Jumat, 10 April 2015

Paskah di Rote: Menemukan Jejak Karya Pater Franz Lackner



Mercusuar Ba'a
Rote. Saya mengetahui pulau ini ada di selatan Indonesia. Rote punya gula air, sasando dan pantai-pantai yang dikenal luas hingga ke Australia. Saya kenal beberapa teman penggerak kaum muda di Rote, mereka yang sudah menggagas banyak sekali kegiatan, membangun taman baca hingga yang sedang berjalan awal April ini yakni Rote Mengajar. Ah, tanpa disadari saya sudah mengetahui banyak tentang Rote namun sayangnya saya belum pernah sekalipun ke Rote. Maka ketika masuk masa Prapaskah, kakak yang seorang pastor bilang bahwa ia kemungkinan besar akan merayakan paskah di Rote, saya menyampaikan niat saya untuk ikut. Awalnya belum ada kepastian, sebab kakak saya pastor tamu dan dia perlu membicarakan itu dengan tuan rumah karena teman-teman Solidaritas Giovanni Paolo yang lain pun ingin ikut ke Rote. Singkatnya rencana itu jadi dan saya ke Rote tanggal 2 April bersama Imel sang calon suster dan kak Evi Lemba, bendaraha kami di Solidaritas Giovanni Paolo. Kakak saya dan 2 orang frater sudah duluan berangkat sehari sebelumnya.
Hari itu Kamis, Kamis Putih dalam lingkaran Paskah gereja Katolik. Kami menumpang kapal cepat Bahari Express. Perjalanan dari pelabuhan Tenau menuju pelabuhan di kota Ba’a, ibukota Kabupaten Rote Ndao ditempuh selama satu setengah jam. Tepat jam sepuluh pagi kami tiba di Ba’a. Langit biru dengan awan putih serta lanskap kota pesisir yang mungil menyambut kami. Ada sebuah menara suar putih dan besar yang cukup mentereng diantara deret rumah dan pertokoan di Ba’a. Menarik sekali.
Kami mampir ke pastoran paroki St. Kristoforus dan bertemu beberapa orang yang sudah saya kenali. Beberapa murid saya di SMPK St . Theresia dan beberapa saudara Romo Alo, pastor paroki, yang dulunya pernah bertugas di kampung saya di Kapan, jadi saya kenal baik. Obrolan menjadi seru dengan suguhan teh panas dan pisang sale yang nikmat buatan kak Grasia, kepala dapur di pastoran. Kami lantas diantar ke rumah umat yang sudah berbaik hati menerima kami di kampung biru dekat SMAN 1 Lobalain. Saya menginap di rumah bapak Marius, seorang guru Fisika asal Cibal Manggarai (istrinya dari Manggarai Barat) sedangkan Imel dan kak Evi di rumah ibu Tuti, seorang pengawas sekolah, juga berasal dari Manggarai (Reo).
Bahari Express

