“Di
dekat terali besi, seekor gagak hitam menyanyikan lagu pilu. Jangan jadi banci.
Jadi pengecut itu biasa. Lelaki tulen haruslah pengecut. Seseorang melukai ulu
hati Sang Bisu sedangkan yang lain menyiram luka itu dengan caci maki.”
Asyur, 2005.
Ini
cerpen kedua yang saya tulis ketika saya sedang di rantau dan rindu sama
kampung halaman. Dua bulan lagi saya akan ikut ujian nasional dan berkali-kali dilanda
mimpi buruk: saya tak lulus ujian, nilai matematika saya jeblok! Tentu ini tak
seberapa dengan penderitaan saya selama hampir tiga tahun tinggal di asrama
putra tempat saya sekolah yang para pendahulu kami menamainya Asyur. Sekolah Katolik
kenamaan di pulau Flores tempat saya belajar mandiri, belajar berdoa dan
merasakan sakitnya dibully.
Ceritanya
panjang, lebih banyak menyenangkan, sedikit memalukan. Tapi saya tidak akan
pernah lupa pertama kali saya dan Bapatua, bapak saya, tiba di Ende di sebuah
pagi buta yang dingin. Pelabuhan Ende seperti gerbang pulau hantu yang saya
lihat di film-film Hollywood. Begitu asing dan aneh. Kerlap kerlip lampu, logat
manusia yang aneh, dan gunung-gunung yang menghitam. Barangkali saya sendiri
terlalu sedih segera melepas status anak rumahan, anak manja Bapatua dan
Mamatua dan menggantinya menjadi status baru: anak rantau, anak asrama.
Kapal
Wilis milik Pelni yang membawa kami dari Kupang harus mampir sejam di pulau
Sabu memuat sedikit penumpang daripada berjerigen-jerigen gula Sabu. Saya mual
sekali karena tak tahan dengan bau kapal yang aduhai itu. Bapatua menggosok punggung
saya dengan minyak kayuputih yang botolnya selalu terselip di saku jaketnya. Namun
wajahnya sedih karena kehilangan dompet ketika kami berdesakan naik ke kapal
Wilis di pelabuhan Tenau Kupang. Ketika saya tanya, apakah semua uang hilang,
Bapatua hanya menggeleng. Kelak ketika tiba di Ende, ia bilang kepada saya
bahwa ia punya saku rahasia di dalam jaket yang selalu ia kenakan, tempat ia
menyimpan uang tunai lainnya. Saya kira saku rahasia itu hanya berisi sebotol
minyak kayu putih.
Di
Ende nasib apes rupanya masih mengikuti kami. Beberapa barang bawaan hilang di
pelabuhan. Saya hampir menangis. Bapatua makin murung saja. Kami menginap di
rumah om saya yang selanjutnya menjadi orang tua wali. Kepala kantor SKB yang
cerewet dan baik hati. Om yang berada di garda depan ketika saya diserang para
pembully di sekolah maupun di asrama, dua bulan di awal sekolah.
Saya
ingat di hari saat saya masuk asrama, saya diantar tante. Beliau sudah membuat
sekaleng sambal goreng teri dicampur tempe dan kacang tanah. Rasanya senang
bercampur deg-degan. Teman perdana saya, Gerald, Rian dan Melus. Asrama berupa
los panjang dengan puluhan tempat tidur besi, bersama deret kamar mandi
mengapit Kamar Barang sebuah ruang sempit tempat lemari gandeng dan segala peti
buku diletakkan. Kamar Barang, tempat kebaikan dan keburukan duniawi tertuang
dalam catatan hidup saya. Sebagian kecil yang ingin saya tulis di sini. Barangkali
sedikit hitam.
Buku
agenda hitam bermerek ‘pilot’ adalah teman terbaik saya di asrama ini, selain
Melus, tetangga lemari saya di kamar barang, teman seperjuangan, satu-satunya
warga keturuan Cina di angkatan kami. Buku pilot sudah hampir penuh dengan
puisi-puisi sunyi dan dua cerpen. Cerpen yang sedang saya tulis ini dan sebuah
cerpen perdana dalam hidup saya, “Makhluk Manis Dalam Bus”. Cerpen itu terlalu
berbunga-bunga, berkisah tentang seseorang (ya sudah jujur saja, itu saya) yang
jatuh cinta dengan seorang penumpang bus dalam perjalanan Kupang – SoE. Perempuan
itu digambarkan terlalu genit, menyanyikan berkali-kali lagunya Agnes Monica
dan melempar tatapan nakal untuk saya di deret sebelah. Aih.
www.tripadvisor.com |
***
Malam pertama,
seseorang senior berteriak dengan kasar di ruang makan. Meja, tempat nasi,
piring dipukul dengan keras ketika seseorang senior ingin mengumumkan sesuatu.
