Mercusuar Ba'a |
Hari itu Kamis, Kamis
Putih dalam lingkaran Paskah gereja Katolik. Kami menumpang kapal cepat Bahari
Express. Perjalanan dari pelabuhan Tenau menuju pelabuhan di kota Ba’a, ibukota
Kabupaten Rote Ndao ditempuh selama satu setengah jam. Tepat jam sepuluh pagi
kami tiba di Ba’a. Langit biru dengan awan putih serta lanskap kota pesisir
yang mungil menyambut kami. Ada sebuah menara suar putih dan besar yang cukup
mentereng diantara deret rumah dan pertokoan di Ba’a. Menarik sekali.
Kami mampir ke pastoran
paroki St. Kristoforus dan bertemu beberapa orang yang sudah saya kenali. Beberapa
murid saya di SMPK St . Theresia dan beberapa saudara Romo Alo, pastor paroki,
yang dulunya pernah bertugas di kampung saya di Kapan, jadi saya kenal baik. Obrolan
menjadi seru dengan suguhan teh panas dan pisang sale yang nikmat buatan kak
Grasia, kepala dapur di pastoran. Kami lantas diantar ke rumah umat yang sudah
berbaik hati menerima kami di kampung biru dekat SMAN 1 Lobalain. Saya menginap
di rumah bapak Marius, seorang guru Fisika asal Cibal Manggarai (istrinya dari
Manggarai Barat) sedangkan Imel dan kak Evi di rumah ibu Tuti, seorang pengawas
sekolah, juga berasal dari Manggarai (Reo).
Bapak Marius punya
empat orang anak. Lulusan Universitas Nusa Cendana Kupang, sempat mengajar di
sekolah minisonaris SSpS di Kefamenanu, hingga akhirnya tahun 1994 lulus PNS
dan ditempatkan di Baucau Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste). Bertemu
jodoh dan menikah di Baucau, hingga akhirnya pindah ke Rote sejak tahun 2000
pasca jajak pendapat. Merekalah seperti para pendatang pada umumnya, yang ikut
membangun gereja Katolik di Rote. Sebagai catatan, orang Katolik perdana di
Rote dan Ndao adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai pemerintah, baik guru
maupun PNS kantoran. Ketika Rote dilayani Pater Franz, perayaan ekaristi kadang
berganti ibadat sabda hingga berbulan-bulan sebab Pater Franz harus melayani
umat di 3 pulau; Rote, Ndao dan Sabu. Merekalah yang akhirnya mengambil alih
sebagai misionaris awam, ikut mengurus gereja, memimpin ibadat di gereja dan
dari rumah ke rumah.
Kisah ibu Tuti tak jauh
berbeda. Ia sudah datang ke Rote sebagai guru TK sejak tahun 1994. “Saya datang
ke Rote kala suasana serba sulit. Tidak seperti sekarang ini. Dan saat itu
masih terjadi perang saudara. Umat Katolik tak sebanyak sekarang.”
Mereka lantas berbagi
kisah tentang perkembangan iman umat Katolik di Rote yang sudah dirintis jauh
sebelumnya oleh Pater Franz Lackner, SVD. Ah, misonaris Eropa itu. Saya sudah
sering mendengar namanya. Mendengar berbagai kisah inspiratif tentangnya. Dan di
Rote, beberapa orangtua di Paroki St. Kristoforus kerap menyebut nama dan kebesaran
hati yang kerap diperbuatnya. Saya diam-diam kagum dan penasaran akan sosoknya.
“Saya percaya bahwa
pater Lackner itu sosok yang hebat. Ia betul-betul menjalani kaul kemiskinan
dan ketaatan. Saya tidak berlebihan, ini nyata. Ada mujizat yang diam-diam
beliau perbuat. Dan itu banyak sekali. Siapa yang tak kenal pater Franz? Beliau
membantu siapa saja, mau agama apapun dengan senang hati ia akan membantu.”
Jelas ibu Tuti panjang lebar.