Bapak Marius punya empat orang anak. Lulusan Universitas Nusa Cendana Kupang, sempat mengajar di sekolah minisonaris SSpS di Kefamenanu, hingga akhirnya tahun 1994 lulus PNS dan ditempatkan di Baucau Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste). Bertemu jodoh dan menikah di Baucau, hingga akhirnya pindah ke Rote sejak tahun 2000 pasca jajak pendapat. Merekalah seperti para pendatang pada umumnya, yang ikut membangun gereja Katolik di Rote. Sebagai catatan, orang Katolik perdana di Rote dan Ndao adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, baik guru maupun PNS kantoran. Ketika Rote dilayani Pater Franz, perayaan ekaristi kadang berganti ibadat sabda hingga berbulan-bulan sebab Pater Franz harus melayani umat di 3 pulau; Rote, Ndao dan Sabu. Merekalah yang akhirnya mengambil alih sebagai misionaris awam, ikut mengurus gereja, memimpin ibadat di gereja dan dari rumah ke rumah. 
Kisah ibu Tuti tak jauh berbeda. Ia sudah datang ke Rote sebagai guru TK sejak tahun 1994. “Saya datang ke Rote kala suasana serba sulit. Tidak seperti sekarang ini. Dan saat itu masih terjadi perang saudara. Umat Katolik tak sebanyak sekarang.”
Mereka lantas berbagi kisah tentang perkembangan iman umat Katolik di Rote yang sudah dirintis jauh sebelumnya oleh Pater Franz Lackner, SVD. Ah, misonaris Eropa itu. Saya sudah sering mendengar namanya. Mendengar berbagai kisah inspiratif tentangnya. Dan di Rote, beberapa orangtua di Paroki St. Kristoforus kerap menyebut nama dan kebesaran hati yang kerap diperbuatnya. Saya diam-diam kagum dan penasaran akan sosoknya.
“Saya percaya bahwa pater Lackner itu sosok yang hebat. Ia betul-betul menjalani kaul kemiskinan dan ketaatan. Saya tidak berlebihan, ini nyata. Ada mujizat yang diam-diam beliau perbuat. Dan itu banyak sekali. Siapa yang tak kenal pater Franz? Beliau membantu siapa saja, mau agama apapun dengan senang hati ia akan membantu.” Jelas ibu Tuti panjang lebar.
Saya diundang sarapan roti bakar dan teh hangat di dapurnya yang sederhana. Rumah ibu Tuti berdekatan dengan rumah pak Marius tempat saya menginap. Rupanya kak Evi sudah bercerita ke ibu Tuti bahwa saya senang menulis dan ingin sekali tahu banyak hal tentang Pater Lackner langsung dari mulut orang-orang yang pernah hidup bersamanya. Ibu Tuti lantas melanjutkan ceritanya tentang betapa sosok itu begitu baik dan sederhana. Di Rote, pater Lackner menjalin hubungan yang baik dengan para pendeta dan umat gereja Protestan. Beberapa hari sepulangnya kami dari Rote, saya akhirnya punya kesempatan bertemu dan mengobrol dengan pater Franz di biara SSpS Belo. “Kami adalah minoritas di Rote. Saya ingin membangun hubungan baik dengan gereja Protestan dan saya tidak pilih-pilih kepada siapa saya harus bantu. Mereka juga sudah banyak membantu saya dalam proses pelayanan umat Katolik.” (Cerita khusus tentang pertemuan saya dengan pater Lackner akan saya ulas tersendiri di postingan berikutnya.)
Pater Lackner dalam gambaran umat Katolik di Rote adalah sosok yang murah hati. Ia membangun pabrik rumahan yang memproduksi genteng dan batu bata. “Jika ada yang butuh dan beliau melihat memang orang tersebut butuh maka batu bata akan diberikan secara cuma-cuma. Begitupun obat dan kacamata akan dibagikan gratis. Stok obat dan kacamata banyak sekali di pastoran,” jelas pak Marius. Menurut ibu Tuti, ia hanya mau membantu orang susah, jadi jika kamu PNS dan pergi meminta obat, kacamata atau batako, pasti akan ditolak. Dua hal menarik lainnya. Ia tidak menyukai pesta pora dan pernah menangis ketika ada umat yang memotong pohon rindang di depan gereja. Ah, berbicara pastor sekarang yang benar-benar menjalani kaul kemiskinan dan peduli pada umat rasanya semakin sulit.