90 % pengumuman adalah hal remeh temeh sekaligus mimpi buruk. Bayangkan kamu
sedang makan nasi putih, sup kacang hijau tawar dan semangkuk teri goreng
disiram kecap manis dan sepanjang kau mengunyah teror berkepanjangan hadir
seenak kau mengunyah kacang goreng. Terlalu berat menjadi yunior di rumah ini.
Bapatua, saya ingin
pulang!
Jangan. Kau yang sabar.
Banyak berdoa.
Tidak! Saya mau pulang
saja.
Telepon dimatikan.
Malam pertama, ucapan
selamat datang mendarat mulus di tengkuk dan ulu hati. Ini untuk lelaki tulen,
desis ular yang wajahnya memerah dalam keremangan Kamar Barang. Bau pesing
menguar masuk melalui terali besi, menekan dalam-dalam berbagai rupa kecemasan
ke dasar samudera di dalam kepala. Barangkali kami adalah kapal karam dengan
sauh nyaris menusuk-nusuk kecemasan itu. Dua jam adalah kiamat kecil,
selanjutnya bersiaplah untuk selalu gigit jari, untuk tertawa, memaki dan
menyetrika seragam kuning putihmu di puncak malam. Bayangkan jika nyawa sedang
dipermainkan dan benih dendam sedang ditabur. Saya bisa saja menamai ini
satu-satunya cara mendewasakan diri, kau menamainya sebagai kekonyolan sesaat
dan dia yang lain mengganggap ini ritual warisan nenek moyang yang perlu di
lestarikan. Bahkan kalau bisa ditulis dalam biografi alumninya kelak sebagai
sebuah kisah gemilang.
Aku dibully.
Kau menangis.
Kening dia berdarah.
Hatinya luka.
Jiwa kita koyak sebelum
akhirnya dipaksa tegar.
Diam-diam, mimpi buruk
menempatkan dirinya sendiri di pojokan ruang.
Anggaplah kita sedang
berada di dunia yang sebenarnya, dunia yang keras. Seorang teman menasehati
saya agar tak cengeng. Sebut saja namanya Dije. Setahun kemudian, di lokasi
yang sama, ia membolak-balik halaman Alkitab. Ia bukan anak yang alim. Terselip
sebuah daun hijau yang telah layu. Di depan saya dan seorang kakak kelas, ia
bersabda. Daun ini kuambil dari hutan dekat kampungku di Bajawa. Saya tersenyum
kecut. Senior kami yang hitam legam dan berhidung pesek mengeluarkan sebatang
rokok putih. Ia kemudian mengeluarkan dengan lembut isi rokok. Saya tak terlalu
menyimak pekerjaan mereka. Saya lebih memikirkan bagaimana caranya agar saya
yang baru saja berpacaran dengan seseorang dari asrama putri tetangga kami
tidak diketahui teman-teman saya. Ada aturan di asrama, jika ada yang baru
jadian, wajib hukumnya mentraktir teman seangkatan. Yah, minimal traktir
gorengan.
Beberapa menit kemudian
mereka sudah berhasil mencampur daun hijau itu dengan tembakau dan mengisi
kembali ke dalam pipa kertas rokok. Setelah itu saya tak peduli lagi. Kelak,
saya betul-betul sadar dari keluguan saya akan daun yang lekat dalam
poster-poster Bob Marley.
Dije pula yang pernah
menggiring kami di suatu malam buta menyusup masuk ke dalam ruang rekreasi,
menyambung televisi dengan VCD player milik seorang teman dan terputarlah
adegan demi adegan film porno. Kami menonton dengan was-was karena ruangan itu
berbatasan langsung dengan kamar bapak asrama kami. Bukan sakitnya kabel
kopleng ketika mendarat darurat ke betis kami tetapi hukuman selanjutnya:
dikeluarkan dari asrama karena menonton film porno, tentu saja sangat memalukan
keluarga, agama dan negara.
Film berakhir, degup
jantung tiga kali lipat dari biasanya. Barangkali was-was, barangkali ditambah
konak sudah tiba di ubun-ubun. Ah, konak. Kata itu mengingatkanku pada band
Jamrud. Kami adalah Tedjo-Tedjo, yang kalau tak ikut arus bakal mati dalam cap:
lelaki banci. Di kamar barang pasca menonton, beberapa sabda baru tertulis di
tembok.
Jangan jadi banci.
Jadi pengecut itu
biasa.
Lelaki tulen haruslah
pengecut.
Lelaki itu berani
bergerombol mandi telanjang sambil memamerkan kebesaran hati masing-masing.