Saya diundang sarapan
roti bakar dan teh hangat di dapurnya yang sederhana. Rumah ibu Tuti berdekatan
dengan rumah pak Marius tempat saya menginap. Rupanya kak Evi sudah bercerita
ke ibu Tuti bahwa saya senang menulis dan ingin sekali tahu banyak hal tentang
Pater Lackner langsung dari mulut orang-orang yang pernah hidup bersamanya. Ibu
Tuti lantas melanjutkan ceritanya tentang betapa sosok itu begitu baik dan
sederhana. Di Rote, pater Lackner menjalin hubungan yang baik dengan para
pendeta dan umat gereja Protestan. Beberapa hari sepulangnya kami dari Rote,
saya akhirnya punya kesempatan bertemu dan mengobrol dengan pater Franz di
biara SSpS Belo. “Kami adalah minoritas di Rote. Saya ingin membangun hubungan
baik dengan gereja Protestan dan saya tidak pilih-pilih kepada siapa saya harus
bantu. Mereka juga sudah banyak membantu saya dalam proses pelayanan umat
Katolik.” (Cerita khusus tentang pertemuan saya dengan pater Lackner akan saya
ulas tersendiri di postingan berikutnya.)
Pater Lackner dalam
gambaran umat Katolik di Rote adalah sosok yang murah hati. Ia membangun pabrik
rumahan yang memproduksi genteng dan batu bata. “Jika ada yang butuh dan beliau
melihat memang orang tersebut butuh maka batu bata akan diberikan secara cuma-cuma.
Begitupun obat dan kacamata akan dibagikan gratis. Stok obat dan kacamata
banyak sekali di pastoran,” jelas pak Marius. Menurut ibu Tuti, ia hanya mau
membantu orang susah, jadi jika kamu PNS dan pergi meminta obat, kacamata atau
batako, pasti akan ditolak. Dua hal menarik lainnya. Ia tidak menyukai pesta pora
dan pernah menangis ketika ada umat yang memotong pohon rindang di depan
gereja. Ah, berbicara pastor sekarang yang benar-benar menjalani kaul
kemiskinan dan peduli pada umat rasanya semakin sulit.
Jumat
Agung di Ba’a
Matahari Ba’a di hari
Jumat Agung rasanya seperti dobel. Jam 8 pagi kami sudah menjalani ibadat jalan
salib di kompleks sekolah dan biara susteran RVM. Di ibadat ini saya bertemu
kak Luis Gawa senior saya di SMAK Syuradikara. Sehabis ibadat saya, Imel dan
kak Evi pergi jalan-jalan keliling Ba’a. Rupanya kedua teman saya ini sudah
ngos-ngosan lagi kepanasan ketika kami baru saja menyentuh trotoar pertokoan di
sepanjang pantai Ba’a. Saya akhirnya melanjutkan perjalanan sendirian menyusuri
pertokoan yang mulai nampak usang. Ada banyak sekali orang tua Cina yang saya
temui di halaman toko mereka. Di dekat dermaga, saya mendekati anak-anak yang
sedang berenang bersama. Dari obrolan saya pun tahu mereka sudah bercampur
baur. Ada anak Jawa, anak Rote, anak Timor, dan Bugis, berinteraksi dalam satu
ragam logat dan bahasa; Melayu Kupang. Berhubung saya tak bisa berenang saya
hanya berbicara saja dari pinggir tembok sambil melihat mereka meloncat dari
atas perahu rusak. Ah, andai saya bisa berenang mungkin sudah ikutan nyebur
juga.
Sorenya saya mengikuti
ibadat Jumat Agung dan bertemu lagi banyak alumni Syuradikara yang berkerja di
Rote, termasuk juga orang tua dari murid saya di Speqsanter. Selesai ibadat,
pak Ferdy yang aktif di paduan suara paroki Ba’a mengajak kami mampir ke
rumahnya di belakang Polres Rote Ndao. Pak Ferdy adalah orang tua dari salah
satu murid saya. Menyenangkan bisa bertemu orang tua murid di tempat yang tak
terduga dan kami mengobrol banyak hal tentang.... Pater Lackner. Lagi-lagi
beliau. Ada perspektif baru yang ditambahkan. Dalam hati kok rasanya saya ingin
sekali menulis cerpen tentang beliau sebagai penghormatan untuk segala kebaikan
dan usahanya membangun iman umat Katolik di Rote. Ia bahkan mengajarkan tentang
cinta kasih melebihi ajarannya tentang iman. Bukankah ditulis demikian, bahwa
ada iman, harap dan kasih namun yang paling besar adalah kasih. Kristus itu
sendiri. Kami disuguhi jagung bose dan sambal lu’at yang nikmat di rumah pak Ferdy.
