Jumat, 15 Mei 2015

Mengapa Saya dan Kamu Harus Mencintai Mollo


Ketika saya tahu, 
saya akan cinta,
lalu akan saya jaga.

fatumnasi, mollo

Bagi saya Mollo itu surga! Ia adalah kekayaan yang dianugerahkan Tuhan untuk manusia di Timor. Bentangan alam yang luas, kaya dan indah. Kebudayaan yang komplit dan kaya makna. Mollo menjadi sangat berbeda dengan daerah lain di pulau Timor. Saya lahir di Mollo dan beruntung bisa mencerap segala kebaikan itu. Tapi di dalam hati, saya juga sedih bahwa banyak hal bisa saja mengancam kelestarian Mollo, baik alam maupun budayanya. Kita tak bisa mengelak globalisasi dan banyak nilai dari luar yang begitu cepat masuk ke Mollo ketika masyarakat Mollo sendiri banyak yang belum siap dengan perubahan yang serba cepat itu. Kita barangkali bisa melihat diri kita yang gagap, syok, sekaligus menikmati perubahan itu dan perlahan mulai memudarkan nilai-nilai hidup kita yang asli. Dan dengan mudah orang asing akan masuk dan memorak-porandakan segala sistem nilai dan kearifan yang sudah dibangun nenek moyang kita ribuan tahun lamanya. Di segala tempat, masalah sejenis ada.
Saya sendiri sebagai generasi muda yang dilahirkan Mollo mengalami gagap dan syok budaya sekaligus asyik menikmati kebudayaan asing, disaat yang sama, saya sendiri tak punya modal yang kuat sama sekali tentang budaya yang telah melahirkan saya. Saya sedih ketika saya ditumbuhkan dalam keluarga yang tidak terbiasa berbahasa Dawan dialek Mollo karena orangtua saya hanya memberlakukan bahasa Indonesia di rumah. Dengan ketidaktahuan akan bahasa Dawan saya sebenarnya sudah tertinggal banyak langkah. Tapi ketika merantau dan menimba banyak ilmu dari luar, saya sadar bahwa saya harus melakukan sesuatu. Saya harus membiasakan diri saya untuk mencari tahu apa saja yang belum saya ketahui tentang kampung halaman saya, tanah yang melahirkan saya, Mollo. Tidak cukup banyak memang literatur tentang Mollo di internet, namun yang ada sudah lumayan membuka wawasan saya. Saya senang akhirnya bisa bertemu dan berdiskusi dengan banyak orang yang punya kaitan langsung dengan budaya Mollo, tanah Mollo dan Dawan pada umumnya.
Suatu ketika setelah menyelesaikan studi psikologi di Jogja, saya kembali ke Mollo dengan ketertarikan yang amat besar terhadap sejarah dan budaya tempat saya lahir. Beruntung orang tua saya adalah pencerita yang amat sangat baik. Saya juga bisa bertemu dengan beberapa orang yang saya anggap ‘sejarawan’ lokal di kampung saya. Saya bertemu beberapa mafefa atau penutur dalam struktur kehidupan masyarakat Dawan di Mollo. Oke, saya belum tahu semua hal tentang Mollo, tapi cinta pada tanah kelahiran saya sudah lumayan.
Cinta.
Cinta memang menumbuhkan kebaikan. Cinta mampu melawan kejahatan. Ini sama sekali bukan mitos. Kau bisa lihat dalam diri pejuang perempuan asal Mollo, Mama Aleta Baun kan? Ia tahu betul sejarah dan kebudayaan Mollo. Orang Mollo itu bagi saya adalah manusia hebat. Melebihi saya dan generasi saya saat ini yang cuma bisa main facebook, berhaha-hihi, dan lupa sama tanggungjawab kecil: belajar yang rajin di zaman yang serba gampang ini, jadilah manusia yang baik dan bedayalah untuk dirimu sendiri dan orang sekitar. Tapi itu toh masih sulit. Masyarakat Mollo yang purba punya tanggungjawab yang jauh lebih besar dan mereka secara bijaksana menemukan nilai dan formula-formula khusus untuk mewujudkan tanggungjawab itu menjadi nyata.
Kau bayangkan sudah, suatu ketika tiba-tiba sekelompok manusia terlempar ke sebuah taman surga. Hutan dan gunung yang kaya, penuh madu dan susu. Segala makanan tersedia. Segala jenis binatang ada di dalam sana. Manusia-manusia itu berpikir dengan cara sederhana. Mereka sadar diantara mereka pasti ada yang rakus atau mereka sadar bahwa mereka semua punya kadar ketamakan sendiri-sendiri dan itu akan menjadi bahaya. Maka lahirlah sistem yang mengatur itu. Nilai sosial dan dongeng-dongeng tumbuh. Legenda berpindah dari mulut ke mulut. Kebijaksanaan mengalir dan meresap, seperti juga angin, ia menghembuskan kemana-mana segala berita itu. Mereka tentu saja percaya pada kekuatan magis, kekuatan spititual dari setiap obyek di taman surga tersebut. Kau bisa mengecek sendiri betapa banyaknya nilai adat yang ada di Mollo, yang mengatur tentang penggunaan sumber daya hutan secara arif untuk kepentingan bersama. Bagaimana madu di hutan di perlakukan dan seteruanya. Mereka, manusia Mollo purba memang tak sekolah hingga ke Jogja seperti saya tapi pengetahuan mereka akan alam semesta dan penciptanya sangat luar biasa. Ribuan tahun sudah mereka menjaga itu.
