Rabu, 08 April 2015

Cerpen Kedua Yang Saya Tulis Dalam Hidup




Di dekat terali besi, seekor gagak hitam menyanyikan lagu pilu. Jangan jadi banci. Jadi pengecut itu biasa. Lelaki tulen haruslah pengecut. Seseorang melukai ulu hati Sang Bisu sedangkan yang lain menyiram luka itu dengan caci maki.


Asyur, 2005.
Ini cerpen kedua yang saya tulis ketika saya sedang di rantau dan rindu sama kampung halaman. Dua bulan lagi saya akan ikut ujian nasional dan berkali-kali dilanda mimpi buruk: saya tak lulus ujian, nilai matematika saya jeblok! Tentu ini tak seberapa dengan penderitaan saya selama hampir tiga tahun tinggal di asrama putra tempat saya sekolah yang para pendahulu kami menamainya Asyur. Sekolah Katolik kenamaan di pulau Flores tempat saya belajar mandiri, belajar berdoa dan merasakan sakitnya dibully.
Ceritanya panjang, lebih banyak menyenangkan, sedikit memalukan. Tapi saya tidak akan pernah lupa pertama kali saya dan Bapatua, bapak saya, tiba di Ende di sebuah pagi buta yang dingin. Pelabuhan Ende seperti gerbang pulau hantu yang saya lihat di film-film Hollywood. Begitu asing dan aneh. Kerlap kerlip lampu, logat manusia yang aneh, dan gunung-gunung yang menghitam. Barangkali saya sendiri terlalu sedih segera melepas status anak rumahan, anak manja Bapatua dan Mamatua dan menggantinya menjadi status baru: anak rantau, anak asrama.
Kapal Wilis milik Pelni yang membawa kami dari Kupang harus mampir sejam di pulau Sabu memuat sedikit penumpang daripada berjerigen-jerigen gula Sabu. Saya mual sekali karena tak tahan dengan bau kapal yang aduhai itu. Bapatua menggosok punggung saya dengan minyak kayuputih yang botolnya selalu terselip di saku jaketnya. Namun wajahnya sedih karena kehilangan dompet ketika kami berdesakan naik ke kapal Wilis di pelabuhan Tenau Kupang. Ketika saya tanya, apakah semua uang hilang, Bapatua hanya menggeleng. Kelak ketika tiba di Ende, ia bilang kepada saya bahwa ia punya saku rahasia di dalam jaket yang selalu ia kenakan, tempat ia menyimpan uang tunai lainnya. Saya kira saku rahasia itu hanya berisi sebotol minyak kayu putih.
Di Ende nasib apes rupanya masih mengikuti kami. Beberapa barang bawaan hilang di pelabuhan. Saya hampir menangis. Bapatua makin murung saja. Kami menginap di rumah om saya yang selanjutnya menjadi orang tua wali. Kepala kantor SKB yang cerewet dan baik hati. Om yang berada di garda depan ketika saya diserang para pembully di sekolah maupun di asrama, dua bulan di awal sekolah.
Saya ingat di hari saat saya masuk asrama, saya diantar tante. Beliau sudah membuat sekaleng sambal goreng teri dicampur tempe dan kacang tanah. Rasanya senang bercampur deg-degan. Teman perdana saya, Gerald, Rian dan Melus. Asrama berupa los panjang dengan puluhan tempat tidur besi, bersama deret kamar mandi mengapit Kamar Barang sebuah ruang sempit tempat lemari gandeng dan segala peti buku diletakkan. Kamar Barang, tempat kebaikan dan keburukan duniawi tertuang dalam catatan hidup saya. Sebagian kecil yang ingin saya tulis di sini. Barangkali sedikit hitam.
Buku agenda hitam bermerek ‘pilot’ adalah teman terbaik saya di asrama ini, selain Melus, tetangga lemari saya di kamar barang, teman seperjuangan, satu-satunya warga keturuan Cina di angkatan kami. Buku pilot sudah hampir penuh dengan puisi-puisi sunyi dan dua cerpen. Cerpen yang sedang saya tulis ini dan sebuah cerpen perdana dalam hidup saya, “Makhluk Manis Dalam Bus”. Cerpen itu terlalu berbunga-bunga, berkisah tentang seseorang (ya sudah jujur saja, itu saya) yang jatuh cinta dengan seorang penumpang bus dalam perjalanan Kupang – SoE. Perempuan itu digambarkan terlalu genit, menyanyikan berkali-kali lagunya Agnes Monica dan melempar tatapan nakal untuk saya di deret sebelah. Aih. 

