Sabtu, 09 Mei 2015

Masjid Seperti Juga Rumah Saya


Catatan reflektif pasca GMB Youth Adventure & Youth Leaders Forum 2015

Apa yang ada dibenakmu, iya kamu, yang bukan seorang Muslim dan ada pada suatu kondisi dimana kamu harus menginap beberapa malam di masjid. Mungkin bagi sebagian orang non muslim itu hal biasa, dan bagi sebagian orang lainnya adalah hal yang baru dijalani. Saya mengalami seperti pernyataan terakhir. Belum pernah sekalipun saya tidur di masjid. Di depan rumah nenek saya di Mollo, Timor Tengah Selatan ada sebuah majid berukuran sedang, tempat orang-orang Bugis yang berdiam di kampung saya biasanya beribadah. Saya tahu tempat itu sejak saya kecil, beberapa kali pernah bermain dekat masjid itu. Bangunannya berpagar besi dan dibelakangnya ada beberapa makam anak-anak. Seumur hidup saya tinggal di Mollo, saya tak pernah tahu isi masjid tersebut. Yang saya tahu adalah bahwa setiap Jumat orang-orang ramai di sana. Dan kerap terdengar suara bedug dan suara adzan. Memang tidak ada larangan bagi siapa saja untuk berkunjung ke masjid itu, namun ada suasana yang sepertinya bilang bahwa itu bukan tempat umum yang bisa dimasuki sembarang orang. Ketika SMA saya merantau ke Ende, di Flores, saya melihat banyak masjid pun ketika saya kuliah di Jogja, kos saya dikelilingi mushala. Tapi saya hanya mengamati dari jauh tanpa tahu apa saja yang terjadi di dalam sana. Dan ada apa saja sih di dalam masjid itu.
Tanggal 24-26 April 2014, saya berkesempatan ikut dalam aksi Youth Adventure (YA) yang diadakan Gerakan Mari Berbagi. Sebuah gerakan yang punya utama mengarusutamakan nilai-nilai berbagi, volunterims, keragaman dan integritas di kalangan anak muda. Lewat youth adveture, peserta dilatih untuk menjalani nilai tersebut ketika ia berada di posisi bawah layaknya masyarakat kelas bawah yang termarjinalkan dan ada saat dimana peserta harus menginternalisasi nilai-nilai tersebut ketika mereka berada di posisi atas. Saya dan dua orang teman saya mendapat tantangan untuk berangkat ke Jakarta via Semarang dan harus melalui dua kota di Jawa Tengah yakni Batang dan Pemalang untuk mengaplikasi dua posisi tersebut. Selengkapnya baca kisah Tentang GMB: Mengapa Saya Ragu, Mengapa Saya Tak Lagi Ragu
Ketika peserta GMB tahun lalu menyampaikan pengalaman YA mereka, ada satu yang saya tangkap. Umumnya masjid menjadi salah satu labuhan paling nyaman dan aman bagi mereka untuk melewati tantangan YA. Bayangkan kamu sedang berada di sebuah kota asing, sedang lapar dan capek, dengan uang terbatas maka masjid menjadi tempat persinggahan yang mudah ditemui. Di Jawa kamu bisa menemukan masjid dengan amat sangat mudah. Di masjid, kamu bisa menumpang mandi dan beristirahat tanpa ada yang melarang (ya tentu saja dengan menunjukkan niat dan gelagat yang baik). Dua teman seperjanalan saya muslim dan saya katolik. Dalam perjalanan ke Jakarta saya baru melihat dan merasakan sendiri bahwa masjid itu sebuah tempat yang umum disinggahi para pejalan/pelancong/peziarah/apalah itu sebutannya. Tentu saja orang muslim punya kewajiban menunaikan sholat lima waktu sehingga saya bisa melihat keterbukaan itu.
Di Batang, kami sepakat untuk turun di alun-alun yang kami anggap adalah pusat kota, titik keramaian, pasti ada masjid di dekat situ. Kami berencana menjual baju kaos yang dititipkan panitia. Sayangnya usaha itu sia-sia dan kami terlalu cepat menyerah. Dalam kondisi lelah dan lapar kami memutuskan untuk singgah ke masjid raya Batang. Suasana cukup ramai, di pintu gerbang ada tulisan selamat datang untuk beberapa nama kiai besar dari beberapa kota terdekat. Besoknya akan ada acara besar di masjid itu. Beberapa pria berbaju koko, bercelana tanggung, berjenggot dan topi bulat di kepala hilir mudik depan masjid. Terus terang saya agak khawatir. Ini suasana yang tidak lazim bagi saya. Tapi juga tidak saya utarakan ke Fauzan dan Ani, partner saya dalam YA ini. Saya