Jumat, 08 Mei 2015

Pak Bram: Beragama itu Urusan Privat, Toleransi Jauh Lebih Penting


Catatan reflektif GMB Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2015 (Bagian 3)
Pak Bram dan Fauzan

Di Masjid Batang saya merasa seperti orang asing. Tidak biasanya saya berada di masjid. Barangkali ini pertama kali saya yang Katolik bisa duduk lama di masjid. Fauzan sedang sholat dan saya yang sedang kikuk akhirnya bergabung dengan Ani yang sudah duluan mengobrol dengan dua orang bapak di pelataran masjid. Ani bercerita tentang GMB dan tantangan yang sedang kami lalui. Di kepala saya ada kekhawatiran, jika kemudian bapak-bapak itu marah kepada kami karena misalnya Ani berjalan dengan dua teman pria yang bukan suaminya. Ah di kepala saya, stereotip itu kuat banget. Nyatanya tidak. Tiba-tiba datanglah 3 pemuda tipikal ‘islam banget’ maksud saya yang memakai baju koko, celana nanggung sebatas betis, berjenggot dan memakai topi bulat di kepala. Secara santun mereka bilang, “Apakah anda dari GMB? Itu pak Bram mengundang anda sekalian untuk makan malam di sana,” ujar salah satu pria sambil menunjuk ke arah warung lesehan di sisi barat alun-alun. Saya kaget. Pak Bram? Siapa dia? Malaikat? Hehe... saya bilang ke Fauzan, kayaknya doa waktu sholatnya tadi manjur. Ada yang berbaik hati menawarkan makan malam.
Tapi...
Aih, kok ada Agus, Asia dan Aula sedang duduk dan makan bersama pria yang disebut pak Bram? Aturan mesti ditegakkan. Kami dilarang berkomunikasi dengan peserta dari kelompok lain. Rupanya Agus sudah memberitahu pak Bram soal aturan itu. Saya, Ani dan Fauzan duduk saya di pelataran masjid hingga akhirnya pak Bram meminta anak buahnya mengantar kelompoknya Agus ke suatu tempat. “Saya sudah diberitahu soal aturan untuk tidak saling berkomunikasi. Mari makan dulu. Nanti diatur tempat menginap kalian.” Pak Bram menghampiri kami dan menunjukkan keramahannya. Tipikalnya pun sama seperti 3 anak buahnya tadi. Beliau bilang bahwa dirinya sedang sibuk mempersiapkan acara akbar yakni pertemuan para kiai se Jateng-Jatim di Batang. Rupanya beliau salah satu tokoh dan pengurus di masjid Batang.
Makan malam berupa ayam lalapan tandas dalam sekejap. Dua anak buah pak Bram menemani kami makan malam. Kami masih sempat selfie bareng, sebagai salah satu dokumen kelompok kami dalam perjalanan. Selanjutnya kami ditawari tumpangan. “Tapi kalian akan serumah dengan kelompok Agus. Rumah saya cukup luas, ada kamar yang terpisah. Jadi tak masalah. Kalian bisa menginap tanpa saling berinteraksi.” Saya tertawa geli dalam hati. Ini agak konyol tapi seru juga. Bakal serumah sama kelompok lain tapi tidak saling bertegur sapa. Yang bingung malah tuan rumah hahaha.
Singkatnya kami tidur dengan nyaman di ruang keluarga pak Bram. Paginya mendapat sarapan nikmat khas Batang. Dikasih bekal pula untuk perjalanan kami ke Pemalang. Dari obrolan singkat dengan pak Bram, ketahuan bahwa beliau pernah menjadi anggota DPRD Batang selama dua periode. Pernah 3 bulan mendekam dalam penjara, yang kemudian menjadi titik balik dalam hidupnya. Beliau kemudian menjadi lebih agamis, ikut mengurus masjid, menjadi ketua forum kerukunan umat beragama kabupaten Batang dan menjadi aktivis yang ikut memperjuangkan hak dan nasib para narapidana dan mantan napi. Dengan modal jejaringnya, para mantan napi diberi pekerjaan, termasuk juga memberikan pelatihan dan bimbingan untuk anak-anak muda di dalam perjara. “Saya tahu betul betapa pahitnya tinggal di penjara. Saya ingin mereka juga mendapat perlakuan yang manusiawi dan bagaimana setelah keluar dari penjara mereka bisa hidup normal, mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak.” Saya melihat kesederhaan dan ketulusan hati setiap kali ia bercerita. Kami diperlakukan dengan sangat baik. Ketika hendak pamit, ia memeluk saya dan bilang, “saya senang sudah punya saudara baru dari timur, dari Kupang.” Berkali-kali ia menyebut impiannya melihat toleransi itu nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia. “Beragama itu soal privat. Hubungan pribadi masing-masing orang dengan Tuhannya. Tidak bisa diintervensi oleh siapapun.”
Mata saya terbuka. Ada nilai baru yang saya dapatkan di Batang. Toleransi adalah sebuah keniscayaan untuk Indonesia yang lebih baik. Di sebuah tempat yang sama sekali baru bagi saya, nilai itu saya dapatkan diluar dugaan. Semua sudah ada yang mengaturnya. Dan saya percayai!

Baca juga: Catatan Reflektif Pasca GMB Youth Adventure dan Youth Leaders Forum PART 1 dan PART 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...