Tapi sekali lagi, ada masanya timbul generasi baru yang sebenarnya sudah tercerabut dari akar kebudayaanya. Ya generasi saya ini dan barangkali saya salah satu yang terlibat di dalamnya. Generasi yang lebih banyak tahu gosip-gosip dari negeri seberang, tapi lupa sama kenyataan di kampung sendiri. Saya baru sadar ketika saya lulus S1, apakah itu telat? Tidak!
Saya sadar ketika Mama Aleta Baun dan seluruh barisan masyarakat Dawan yang menolak tambang sudah kering darah dan peluh di tubuh mereka. Sudah kenyang mereka sama aksi teror dan tindakan represif dari preman dan pemerintah. Lantas apakah mereka menyerah, kalah dan menjadi penakut seperti saya dan generasi saya saat ini? Tidak! Mereka sudah berhasil menyelamatkan sekian nyawa di Timor yang selama ini bergantung hidup dari mata air, hutan, madu, binatang, dll yang ada di Mollo. Kau sendiri tahu, kemana aliran air dari Mutis, Fatumnasi, dan sekian gunung di Mollo itu pergi dan menghidupkan banyak orang?
Kau bisa mengecek sendiri ke Mollo. Memang masih ada luka di sana, punggung bukit-bukit yang hijau permai, yang menyimpan banyak air untuk kehidupan Timor masih ada bekas luka di sana sini. Jejak tronton dan besi-besi besar buatan Jepang atau Korea yang berhasil dipukul mundur oleh masyarakat adat Dawan. Pergilah ke Mollo dan lihat bekas luka itu. Kau memang akan lebih banyak disuguhkan kekayaan alamnya yang luar biasa. Tapi ingat jangan sama sekali kau buta dengan luka di punggung bukit-bukit di desa Tunua dan sekitarnya. Ada luka di tubuh Mollo, ada sejarah kelam yang tak boleh kita lupakan. Seraplah sebanyak mungkin kekayaan Mollo ke dalam seluruh pancaindramu, tapi jangan kau lupakan sejarah pemberontakan masyarakat terhadap penguasa dan penambang kala itu.
Berkali-kali saya pulang ke Mollo, mendengar para tua adat mendongeng dan saya menyerap sampai habis. Saya hanyalah seorang yang suka ngeblog dan suka menulis sastra. Barangkali cuma itu yang bisa saya lakukan untuk ikut dalam pelestarian Mollo. Saya sudah menerbitkan satu buku puisi dan satu buku cerpen, sebentar lagi buku cerpen kedua akan terbit. Di sana, saya menuliskan banyak hal tentang Mollo. Cuma dengan itu saya bisa melukiskan rasa bangga dan cinta saya pada tanah Mollo. Saya makan dan minum dari Mollo, saya dikasih pelajaran sejarah dan kebudayaan dari Mollo, saya harus berikan sesuatu buat Mollo. Saya ingin terus menulis tentang Mollo. Saya juga ingin terus mengejar ketertinggalan/ketidaktahuan saya akan Mollo.
Kita memang tidak bisa berjuang sendiri. Mama Aleta kuat karena didukung banyak pihak. Masyarakat adat Dawan kuat juga karena dukungan dari banyak pihak. Tulisan saya ini barangkali akan menjadi sebatas tulisan yang akan dibaca dan dilupakan orang. Saya pun rindu melakukan sesuatu untuk Mollo. Dan saya senang jika Anda, kalian semua yang membaca ini dan merasa tergerak untuk melakukan apa saja untuk ikut melestarikan alam dan kebudayaan Mollo. Kita memang sedang membutuhkan aksi nyata tidak sekedar tulisan, omongan dan kritik semata. Tapi sekali lagi, saya percaya aksi kita bisa dimulai dari hal paling kecil, dari hal yang bisa dan biasa kita lakukan setiap hari. Saya mulai dengan menulis. Menulis ulang dongeng dan legenda dari Mollo dengan bahasa sastrawi. Kamu?

akuna alias hutan bonsai di cagar alam mutis
hutan lindung mutis

lembah mollo nan permai

yey, akhirnya saya muncul di cover majalah hehe, ini di atas batu altar klan fuka anin


Kupang, Mei 2015
NB: foto-foto berikut adalah foto karya sahabat baik saya, ka’e Valentino Luis. Seorang traveler dan fotografer dari Flores. Beberapa waktu lalu saya mengajak beliau untuk meliput tentang Mollo. Satu feature dan foto-foto tentang Mollo sudah dimuat di majalah Lion Mag edisi Maret 2015 lalu. Kami berterima kasih kepada opa Matheos Anin, tua adat dari Kampung Fatumnasi yang sudah membagi banyak kisah untuk kami abadikan, dan merestui kehadiran kami di Benteng, salah satu situs penting klan Fuka Anin di Fatumnasi. Benteng adalah sebuah batu altar pemujaan dengan tinggi lebih dari 50 meter terletak di jantung hutan lindung Fatumnasi-Mutis.

1 komentar:

  1. Semua berita yang ada di website anda sangat menarik perhatian untuk di simak, salam sehat. . . !! Semoga beritanya dapat bermanfaat! share ya gan, thanks nih!!

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...