Jumat Agung dan perut saya penuh dengan makanan. Tuhan tahu, tubuh kurus saya
memang butuh banyak asupan hahaha.
Sabtu Alleluya Keliling
Rote Barat Daya
Sabtu pagi, 4 April
2015, saya kabur ke Batu Termanu. Betapa beruntungnya dipinjami motor oleh pak
Marius. Pagi-pagi saya sudah mengunjungi taman baca Sarisandu yang dikelola
oleh teman-teman muda dari komunitas anak muda Rote Ndao (KAMu Rote Ndao). Tiba
di sana saya disambut kak Fitri, sepupu kak Adi Patola. Kak Adi, teman
seangkatan di program ELTA angkatan 4 di Pusat Bahasa Undana awal tahun 2014.
Pegiat KAMu selain kak Adi ada kak Sherwin Ufi, kak Maks Fioh, dll. Tanggal 9-10
April 2015 ini, KAMu bekerja sama dengan Pengajar Muda, bikin kegiatan keren
yakni Rote Mengajar. Ada puluhan relawan dari berbagai daerah di Indonesia
datang dengan biaya sendiri untuk mengajar anak-anak di Rote. Ada dosen,
fotografer, dokter, pilot, polisi hingga anggota DPRD.
Dari rumah baca
Sarisandu saya ngebut ke beberapa pantai kerena dekat Batu Termanu. Saya penasaran
dengan batu tersebut sebab kerap dibicarakan banyak orang sepulang dari Rote. Di
sana saya cuma mampir sebentar, memotret lalu kembali ke Ba’a. Saya takut
ketinggalan rombongan yang sudah bersiap menuju ke Batutua di Rote Barat Daya. Rencananya
kami akan merayakan malam paskah hingga paskah kedua di sana. Kabarnya Batutua
dekat dengan sederet pantai indah yang sudah mendunia seperti Oeseli, Bo’a dan
Nembrala. Saya makin bersemangat. Bapak ketua stasi, pak Piet Bria, seorang
guru dari Besikama, menjemput kami dengan mobil pick upnya. Dalam perjalanan ke
Batutua inilah saya berkenalan dengan Om Boston, salah satu tokoh umat di
Batutua yang juga ikut menjemput kami. Nama asli beliau Tony Fernandez,
campuran Larantuka dan Timor, bekerja sebagai PNS di dinas PU Kabupaten Rote
Ndao. Orangnya humoris dan banyak bicara, saya senang, karena ada banyak
informasi yang dengan mudah saya peroleh. Saya ingin tahu banyak tentang Rote. Dan
Om Boston adalah orang yang tepat.
Tiba di kapela Batutua,
umat sudah berkumpul. Stasi St. Fransiskus Xaverius adalah stasi induk bagi
beberapa kapela kecil di Oetefu, Oeseli, hingga Dela (Nembrala). Banyak sekali
anak-anak dan remaja di sana, sayang kurang mendapat perhatian. Rote dan Ndao
yang luas itu dilayani 2 orang pastor dan Batutua mendapat giliran pelayanan
dari pastor atau frater boleh dibilang jarang. Imel segera bertindak dengan
bikin beberapa kegiatan kecil bersama Sekami. Sorenya kami pergi ke pantai
Batutua, foto-foto dan om Anderias, tokoh umat asli Rote mengambil beberapa
bongkah batu merah yang akan digunakan untuk memantik api yang akan digunakan
untuk menghidupkan lilin paskah. Malamnya kami misa dengan sangat meriah. Umat dari
Oeseli, Oetefu hingga Nembrala ikut bergabung. Selesai misa om Boston segera
memutar musik dan semua menari kebalai bersama. Kristus sudah bangit, Alleluya.