www.tripadvisor.com

***
Malam pertama, seseorang senior berteriak dengan kasar di ruang makan. Meja, tempat nasi, piring dipukul dengan keras ketika seseorang senior ingin mengumumkan sesuatu. 90 % pengumuman adalah hal remeh temeh sekaligus mimpi buruk. Bayangkan kamu sedang makan nasi putih, sup kacang hijau tawar dan semangkuk teri goreng disiram kecap manis dan sepanjang kau mengunyah teror berkepanjangan hadir seenak kau mengunyah kacang goreng. Terlalu berat menjadi yunior di rumah ini.
Bapatua, saya ingin pulang!
Jangan. Kau yang sabar. Banyak berdoa.
Tidak! Saya mau pulang saja.
Telepon dimatikan.
Malam pertama, ucapan selamat datang mendarat mulus di tengkuk dan ulu hati. Ini untuk lelaki tulen, desis ular yang wajahnya memerah dalam keremangan Kamar Barang. Bau pesing menguar masuk melalui terali besi, menekan dalam-dalam berbagai rupa kecemasan ke dasar samudera di dalam kepala. Barangkali kami adalah kapal karam dengan sauh nyaris menusuk-nusuk kecemasan itu. Dua jam adalah kiamat kecil, selanjutnya bersiaplah untuk selalu gigit jari, untuk tertawa, memaki dan menyetrika seragam kuning putihmu di puncak malam. Bayangkan jika nyawa sedang dipermainkan dan benih dendam sedang ditabur. Saya bisa saja menamai ini satu-satunya cara mendewasakan diri, kau menamainya sebagai kekonyolan sesaat dan dia yang lain mengganggap ini ritual warisan nenek moyang yang perlu di lestarikan. Bahkan kalau bisa ditulis dalam biografi alumninya kelak sebagai sebuah kisah gemilang.
Aku dibully.
Kau menangis.
Kening dia berdarah.
Hatinya luka.
Jiwa kita koyak sebelum akhirnya dipaksa tegar.
Diam-diam, mimpi buruk menempatkan dirinya sendiri di pojokan ruang.
Anggaplah kita sedang berada di dunia yang sebenarnya, dunia yang keras. Seorang teman menasehati saya agar tak cengeng. Sebut saja namanya Dije. Setahun kemudian, di lokasi yang sama, ia membolak-balik halaman Alkitab. Ia bukan anak yang alim. Terselip sebuah daun hijau yang telah layu. Di depan saya dan seorang kakak kelas, ia bersabda. Daun ini kuambil dari hutan dekat kampungku di Bajawa. Saya tersenyum kecut. Senior kami yang hitam legam dan berhidung pesek mengeluarkan sebatang rokok putih. Ia kemudian mengeluarkan dengan lembut isi rokok. Saya tak terlalu menyimak pekerjaan mereka. Saya lebih memikirkan bagaimana caranya agar saya yang baru saja berpacaran dengan seseorang dari asrama putri tetangga kami tidak diketahui teman-teman saya. Ada aturan di asrama, jika ada yang baru jadian, wajib hukumnya mentraktir teman seangkatan. Yah, minimal traktir gorengan.
Beberapa menit kemudian mereka sudah berhasil mencampur daun hijau itu dengan tembakau dan mengisi kembali ke dalam pipa kertas rokok. Setelah itu saya tak peduli lagi. Kelak, saya betul-betul sadar dari keluguan saya akan daun yang lekat dalam poster-poster Bob Marley.
Dije pula yang pernah menggiring kami di suatu malam buta menyusup masuk ke dalam ruang rekreasi, menyambung televisi dengan VCD player milik seorang teman dan terputarlah adegan demi adegan film porno. Kami menonton dengan was-was karena ruangan itu berbatasan langsung dengan kamar bapak asrama kami. Bukan sakitnya kabel kopleng ketika mendarat darurat ke betis kami tetapi hukuman selanjutnya: dikeluarkan dari asrama karena menonton film porno, tentu saja sangat memalukan keluarga, agama dan negara.
Film berakhir, degup jantung tiga kali lipat dari biasanya. Barangkali was-was, barangkali ditambah konak sudah tiba di ubun-ubun. Ah, konak. Kata itu mengingatkanku pada band Jamrud. Kami adalah Tedjo-Tedjo, yang kalau tak ikut arus bakal mati dalam cap: lelaki banci. Di kamar barang pasca menonton, beberapa sabda baru tertulis di tembok.
Jangan jadi banci.
Jadi pengecut itu biasa.
Lelaki tulen haruslah pengecut.
Lelaki itu berani bergerombol mandi telanjang sambil memamerkan kebesaran hati masing-masing.
Di dekat jendela, seekor gagak hitam menyanyikan lagu pilu. Jangan jadi banci. Jadi pengecut itu biasa. Lelaki tulen haruslah pengecut. Seseorang melukai ulu hati Sang Bisu sedangkan yang lain menyiram luka itu dengan caci maki. Kamar itu menyimpan berbagai jenis setan, salah satunya sedang berniat mencabut nyawa.
Beberapa jam kemudian, harusnya tak ada yang terlambat bangun, harusnya sudah mandi, harusnya sudah mengumandangkan doa-doa pagi yang syahdu di kapel sekolah.
Beberapa jam kemudian, harusnya semua tak mendapat hukuman. Harusnya kabel kopleng tak mendarat ke betis.
Satu dua tiga empat hingga sepuluh teman pergi setelah lompat pagar, setelah berkelahi. Dua belas hingga dua puluh teman kemudian menyusul sembari menyesal, setelah memaki dan mengancam bapak asrama, setelah pesta miras di pojokan. Masuk tahun ketiga, tersisa lima belas, teman-teman bernama solidaritas suka duka. Ahai!
Beberapa hari kemudian, Sang Bisu itu harus pergi, berdiam selamanya di dekat Biara Bruder Konradus. Tapi Setan Pencabut Nyawa selalu ada di kamar, menunggu kesempatan berikutnya.