Di dekat jendela,
seekor gagak hitam menyanyikan lagu pilu. Jangan jadi banci. Jadi pengecut itu
biasa. Lelaki tulen haruslah pengecut. Seseorang melukai ulu hati Sang Bisu
sedangkan yang lain menyiram luka itu dengan caci maki. Kamar itu menyimpan
berbagai jenis setan, salah satunya sedang berniat mencabut nyawa.
Beberapa jam kemudian,
harusnya tak ada yang terlambat bangun, harusnya sudah mandi, harusnya sudah
mengumandangkan doa-doa pagi yang syahdu di kapel sekolah.
Beberapa jam kemudian,
harusnya semua tak mendapat hukuman. Harusnya kabel kopleng tak mendarat ke
betis.
Satu dua tiga empat
hingga sepuluh teman pergi setelah lompat pagar, setelah berkelahi. Dua belas
hingga dua puluh teman kemudian menyusul sembari menyesal, setelah memaki dan
mengancam bapak asrama, setelah pesta miras di pojokan. Masuk tahun ketiga,
tersisa lima belas, teman-teman bernama solidaritas suka duka. Ahai!
Beberapa hari kemudian,
Sang Bisu itu harus pergi, berdiam selamanya di dekat Biara Bruder Konradus.
Tapi Setan Pencabut Nyawa selalu ada di kamar, menunggu kesempatan berikutnya.
***
Jika
kertas ini putih, baiknya harus ditulis dengan tinta hitam. Yang hitam,
sekalipun kelam dan memalukan ia tetaplah bagian penting dari sang putih. Tak
ada salahnya membuat pengakuan yang bisa jadi merusak citra. Ah, tidak, sama
sekali tak merusak. Kejujuran adalah citra itu sendiri.
Terdengar
stom kapal dari pelabuhan sana. Berlembar-lembar kertas putih telah tertulis
dengan tinta hitam. Ada keharuman memori, tapi tak ada salahnya terselip memori
lain yang sudah membusuk. Yang busuk hanya akan pulih ketika ia diketahui dan
diakui sebagaimana sebuah proses kehidupan terjadi.
Barangkali
ini adalah cerpen kedua saya yang masih saja jelek. Tetapi saya harus berterima
kasih kepada Ayu Utami dan kepada frater pembimbing yang sudah meminjamkan
Saman kepada saya. Setahun sudah buku itu memanggil-manggil saya untuk mulai
menulis cerita. Cerpen kedua ini harus saya masukan ke dalam buku saya kelak.
Saya harus bilang kepada dunia bahwa karena Saman, saya punya cita-cita jadi
penulis. Tentang cerpen perdana saya, lupakan saja. Saya kira karir Agnes harus
segera diakhiri!
Saya
hanya mau ingat bahwa di masa SMA, saya punya sejuta lembar kisah yang baik,
seputih dan sehitamnya kisah itu. Barangkali nanti ada fase hidup selanjutnya
yang lebih menarik dari masa remaja ini, tapi saya berharap masa ini semoga
saja menjadi yang terbaik.
Tulisan
ini harus saya akhiri ketika kaset pita berisi sealbum lagu Josh Groban terus
berputar dan tiba pada lagu yang paling saya sukai, Oceano. Selain Saman, lagu ini
menjadi semacam memorabilia terpenting yang akan saya ingat sepanjang hidup.
Ah, tulisan ini memang harus saya selesaikan agar tak terlampau memalukan.
Adakah
teknik menulis cerpen yang lebih bagus dari cerpen kedua ini? Beri tahu saya.
Ende, 2005
Cerpen ini saya tulis
kurang lebih 10 tahun lalu, di usia sweet seventeen dan saya hanya bisa protes
ke dalam buku agenda ‘pilot’. Protes secara langsung saya tak punya nyali. Saya
terlalu merindukan masa-masa SMA dulu. Gerald hingga kini menjadi teman baik
saya dan selalu terlibat dalam proses kreatif buku-buku yang saya terbitkan. Cerpen
ini telah saya sunting ulang tanpa mengurangi isi yang pernah saya suarakan
dulu saat masih remaja. Hingga saat ini saya kadang masih bermimpi bahwa saya
tak lulus ujian nasional. Aneh. Pada detik ini, atas dasar kemanusiaan, saya
menolak bullying terjadi di sekolah. Apapun motifnya, no excuse! RIP buat kamu
yang mendiami sepetak tanah dekat Biara Bruder Konradus.
catatan: cerpen ini dimuat di Majalah Kabar NTT edisi Maret 2015
bagus sangat Dicky...!. Awesome.
BalasHapus"RIP buat kamu yang mendiami sepetak tanah dekat Biara Bruder Konradus".
BalasHapusSepertinya saya tahu kalimat ini ditujukan untuk siapa.