Minggu pagi, misa
Paskah berlangsung meriah. Saya semakin tak sabar sebab om Boston menjanjikan
untuk mengantar kami berkeliling ke beberapa pantai keren yang saya sebutkan di
atas. Awalnya cuma 5 motor eh ternyata banyak yang menyusul. Saya dibonceng pak
Fransiskus, seorang tentara di pangkalan TNI AL Dolasi dekat dengan Batutua.
Beliau baru saja 6 bulan bertugas di Rote dan sangat rajin mengikuti kegiatan
selama pekan suci.
Jadilah kami menuruni
lembah karang Oetefu menuju Oeseli. Aih, pantai Oeseli itu cantik dan perawan! Ada
semacam sebuah laguna, teluk yang sangat rapat sehingga menyerupai danau air
asin. Pantai ini dikelilingi bukit dan pulau-pulau karang berukuran kecil. Meski
langit tidak cerah kala itu tapi saya bisa melihat jejak warna laut hijau toska
yang super bening. Ada kampung nelayan di sisi kanan. Satu-satunya bangunan di
sisi kiri yang membelakangi laguna adalah kapela. Inginnya menginap di kapela
itu, persis dibelakangnya danau air asin itu tersibak dengan sangat indah. Aih.
Super sekali. Di ujung sana ada pelabuhan dengan pemandangan pulau Ndana yang
tak terlalu jauh. Pulau Ndana kini menjadi markas TNI AL, ada patung jenderal
Sudirman di sana, dan tentu saja punya pantai indah serta ribuan ekor rusa. Om
Boston lantas bercerita tentang nuansa mistis di pulau tersebut dan betapa arus
laut menuju ke Ndana begitu kencangnya.
Dari Oeseli kami menuju
ke Bo’a. Sepanjang jalan, pantai pasir putih dengan cerukan kecil yang indah
namun sayang semuanya sudah dikapling para bule. Ada yang sudah dibangun resort
mewah dengan pagar keliling, sehingga pantai-pantai itu semakin privat dan
terasing dari orang lokal. Tiba di Bo’a kami disambut seorang peselancar yang
sedang beradu nyali dengan ombak yang cukup tinggi. Pantai sedang sepi. Ada pembangunan
di area sepanjang beberapa ratus meter itu. Kabarnya pantai itu sudah dibeli
salah satu anak Soeharto. Kami mampir sebentar, lagi-lagi foto bersama,
menikmati kue yang dibawa oleh Shanty, OMK dari Batutua lalu melanjutkan perjalanan
ke Nembrala. Pemandangan dari Bo’a ke Nembrala, semakin menandaskan kegelisahan
kami. Tanah dari bibir pantai hingga ke atas bukit-bukit karang seluruhnya
sudah berada di tangan pihak asing. “Masyarakat di sini senang tiba-tiba sudah
ada 14 Milyar di tangan.” Tak ada sistem sewa, semuanya dibeli tunai dengan
memanfaatkan calo. Tiba di Nembrala, kami mampir ke rumah pak Stefanus, seorang
guru SMA sekaligus guru agama di kapela Nembrala. “Di sini cuma ada 7 KK saja.
Kapela ini dibangun atas bantuan seorang turis asal Amerika.”
Kami dijamu makan siang
dari tuan rumah yang berasal dari Noemuti, Timor Tengah Utara. Istri beliau
asal Manggarai. Lagi-lagi saya salut sama para pendatang yang kebanyakan adalah
guru dan pegawai dari Flores dan Timor, yang giat membangun gereja. Mereka yang
dengan semangat bernyanyi dan memimpin ibadat pada hari Minggu.
Rombongan kami lantas
bergerak ke pantai Nembrala menyusuri gang setapak selebar 2 meter yang meliuk
diantara hotel dan penginapan. Dibading Oeseli dan Bo’a, Nembrala bagi saya tak
terlalu spesial. Ya kecuali jika saya seorang peselancar barnagkali sangat
spesial. Pantainya berpasir putih dan ombak tinggi berada beberapa ratus meter
di dalam sana. Sementara di pingir laut yang airnya tenang, ratusan petani
rumput laut menyambung hidup, menanam hingga proses menjemur semuanya dilakukan
di area pantai tersebut.
