanne dan Agus.
Saya tiba di lokasi acara dan hampir semua peserta sudah berkumpul. Saya disambut panitia dengan sangat ramah di meja registrasi, mereka yang nantinya saya kenali sebagai Soni dan Arnal. Ada juga Agustina di meja lainnya yang agak sok jutek gitu deh hahaha. Urusan belum beres karena saya tidak membawa telur bebek. Yap, salah satu syarat bagi peserta adalah membawa telur bebek mentah dari kota asal masing-masing. Tahu sendiri telur bebek itu susaaaah dicari di Kupang. Beruntung ada Ivan peserta dari Jakarta yang mau memberikan telur bebeknya untuk saya. Telur ini akan kami bawa selama perjalanan youth adventure dari Semarang ke Jakarta dan tidak boleh pecah. Saya sudah membayangkan harus naik truk tapi juga harus menjaga telur dalam tas saya agar tak pecah. Ah seru juga nih. Setelah mengobrol sebentar dengan Petrus dan Zumaro, akhirnya saya mendapat kelompok untuk melakukan tantangan pertama dari panitia. Bersama dengan Agus dari Semarang, Tasya dari Jakarta, Zumaro dari Bangka Belitung tapi sedang kuliah di Jogja, dan Firman dari Makassar, kami dikasih uang Rp.75.000 untuk membeli bahan makanan untuk makan malam kami dalam waktu 15 menit. Menurut panitia, bahan makanan itu akan kami olah untuk makan malam kami beserta dua tamu rahasia. Dengan sigap kami langsung menuju ke Indomaret di depan meeting point. Setelah membeli mie, telur, margarin, dsb, kami memutuskan untuk berbagi tugas. Tasya dan Zumaro melanjutkan belanja di Indomaret, saya, Agus dan Firman harus mencari beras. Kami tak habis akal, di sebuah warung kami sepakat untuk merayu si ibu pemilik warung agar merelakan 1kg berasnya untuk kami beli seharga 10 ribu. Si ibu mau, syukurlah. Singkatnya kami selesai belanja di waktu kurang dari 15 menit dan kelebihan uang beberapa ratus rupiah. Oya, sayur kangkung dan tempe kami dapatkan di sebuah swalayan terdekat.
Sorenya kami langsung bergerak ke sebuah wisma di Bandungan yang mirip sekali dengan Kaliurang atau Megamendung di Bogor. Di kaki gunung yang subur dan berhawa sejuk. Interaksi dengan peserta terus berlanjut. Suatu kehormatan, saya peserta yang paling tua berada dengan anak muda lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Dari Aceh hingga Papua. Mereka umumnya mahasiswa tapi bukan sembarang mahasiswa. Ada yang nyambi sebagai penyiar, aktivis kampus, aktivis sosial, traveler, banyak.
Acara dibuka oleh sang inisiator GMB, yang awalnya saya sebut Pak Azwar, tapi di GMB semua lebih akrab memanggil beliau Bang Az. Sosok yang sangat luar biasa inspiratif. Pengalamannya yang banyak dan jejaring sosialnya yang luas, mendorongnya untuk membuat sebuah gerakan mari berbagi bersama inspiring leaders lainnya. Seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya. Semua berdasar cinta sekaligus resah terhadap Bangsa ini. Saya salut bahwa setelah gerakan ini pertama kali dilakukan tahun 2012, ada banyak sekali kemajuan, melinbatkan banyak orang yang secara sukarela bergabung, menyumbang pikiran dan tenaga. Membiayai sendiri perjalanan mereka untuk datang berkumpul dan satu lagi bersedia berbagi ilmu tanpa dibayar! Lantas, nilai apa yang ingin dibangun, ingin dicari? Kita melihat hari ini, integritas adalah hal yang sulit ditemui dalam diri pemimpin kita. Hari ini kita melihat bahwa toleransi adalah barang yang mahal, bahwa perbedaan agama, warna kulit, rambut, ras, gender, dll bisa membawa pertikaian. Bang Az, para board member lainnya, para relawan, inspiring leaders yang selama tiga tahun terakhir bahu membahu memperjuangakan semuanya, dimulai dari hal-hal kecil, dari aktivitas kecil: di keluarga besar Gerakan Mari Berbagi (GMB), di Youth Adventure dan Youth Leaders Forum.
Makan malam bersama Richard Cronin

Ketika bergabung dengan GMB, nilai disiplin, kejujuran, menghargai perbedaan secara jelas ditegakkan dari aktivitas-aktivitas kecil. Di hari pertama, malu juga ketika saya terlambat ikut olahraga pagi atau ketika selesai makan saya tidak mencuci piring. Sekali kejadian itu, bekasnya saya rasakan hingga sekarang. Sepanjang kegiatan GMB2015, saya selalu mewanti-wanti diri saya untuk tidak telat, jujur, dan menghargai orang lain.