melepas sepatu paling akhir ketika Fauzan sudah menuju ke tempat wudhu dan Ani dengan sigap menghampiri dua orang bapak yang sedang duduk mengobrol di pelatan masjid. Dalam pikiran, saya takut saja jika mereka tahu saya bukan islam dan saya di usir! Ah, saya terlalu berlebihan. Tapi ada benarnya juga, nilai keimanan orang beda-beda. Saya berpikir bahwa bisa jadi ada yang punya pemikiran radikal dan menganggap yang bukan muslim itu ‘kafir’, dan saya sebagai seorang ‘kafir’ saya layak diusir. Nyatanya tidak. Saya ikut nimbrung dan memposisikan diri sebagai pendengar. Kedua bapak itu juga nampak santai dan tidak menanyakan siapa saya, dari mana saya, bla bla bla. Mereka bahkan tidak menanyakan mengapa saya tidak ikut sholat bersama Fauzan. Okeh, hati saya lega.
Pengalaman kedua saat esok harinya kami tiba di Pemalang. Setelah dua kali ditipu oleh kondektur angkot kami akhirnya tiba di tengah kota Pemalang, beberapa ratus meter dari Polres Pemalang. Hari sudah siang dan kami harus istirahat dan makan siang. Bekal makan siang dari pak Bram di Batang serasa menu paling nikmat sedunia, padahal isinya cuma nasi putih, sayur nangka yang dicincang halus dan tahu goreng. Bersykur masih bisa makan. Tibalah kami di sebuah masjid dekat kompleks perumahan. Fauzan seperti biasa masuk untuk sholat. Saya masih mengambil jarak dan memilih duduk di bawah menara. Saya masih bertanya dalam hati, apa iya bisa tiduran di masjid, makan dan mengobrol di sana? Aduh, maafkan kalau saya terlalu kolot dan cetek pemahamannya. Akhirnya saya memastikan dengan bertanya langsung ke Ani dan Fauzan. “Guys, ciyus nih saya boleh makan dan tiduran di situ?” Saya menunjuk ke pelataran masjid yang terbuka, luas dan bersih. Fauzan mengiyakan dengan tatapan aneh. Akhirnya untuk pertama kali saya rebahan dan makan di masjid. Ini mungkin terlihat lucu atau biasa, tapi hei, silahkan cek ke orang-orang Katolik berapa kali mereka tidur di masjid? Saya sudah. Hehehe. Saya ingat ada sebuah gerakan entah di mana saya lupa, dimana ada kegiatan saling berkunjung ke rumah ibadah yang berbeda. Mungkin benar, tak kenal maka tak sayang. Kalau saya tidak mengalami sendiri hal sederhana ini mungkin selamanya saya tak akan kenal sisi lain orang muslim dan saya tidak akan sayang dengan saudara-saudara saya ini meski kami berbeda agama. Poinnya simpel sih, tapi dalam banyak kasus intoleransi, hal-hal kecil seperti ini justru yang terabaikan.
Madjid ketiga yang kami singgahi adalah sebuah masjid di pinggiran kota Cirebon. Kami tiba ketika hari sudah malam dan truk yang kami tumpangi hanya bisa membawa kami ke titik itu. Lagi-lagi masjid adalah pilihan kami untuk menginap. Di masjid itu kami disambut seorang lelaki yang keponya minta ampun. Ia menanyakan banyak hal hingga sedetil-detilnya. Saya mulai merasa tak aman. Mereka mungkin tak akan mengecek KTP saya, tapi dari cara pria ini menginterogasi saya, sepertinya mulai ada yang janggal. Ketika lelaki itu pergi, pengurus masjid menghampiri dan bilang, “gak usah diladenin, dia itu...” kata si bapak sambil menyilangkan jari telunjuknya di jidat. Oalah. Di tempat itu, kami sepakat untuk berbagi tugas. Fauzan dan Ani harus pergi mencari makan, meminta ke penduduk di seberang masjid. Sedangkan saya tetap duduk di masjid sambil menjaga tas-tas kami. Di saat bersamaan banyak sekali warga sudah datang untuk berdoa. Waktu menujukkan pukul 7 malam. Saya duduk sendirian dan mulai khawatir. Saya membayangkan ada bapak-bapak datang menegur karena saya tak sholat. Lalu saya akan bilang; a). Sudah pak, saya sudah selesai sholat/ nanti pak saya menyusul. Atau, b). Maaf pak saya tak sholat, saya Katolik. Cuma menumpang sebentar di sini sambil menunggu teman-teman saya membeli makan. Kami harus meneruskan perjaalanan ke Jakarta, bla bla bla... Hmm. Lalu apa reaksi bapak-bapak itu? 70% pikiran saya adalah takut diusir. Duh.
