Rabu, 28 Januari 2015

Terobosan Kreatif Dari Ruang Pojok Lantai Tiga Giovanni

Saya baru saja berkunjung ke ruang kerja Romo Amanche Ninu di SMAK Giovanni Kupang. Pegiat sastra dengan nama pena Amanche Franck Oe Ninu ini meminta saya untuk mampir guna membicarakan beberapa hal seputar kesiapan saya mengirim karya ke UWRF. Beliau ingin membagi beberapa tips. Rasanya sudah lama juga saya tidak berkunjung ke ruangannya di lantai 3, sebuah ruangan di pojok penuh buku sastra dengan view menghadap pantai Ketapang Satu Tode Kisar. Biasanya di ruangan itu selalu ada siswa yang mampir untuk baca buku atau sekedar berdiskusi dengan romo amanche. Benar saja tadi saya ke sana dan ada beberapa siswa yang mampir untuk membaca buku atau sekedar berbagi kisah. Diantara mereka ada bekas murid-murid saya di SMPK St. Theresia dulu. 

Di ruangan ini, diskusi dibangun, perkenalan akan buku-buku sastra Indonesia mutakhir dimulai....

Menarik melihat segala upaya yang dilakukan pastor muda satu ini di SMAK Giovanni. Banyak terobosan kreatif yang ia lakukan dan cukup berhasil meski diakuinya masih dapat banyak tantangan sana-sini. "Di Giovanni, terlalu banyak rekan guru yang konvensional. Pola pikir, pola didiknya masih tradisional." Saya memahami posisi tersebut. Di SMPK St Theresia saya pun menghadapi itu. "Sedangkan jamannya sudah berbeda. Mata pelajaran di kelas memang penting, tapi kegiatan-kegiatan kreatif di luar pelajaran juga tak kalah pentingnya." Ia lantas menunjukkan beberapa hasil karya siswa dari kelompok Fotografi SMAK Giovanni atau dikenal dengan nama GShoot. Ada beberapa jenis kegiatan ekstrakurikuler yang ia kembangkan bersama para siswa yang memiliki pontensi, misalnya film pendek, karya tulis baik ilmiah maupun karya fiksi (cerpen dan puisi), tari tradisional, musikalisasi puisi, teater, dan masih banyak lagi. Saya tahu betul, Romo Amanche tidak saja mencontohkan namun ia sudah memberi bukti. Banyak sekali siswa yang ia bimbing lolos dalam perlombaan tingkat kota Kupang, Provinsi NTT bahkan beberapa kali sudah ikut dalam perlombaan tingkat nasional. Kepada saya, ia juga mengkritik kata, 'ekstrakurikuler'. Ekstra pada akhirnya dipahami oleh guru sebagai kegiatan sambilan, kegiatan yang tak terlalu penting. "Siswa terlalu dipaksa untuk banyak menggunakan kognitif", imbunya. Saya menyepakati itu. Kurikulum kita terlalu padat, terlalu banyak materi hafalan. Sebenarnya mereka juga perlu 'penyeimbang', kegiatan-kegiatan kreatif tadi bisa jadi solusi yang baik.
Feby Openg, pembaca setia Jurnal Santarang, mantan murid saya di Speqsanter
Saya akhirnya pamit pulang karena sudah lapar. Diperjalanan pulang Romo masih sempat menunjukkan hasil penelitian siswa tentang ritual natoni di suku Dawan yang sempat jadi finalis di sebuah perlombaan karya ilmiah tingkah nasional di Jogja akhir tahun lalu. Saya benar-benar hampir meninggalkan halaman Giovanni ketika sekelompok siswa heboh. Seorang siswi kelas 3 baru saja pingsan. Saya tiba-tiba ingat pembicaraan kami sebelumnya. "Barangkali tidak makan pagi. Hampir tiap hari selalu begitu," Romo Amanche memberi tahu saya. 
Saya pulang dan membayangkan dua fragmen kecil di kepala: sekelompok siswa dalam situasi menghafal teori dari pagi hingga sore hari, senin hingga sabtu. Situasi kedua, sekelompok siswa belajar dengan porsi yang pas, mereka masih punya waktu untuk olahraga, ikut teater, ikut klub fotografi dan baca buku sastra. 
Motor saya tiba di sebuah rumah makan Bali di Oeba. Sekian. 

Foto: copyright  Amanche Frank

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...