Oya malam itu kelompok saya sukses memasak nasi di peralatan memasak ala pendaki gunung yang super simple itu. Menu lainnya adalah tumis kangkung dengan tempe dan martabak mie. Makan malam sederhana dan penuh kekeluargaan terlaksana juga. Ada kak Suraiya Kamaruzzaman, seorang aktivis perempuan asal Aceh yang baru saja meraih penghargaan Yap Thiam Hien. Beliau salah satu board member GMB, sangat keibuan dan tulus. Ada juga Richard Cronin, tamu spesial GMB yang setiap tahun selalu hadir secara sukarela dari Australia untuk berbagi ilmunya.
Jumat, 24 April setelah sholat Jumat kami harus dipisah-pisah kelompok untuk mulai melakukan perjalanan ke Jakarta. Ini menariknya. Saya sekelompok dengan Fauzan, anak Padang yang kini menetap di Bandung dan bekerja di Indosat. Teman lainnya adalah Ani Mariani, keturunan Jawa yang lahir besar di Lampung tapi kini sedang kuliah di Kalimantan. Kami bertiga harus pergi ke Jakarta dengan uang Rp.100.000 per orang, tapi dengan beberapa catatan. Pertama, harus mampir ke kota Batang untuk merasakan hidup ‘tangan dibawah’. Pokoknya harus merasakan bagaimana jadi orang kecil dan survive selama di Batang, lalu kami harus bergerak ke kota berikutnya yakni Pemalang. Di kota ini kami harus melakukan tugas ‘tangan di atas’, artinya dalam keterbatasan sekalipun kami harus berbagi sesuatu, tidak harus materi, ke orang-orang sekitar. Kedengaran simpel tapi juga tidak gampang untuk dilakukan. Ada banyak strategi dalam kelompok yang harus kami bicarakan. Dinamikanya menarik sebab masing-masing kami punya kadar ego, datang dari kebiasaan yang berbeda, nilai dan cara memandang hidup juga pasti ada bedanya. Hal itu juga menjadi konflik tersendiri yang mau tak mau harus kita olah. Kedua, kami harus menjaga telur kami masing-masing jangan sampai pecah. Ketiga, kami dibekali 9 pcs kaos oblong seharga 50 ribu, bisa kami gunakan sebagai modal dalam perjalanan untuk bisa survive. Artinya kaos tersebut bisa kami jual dengan harga lebih dari 50 ribu sehingga keuntungannya bisa kami pakai untuk membeli makanan atau untuk trasportasi. Keempat, antar kelompok tidak boleh saling bicara jika berpapasan selama perjalanan. Kelima, soal mengedepankan nilai integritas. Kami tidak boleh menggunakan uang pribadi selain uang 100ribu yang diberikan panitia. Oke, dompet, ATM dan kartu kredit peserta memang tidak disita panitia, tapi kami pun secara langsung atau tidak juga sedang dilatih untuk jujur pada diri sendiri dan pada anggota kelompok. Lucunya ketika tiba di Batang, saat hujan dan kami mulai kelaparan, kaos yang ingin kami jual di Alun-alun Batang tidak laku. Kami berinisiatif untuk menawarkan jasa cuci piring dengan imbalan nasi kepada beberapa pemilik warung tapi tetap ditolak. Fauzan berkali-kali memikirkan ATM dan kartu kreditnya. Kami tertawa dalam kesedihan karena perut lapar. Orang-orang sedang asyik menikmati makan malamnya sementara kami duduk kebingungan dibawah gerimis. Ini momen pertukaran peran hidup yang sulit. Saya membayangkan diri saya sedang asyik makan sementara di luar sana, ada gelandangan yang perutnya kosong duduk termenung di trotoar. Kami akhirnya memutuskan untuk beristirahat di masjid raya Batang.
Saat dari Semarang menuju Batang, modal 300ribu kami sudah berkurang 45ribu untuk ongkos bus ekonomi. Harga itu bisa kami dapatkan setelah merayu sang kondektur untuk menurunkan harga dari 25ribu per orang menjadi 15 ribu per orang. Kondekturnya baik. Selama di perjalanan kami mengobrol, ditemani istrinya yang baru saja pulang kerja. Di deret belakang bus, kami menikmati sebuah roti moka bertiga, yang saya bawa dari pesawat. Sementara si bapak kondektur dan istrinya sedang mesra-mesraan di deret sebelah. Hujan deras pula. Uhui.


sumber foto: facebook Gerakan Mari Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...