Nyatanya tidak. Si penjaga masjid mematikan semua lampu ketika masjid sudah kosong dan tersisa saya yang duduk bengong di pelataran. Si bapak datang mengampiri dan bertanya, “apakah akan bermalam di sini? Supaya saya tidak mengunci pagarnya. Baiknya pindah ke dalam saja. Oya, jika orang gila itu datang lagi, gak usah diladeni.” Ekspresinya datar. Saya bilang bahwa saya sedang menunggu dua teman dan kami akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta malam ini juga. Bapak itu pergi. Masjid kembali gelap dan sepi. Sekelompok remaja kampung dua kali melewati halaman masjid.
Besok paginya kami tiba di Jakarta. Masih jam 4 pagi kami tiba di Pasar Minggu. Di dekat stasiun ada masjid. Ya lagi-lagi masjid. Seorang penjaga sudah bangun dan mandi. Menyusul kemudian Fauzan dan Ani pergi mandi. Banyak orang mulai berdatangan untuk sholat subuh, kebanyakan adalah orang tua. Mereka melihat kami yang tiduran di pelataran seperti melihat sesuatu hal yang biasa. Lewat dari jam 6 pagi, si bapak penjaga masjid pergi. Tinggalah kami bertiga, lesehan sambil menulis catatan perjalanan YA kami masing-masing. Tiba-tiba datanglah seorang bapak dengan logat Betawi kental. Ia memperkenalkan diri sebagai pengurus masjid dan mendapat laporan dari warga bahwa ada tiga orang asing, dua laki-laki dan satu perempuan. “Saya hanya ingin memastikan kalian ini dari mana. Kami tak mau kecolongan lagi. Dulu ada yang menginap disini katanya mahasiswa, katanya perantau, tapi malah bikin yang ngak-ngak.” Nadanya mulai meninggi. Fauzan mencoba menjelaskan siapa kami sambil menujukkan nametag yang selalu tergantung di leher kami. Si bapak akhirnya maklum dan pamit pergi. “Kalau begitu saya percaya kalian...” katanya sambil berlalu.
Pengalaman ini tentu saja sangat sederhana tapi saya belajar banyak di sini. Saya melihat ada keterbukaan di sini, sebagaimana masjid yang terbuka 24 jam bagi siapa saja yang butuh tumpangan. Tentang masjid yang pernah menjadi rumah tempat saya singgah. Dari pengalaman ini saya melihat islam yang toleran, islam yang humanis. Dalam hati saya bertanya, apakah di gereja saya juga bisa seterbuka ini? Menerima orang dari agama lain untuk menumpang mandi, numpang menginap dan makan? Saya masih ingat setahun lalu ketika ada 4 orang teman saya dari UGM yang sedang melakukan penelitian di kampung saya di Mollo. Ketika mereka tiba di Kupang, kondisi keuangan mereka menipis. Saya mencoba mencari tumpangan untuk mereka. Saya mencoba menghubungi beberapa orang teman bahkan seorang pastor yang punya akses langsung ke tempat penginapan milik komunitasnya. Ada hal diluar dugaan saya ketika beliau menanyakan agama teman-teman saya. Dengan jujur dan spontan saya langsung bilang, mereka islam. Sayangnya itu dipakai sebagai alasan dari sang pastor untuk tidak menerima 4 teman saya di penginapan komunitasnya. Sedih memang. Akhirnya keempat teman saya itu harus tidur semalam di emperan bandara El Tari sebelum esoknya terbang ke Jogja.

Kupang, Mei 2015

NB: Saya menantang diri saya sendiri untuk menulis catatan reflektif paska ikut GMB Youth Adventure dan Youth Leaders Forum 2015 di blog saya ini hingga 12 hari ke depan. Baca tulisan saya selengkapnya di sini. Terima kasih.

2 komentar:

  1. Dicky, terimakasih atas ceritanya. Intolerance bisa memiliki bermacam wajah. Kita harus dapat mengenalinya dan bersaha memadamkannya saat dia muncul.
    Salam, Dede.

    BalasHapus
  2. :) soal non muslim masuk masjid itu memang ada perbedaan pendapat, tapi kalau hanya di halaman, teras, toilet dst itu sama sekali tidak masalah Dicky. Terutama di Indonesia yang bermazhab Syafii yang memperbolehkan non muslim memasuki masjid dengan seijin muslim yang sudah dewasa. Tapi gak semua juga masjid bisa diandalkan untuk bermalam, dengan pertimbangan faktor keamanan dll masjid-masjid perumahan atau komplek tertentu biasanya tertutup :)

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...