Jumat Agung di Ba’a
Matahari Ba’a di hari Jumat Agung rasanya seperti dobel. Jam 8 pagi kami sudah menjalani ibadat jalan salib di kompleks sekolah dan biara susteran RVM. Di ibadat ini saya bertemu kak Luis Gawa senior saya di SMAK Syuradikara. Sehabis ibadat saya, Imel dan kak Evi pergi jalan-jalan keliling Ba’a. Rupanya kedua teman saya ini sudah ngos-ngosan lagi kepanasan ketika kami baru saja menyentuh trotoar pertokoan di sepanjang pantai Ba’a. Saya akhirnya melanjutkan perjalanan sendirian menyusuri pertokoan yang mulai nampak usang. Ada banyak sekali orang tua Cina yang saya temui di halaman toko mereka. Di dekat dermaga, saya mendekati anak-anak yang sedang berenang bersama. Dari obrolan saya pun tahu mereka sudah bercampur baur. Ada anak Jawa, anak Rote, anak Timor, dan Bugis, berinteraksi dalam satu ragam logat dan bahasa; Melayu Kupang. Berhubung saya tak bisa berenang saya hanya berbicara saja dari pinggir tembok sambil melihat mereka meloncat dari atas perahu rusak. Ah, andai saya bisa berenang mungkin sudah ikutan nyebur juga.
Sorenya saya mengikuti ibadat Jumat Agung dan bertemu lagi banyak alumni Syuradikara yang berkerja di Rote, termasuk juga orang tua dari murid saya di Speqsanter. Selesai ibadat, pak Ferdy yang aktif di paduan suara paroki Ba’a mengajak kami mampir ke rumahnya di belakang Polres Rote Ndao. Pak Ferdy adalah orang tua dari salah satu murid saya. Menyenangkan bisa bertemu orang tua murid di tempat yang tak terduga dan kami mengobrol banyak hal tentang.... Pater Lackner. Lagi-lagi beliau. Ada perspektif baru yang ditambahkan. Dalam hati kok rasanya saya ingin sekali menulis cerpen tentang beliau sebagai penghormatan untuk segala kebaikan dan usahanya membangun iman umat Katolik di Rote. Ia bahkan mengajarkan tentang cinta kasih melebihi ajarannya tentang iman. Bukankah ditulis demikian, bahwa ada iman, harap dan kasih namun yang paling besar adalah kasih. Kristus itu sendiri. Kami disuguhi jagung bose dan sambal lu’at yang nikmat di rumah pak Ferdy. Jumat Agung dan perut saya penuh dengan makanan. Tuhan tahu, tubuh kurus saya memang butuh banyak asupan hahaha.