***
Jika kertas ini putih, baiknya harus ditulis dengan tinta hitam. Yang hitam, sekalipun kelam dan memalukan ia tetaplah bagian penting dari sang putih. Tak ada salahnya membuat pengakuan yang bisa jadi merusak citra. Ah, tidak, sama sekali tak merusak. Kejujuran adalah citra itu sendiri.
Terdengar stom kapal dari pelabuhan sana. Berlembar-lembar kertas putih telah tertulis dengan tinta hitam. Ada keharuman memori, tapi tak ada salahnya terselip memori lain yang sudah membusuk. Yang busuk hanya akan pulih ketika ia diketahui dan diakui sebagaimana sebuah proses kehidupan terjadi.
Barangkali ini adalah cerpen kedua saya yang masih saja jelek. Tetapi saya harus berterima kasih kepada Ayu Utami dan kepada frater pembimbing yang sudah meminjamkan Saman kepada saya. Setahun sudah buku itu memanggil-manggil saya untuk mulai menulis cerita. Cerpen kedua ini harus saya masukan ke dalam buku saya kelak. Saya harus bilang kepada dunia bahwa karena Saman, saya punya cita-cita jadi penulis. Tentang cerpen perdana saya, lupakan saja. Saya kira karir Agnes harus segera diakhiri!
Saya hanya mau ingat bahwa di masa SMA, saya punya sejuta lembar kisah yang baik, seputih dan sehitamnya kisah itu. Barangkali nanti ada fase hidup selanjutnya yang lebih menarik dari masa remaja ini, tapi saya berharap masa ini semoga saja menjadi yang terbaik.
Tulisan ini harus saya akhiri ketika kaset pita berisi sealbum lagu Josh Groban terus berputar dan tiba pada lagu yang paling saya sukai, Oceano. Selain Saman, lagu ini menjadi semacam memorabilia terpenting yang akan saya ingat sepanjang hidup. Ah, tulisan ini memang harus saya selesaikan agar tak terlampau memalukan.
Adakah teknik menulis cerpen yang lebih bagus dari cerpen kedua ini? Beri tahu saya.

Ende, 2005
Cerpen ini saya tulis kurang lebih 10 tahun lalu, di usia sweet seventeen dan saya hanya bisa protes ke dalam buku agenda ‘pilot’. Protes secara langsung saya tak punya nyali. Saya terlalu merindukan masa-masa SMA dulu. Gerald hingga kini menjadi teman baik saya dan selalu terlibat dalam proses kreatif buku-buku yang saya terbitkan. Cerpen ini telah saya sunting ulang tanpa mengurangi isi yang pernah saya suarakan dulu saat masih remaja. Hingga saat ini saya kadang masih bermimpi bahwa saya tak lulus ujian nasional. Aneh. Pada detik ini, atas dasar kemanusiaan, saya menolak bullying terjadi di sekolah. Apapun motifnya, no excuse! RIP buat kamu yang mendiami sepetak tanah dekat Biara Bruder Konradus. 

catatan: cerpen ini dimuat di Majalah Kabar NTT edisi Maret 2015

2 komentar:

  1. "RIP buat kamu yang mendiami sepetak tanah dekat Biara Bruder Konradus".
    Sepertinya saya tahu kalimat ini ditujukan untuk siapa.

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...