Sungguh perjalanan yang
menyenangkan di hari Minggu Paskah. Tiba di Batutua, pak Fransiskus mengajak
kami mampir ke pangkalan TNI AL di desa Dosila. Katanya ada tebing yang pas
untuk menikmati senja di belakang pangkalan. Ternyata pak Frans tidak menipu
kami. Ada tebing dan dua cerukan besar, sebesar salah satu danau Kelimutu.
Isinya pasir putih dan air laut jika sedang pasang. Diantara dua cerukan itu,
ada jalur setapak untuk mencapai ujung tanjung. Super sekali untuk menikmati
sunset.
Malamnya Romo Sipri
memutar video perjalanannya ke tanah suci sembari menjelaskan secara runut
sesuai isi kitab suci. Umat sangat antusias, tontonan dan diskusi berakhir jam
12 malam. Saya sudah tidur duluan 3 jam sebelumnya. Lelah sekali. Tapi belum
usai. Besok kami diberitahu akan merayakan misa di kapela Oetefu, sekitar 7 km
dari Batutua. Di Oetefu ada banyak masyarakat asli Rote, bermarga Nalle yang
memeluk agama Katolik. Misa paskah kedua berlangsung dua kali, paginya di
Oetefu dan siangnya di Batutua.
Di rumah bapak Nemuel
Nalle, sang guru agama, kami dijamu makan siang yang enak. Beliau nelayan yang
banyak memasok ikan dan udang untuk bule-bule di Nembrala. Salah satu anaknya
adalah guru bahasa inggris di salah satu SMA di dekat Oetefu.
Siangnya misa kedua
berlangsung di Batutua. Masih ada acara makan bersama lagi di bawah pohon
kelapa dekat pantai. Beberapa orang nampak memanggang ikan, sementara di meja
sudah terhidang udang goreng, kuah asam, tumis buah pepaya muda. Ah, mantap. Kami
makan bersama lalu menari Kebalai dan Bonet. Om Boston mengatur segalanya
dengan baik. Menjelang pulang kembali ke Ba’a, kesedihan mulai nampak di wajah
para umat. Istri om Boston segera mengambil selendang rote dan memimpin tarian
tradisional Rote, menari mundur dengan mata sembab dan mengantar kami ke mobil.
Perpisahan yang unik dan agak menyedihkan. Saya tak bisa menahan diri untuk
situasi serba emosional seperti ini. Cairah hangat itu luruh juga ke pipi saya.
Kami berpelukan dan masuk ke mobil pick up. Serombongan anak Sekami bersikeras
untuk ikut mengantar kami ke Ba’a. Kami pulang ke Ba’a dengan segudang kisah
menarik tentang semangat persaudaraan dan iman dari umat Tuhan di Rote Barat
Daya. Ada ketulusan untuk melayani di stasi, menggerakan segala sumber daya
yang dimiliki untuk kepentingan bersama. Begitulah mereka yang minoritas bergerak dan berjuang membangun kapela mungil
di pinggir pantai Batutua. Ada orang Alor, orang Kefa, orang Kapan, orang
Manggarai, Larantuka berbaur dan kawin-mawin dengan orang Rote asli.
Suatu saat saya harus
kembali ke Batutua dan bikin sesuatu untuk anak-anak di sana. Janji kecil saya.
Kisah lain tentang
paskah di Rote akan saya tulis di lain waktu. Ada beberapa cerpen dan puisi
yang lahir di sana. Puji Tuhan!
kapela Fransiskus Xaverius Batutua |
nyanyi bareng kak Imel |
pak Stefanus dari Noemuti, pengurus kapela Nembrala |
taman baca Sarisandu |
makan siang bersama sehabis misa paskah kedua |
pace Fransiskus di depan kapela Oeseli |
Imel dari Alor menari Kebalai |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...