Sabtu Alleluya Keliling Rote Barat Daya
Sabtu pagi, 4 April 2015, saya kabur ke Batu Termanu. Betapa beruntungnya dipinjami motor oleh pak Marius. Pagi-pagi saya sudah mengunjungi taman baca Sarisandu yang dikelola oleh teman-teman muda dari komunitas anak muda Rote Ndao (KAMu Rote Ndao). Tiba di sana saya disambut kak Fitri, sepupu kak Adi Patola. Kak Adi, teman seangkatan di program ELTA angkatan 4 di Pusat Bahasa Undana awal tahun 2014. Pegiat KAMu selain kak Adi ada kak Sherwin Ufi, kak Maks Fioh, dll. Tanggal 9-10 April 2015 ini, KAMu bekerja sama dengan Pengajar Muda, bikin kegiatan keren yakni Rote Mengajar. Ada puluhan relawan dari berbagai daerah di Indonesia datang dengan biaya sendiri untuk mengajar anak-anak di Rote. Ada dosen, fotografer, dokter, pilot, polisi hingga anggota DPRD.
Dari rumah baca Sarisandu saya ngebut ke beberapa pantai kerena dekat Batu Termanu. Saya penasaran dengan batu tersebut sebab kerap dibicarakan banyak orang sepulang dari Rote. Di sana saya cuma mampir sebentar, memotret lalu kembali ke Ba’a. Saya takut ketinggalan rombongan yang sudah bersiap menuju ke Batutua di Rote Barat Daya. Rencananya kami akan merayakan malam paskah hingga paskah kedua di sana. Kabarnya Batutua dekat dengan sederet pantai indah yang sudah mendunia seperti Oeseli, Bo’a dan Nembrala. Saya makin bersemangat. Bapak ketua stasi, pak Piet Bria, seorang guru dari Besikama, menjemput kami dengan mobil pick upnya. Dalam perjalanan ke Batutua inilah saya berkenalan dengan Om Boston, salah satu tokoh umat di Batutua yang juga ikut menjemput kami. Nama asli beliau Tony Fernandez, campuran Larantuka dan Timor, bekerja sebagai PNS di dinas PU Kabupaten Rote Ndao. Orangnya humoris dan banyak bicara, saya senang, karena ada banyak informasi yang dengan mudah saya peroleh. Saya ingin tahu banyak tentang Rote. Dan Om Boston adalah orang yang tepat.
Tiba di kapela Batutua, umat sudah berkumpul. Stasi St. Fransiskus Xaverius adalah stasi induk bagi beberapa kapela kecil di Oetefu, Oeseli, hingga Dela (Nembrala). Banyak sekali anak-anak dan remaja di sana, sayang kurang mendapat perhatian. Rote dan Ndao yang luas itu dilayani 2 orang pastor dan Batutua mendapat giliran pelayanan dari pastor atau frater boleh dibilang jarang. Imel segera bertindak dengan bikin beberapa kegiatan kecil bersama Sekami. Sorenya kami pergi ke pantai Batutua, foto-foto dan om Anderias, tokoh umat asli Rote mengambil beberapa bongkah batu merah yang akan digunakan untuk memantik api yang akan digunakan untuk menghidupkan lilin paskah. Malamnya kami misa dengan sangat meriah. Umat dari Oeseli, Oetefu hingga Nembrala ikut bergabung. Selesai misa om Boston segera memutar musik dan semua menari kebalai bersama. Kristus sudah bangit, Alleluya.
Minggu pagi, misa Paskah berlangsung meriah. Saya semakin tak sabar sebab om Boston menjanjikan untuk mengantar kami berkeliling ke beberapa pantai keren yang saya sebutkan di atas. Awalnya cuma 5 motor eh ternyata banyak yang menyusul. Saya dibonceng pak Fransiskus, seorang tentara di pangkalan TNI AL Dolasi dekat dengan Batutua. Beliau baru saja 6 bulan bertugas di Rote dan sangat rajin mengikuti kegiatan selama pekan suci.
Jadilah kami menuruni lembah karang Oetefu menuju Oeseli. Aih, pantai Oeseli itu cantik dan perawan! Ada semacam sebuah laguna, teluk yang sangat rapat sehingga menyerupai danau air asin. Pantai ini dikelilingi bukit dan pulau-pulau karang berukuran kecil. Meski langit tidak cerah kala itu tapi saya bisa melihat jejak warna laut hijau toska yang super bening. Ada kampung nelayan di sisi kanan. Satu-satunya bangunan di sisi kiri yang membelakangi laguna adalah kapela. Inginnya menginap di kapela itu, persis dibelakangnya danau air asin itu tersibak dengan sangat indah. Aih. Super sekali. Di ujung sana ada pelabuhan dengan pemandangan pulau Ndana yang tak terlalu jauh. Pulau Ndana kini menjadi markas TNI AL, ada patung jenderal Sudirman di sana, dan tentu saja punya pantai indah serta ribuan ekor rusa. Om Boston lantas bercerita tentang nuansa mistis di pulau tersebut dan betapa arus laut menuju ke Ndana begitu kencangnya.
Dari Oeseli kami menuju ke Bo’a. Sepanjang jalan, pantai pasir putih dengan cerukan kecil yang indah namun sayang semuanya sudah dikapling para bule. Ada yang sudah dibangun resort mewah dengan pagar keliling, sehingga pantai-pantai itu semakin privat dan terasing dari orang lokal. Tiba di Bo’a kami disambut seorang peselancar yang sedang beradu nyali dengan ombak yang cukup tinggi. Pantai sedang sepi. Ada pembangunan di area sepanjang beberapa ratus meter itu. Kabarnya pantai itu sudah dibeli salah satu anak Soeharto. Kami mampir sebentar, lagi-lagi foto bersama, menikmati kue yang dibawa oleh Shanty, OMK dari Batutua lalu melanjutkan perjalanan ke Nembrala. Pemandangan dari Bo’a ke Nembrala, semakin menandaskan kegelisahan kami. Tanah dari bibir pantai hingga ke atas bukit-bukit karang seluruhnya sudah berada di tangan pihak asing. “Masyarakat di sini senang tiba-tiba sudah ada 14 Milyar di tangan.” Tak ada sistem sewa, semuanya dibeli tunai dengan memanfaatkan calo. Tiba di Nembrala, kami mampir ke rumah pak Stefanus, seorang guru SMA sekaligus guru agama di kapela Nembrala. “Di sini cuma ada 7 KK saja. Kapela ini dibangun atas bantuan seorang turis asal Amerika.”
Kami dijamu makan siang dari tuan rumah yang berasal dari Noemuti, Timor Tengah Utara. Istri beliau asal Manggarai. Lagi-lagi saya salut sama para pendatang yang kebanyakan adalah guru dan pegawai dari Flores dan Timor, yang giat membangun gereja. Mereka yang dengan semangat bernyanyi dan memimpin ibadat pada hari Minggu.
Rombongan kami lantas bergerak ke pantai Nembrala menyusuri gang setapak selebar 2 meter yang meliuk diantara hotel dan penginapan. Dibading Oeseli dan Bo’a, Nembrala bagi saya tak terlalu spesial. Ya kecuali jika saya seorang peselancar barnagkali sangat spesial. Pantainya berpasir putih dan ombak tinggi berada beberapa ratus meter di dalam sana. Sementara di pingir laut yang airnya tenang, ratusan petani rumput laut menyambung hidup, menanam hingga proses menjemur semuanya dilakukan di area pantai tersebut.
Sungguh perjalanan yang menyenangkan di hari Minggu Paskah. Tiba di Batutua, pak Fransiskus mengajak kami mampir ke pangkalan TNI AL di desa Dosila. Katanya ada tebing yang pas untuk menikmati senja di belakang pangkalan. Ternyata pak Frans tidak menipu kami. Ada tebing dan dua cerukan besar, sebesar salah satu danau Kelimutu. Isinya pasir putih dan air laut jika sedang pasang. Diantara dua cerukan itu, ada jalur setapak untuk mencapai ujung tanjung. Super sekali untuk menikmati sunset.
Malamnya Romo Sipri memutar video perjalanannya ke tanah suci sembari menjelaskan secara runut sesuai isi kitab suci. Umat sangat antusias, tontonan dan diskusi berakhir jam 12 malam. Saya sudah tidur duluan 3 jam sebelumnya. Lelah sekali. Tapi belum usai. Besok kami diberitahu akan merayakan misa di kapela Oetefu, sekitar 7 km dari Batutua. Di Oetefu ada banyak masyarakat asli Rote, bermarga Nalle yang memeluk agama Katolik. Misa paskah kedua berlangsung dua kali, paginya di Oetefu dan siangnya di Batutua.
Di rumah bapak Nemuel Nalle, sang guru agama, kami dijamu makan siang yang enak. Beliau nelayan yang banyak memasok ikan dan udang untuk bule-bule di Nembrala. Salah satu anaknya adalah guru bahasa inggris di salah satu SMA di dekat Oetefu.
Siangnya misa kedua berlangsung di Batutua. Masih ada acara makan bersama lagi di bawah pohon kelapa dekat pantai. Beberapa orang nampak memanggang ikan, sementara di meja sudah terhidang udang goreng, kuah asam, tumis buah pepaya muda. Ah, mantap. Kami makan bersama lalu menari Kebalai dan Bonet. Om Boston mengatur segalanya dengan baik. Menjelang pulang kembali ke Ba’a, kesedihan mulai nampak di wajah para umat. Istri om Boston segera mengambil selendang rote dan memimpin tarian tradisional Rote, menari mundur dengan mata sembab dan mengantar kami ke mobil. Perpisahan yang unik dan agak menyedihkan. Saya tak bisa menahan diri untuk situasi serba emosional seperti ini. Cairah hangat itu luruh juga ke pipi saya. Kami berpelukan dan masuk ke mobil pick up. Serombongan anak Sekami bersikeras untuk ikut mengantar kami ke Ba’a. Kami pulang ke Ba’a dengan segudang kisah menarik tentang semangat persaudaraan dan iman dari umat Tuhan di Rote Barat Daya. Ada ketulusan untuk melayani di stasi, menggerakan segala sumber daya yang dimiliki untuk kepentingan bersama. Begitulah mereka yang minoritas  bergerak dan berjuang membangun kapela mungil di pinggir pantai Batutua. Ada orang Alor, orang Kefa, orang Kapan, orang Manggarai, Larantuka berbaur dan kawin-mawin dengan orang Rote asli.
Suatu saat saya harus kembali ke Batutua dan bikin sesuatu untuk anak-anak di sana. Janji kecil saya.
Kisah lain tentang paskah di Rote akan saya tulis di lain waktu. Ada beberapa cerpen dan puisi yang lahir di sana. Puji Tuhan! 

kapela Fransiskus Xaverius Batutua
nyanyi bareng kak Imel

pak Stefanus dari Noemuti, pengurus kapela Nembrala

taman baca Sarisandu
makan siang bersama sehabis misa paskah kedua

pace Fransiskus di depan kapela Oeseli
Imel dari Alor menari Kebalai
di kapela St, Yoseph Oetefu

bersama Opa, om Boston, Imel dan om Anderias

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...