Sabtu, 13 Desember 2014

Dalam Senyap Kita Bertanya, Kapan Rekonsiliasi Itu Terjadi?



Akhirnya nonton film Senyap juga. Film karya Joshua Oppenheimer yang diputar serentak di seluruh Indonesia pas hari HAM kemarin. Di Kupang sendiri film ini sudah diputar di Seminari Tinggi St. Mikhael kemarin (10/12) dan hari ini saya nonton bersama teman-teman di Perkumpulan Pikul dan rencananya besok film ini akan diputar lagi di IRGSC. Semuanya di Kupang, NTT.
Nama Joshua pertama kali saya kenal ketika menonton film Jagal (The Act Of Killing) sekitar 2 tahun yang lalu. Film ini memang menjadi buah bibir di Indonesia bahkan dunia, karena berhasil mengangkat kisah dokumenter beberapa pelaku pembunuhan massal orang-orang yang disangkakan sebagai PKI di Medan. Jagal bahkan masuk salah satu nominasi di Oscar tahun 2014 ini meski tak menang. 

sumber: harsindo.com
Tentang apa itu Jagal, mungkin bisa dibaca di sini. Tapi pada waktu itu saya agak bosan (ataukah lebih tepat muak?) dengan film Jagal. Teknik yang dipakai Joshua keren. Joshua berhasil mengelabui para penjagal untuk masuk dalam ‘jebakan’ Joshua: bermain peran. Mereka diminta untuk memerankan kembali diri mereka saat membunuh orang-orang yang dicap PKI. Lihat bagaimana secara bangga mereka menceritakan proses penjagalan para korban, direka ulang bahkan sambil tertawa tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun. Saya bahkan cepat bosan kala itu barangkali karena saya muak saja dengan pelaku pembunuhan yang digambarkan terlalu ekstravaganza. Memperagakan cara membunuh sambil menari, menyanyi, tertawa ngakak hingga pawai keliling kota dengan segala keangkuhan yang digambar di sana serba colorful. Barangkali Joshua berhasil membuat saya muak. Saya bahkan tidak menonton Jagal secara penuh tapi melompat-lompat. Saya merasa kosong. Oke, saya ketemu jawaban lagi bahwa tanpa pengadilan hanya atas dugaan, lebeling, prasangka, jutaan orang kemudian dibunuh secara kejam. Dan bagaimana hingga detik ini hasil cuci otak rezim Orde Baru masih hidup di masyarakat. PKI seolah begitu keji dan menjijikan sehingga atas nama bangsa Indonesia, mereka yang terkait PKI/komunis boleh dan layak untuk dikucilkan atau bila perlu dibunuh saja. Sekali lagi saya menyelesaikan Jagal dengan setengah-setengah dan merasa ada yang kosong.
Tapi rupanya Joshua itu cerdas. Jagal memang menjadi semacam film dokumenter tentang peristiwa 65 yang tidak biasa. Dengan teknik tertentu, para pelaku digiring tanpa sadar untuk membuat pengakuan. Dan Senyap lagi-lagi membuat saya harus bilang sekali lagi bahwa Joshua itu sutradara dokumenter yang cerdas. Senyap rupanya menjawab rasa kekosongan saya selama ini pasca nonton Jagal. Barangkali karena kali ini Senyap mengambil sudut pandang korban. Dan rupanya lagi, saya barangkali terlalu mudah berempati sehingga merasa menjadi bagian dari Senyap, merasa Senyap lebih berhasil menampar sisi kemanusiaan/psikologis saya.
Adi sebagai bintang utama dari Senyap adalah wujud dari Kesenyapan itu sendiri. Bayangkan ia dan keluarganya hanya ingin mencari keadilan, okelah kalau itu susah, ingin mendapat pengakuan. Paling tidak pengakuan itu datang dari pelaku dan keluarganya, meminta maaf saja barangkali sudah cukup membuat mereka tenang. Tapi apa mudah mengakui kesalahan? Kelihatannya sulit. Sikap arogan dari para pelaku penjagalan itu masih kental di Senyap. Ceritanya Adi mewakili ayah dan ibunya (meski awalnya dilakukan Adi secara diam-diam), pergi menemui para pelaku, mencoba mencari tahu langsung motif dan perasaan mereka sebagai pembunuh kakaknya, Ramli. Hebatnya lagi di depan para penjagal dan keluarganya, Adi memperkenalkan diri sebagai adik dari Ramli, korban yang dibunuh dengan sadis oleh para penjagal.
Lihat betapa kesenyapan itu tertahan di batang leher, tertahan di bola mata Adi, ketika para pelaku  yang diwawancarai Adi dengan entengnya menceritakan proses pembunuhan beserta alasan mengapa mereka harus membunuh dengan keji. Apakah Adi marah, protes berat dan memukul para pelaku? Tidak! Ia diam, menahan napas, menahan air mata. Ini salah satu kecerdasan Joshua menempatkan korban dan pelaku dalam satu frame, dalam satu situasi yang sama. Apa kemudian dalam kesenyapan itu, Adi menjadi tidak berdaya? Oh, tidak. Di sinilah letak kekuatan film Senyap. Adi dan keluarga, dan saya kira seluruh keluarga korban 65, tak ingin balas dendam. Mereka hanya ingin ada pengakuan langsung, kejujuran dan rasa penyesalan. Rasa kemanusiaan ini yang sebenarnya menjadi pintu masuk Adi maupun Joshua untuk mengetuk lebih dalam lagi hati para pelaku dan keluarganya. Apakah berhasil? Senyap mengajarkan saya banyak hal. Dialog yang diupayakan Adi dalam proses rekonsiliasi ini rupanya belum berefek banyak. Betapa kebencian pada mereka yang dituduh PKI dan sudah ditanamkan sejak dulu masih begitu kuat hingga detik ini. bahkan di depan kelas, guru masih membahasakan begini: PKI itu yang mencongkel mata, memotong kemaluan, menyilet wajah, dll. Maka dengan segala pelabelan itu, tak heran hingga hari ini dalam alam bawah sadar masyarakat, masih ada benih-benih kebencian itu.
Saya kira puncak dari Senyap bahkan sudah dimulai setiap kali Adi dengan tegar menahan perasaannya di depan para pelaku yang pernah membunuh kakaknya dan jutaan orang lainnya secara keji. Bahkan ini lebih menusuk pribadi saya ketimbang mendengar pengakuan penjagal yang meminum darah korban dengan mitor “agar tak jadi gila setelah itu.” Seorang bapak dengan pongah berucap, “rasa manis darah hingga kini masih saya rasakan.” (kurang lebih dialognya begitu). Ih. Bahkan kesenyapan perasaan keluarga Adi kian memuncak ketika Ibunya baru tahu bahwa yang terlibat membunuh Ramli adalah paman alias adik ibunya sendiri. Sungguh saya kehilangan kata-kata. Bahkan ketika sang ibu begitu khawatir pada nasib Adi, bahwa kenekatannya ini bisa berujung penculikan, pembunuhan dan pengucilan. L
Ah, Senyap. Film yang luar biasa bagi saya. Entah kapan bangsa ini bisa meluruskan sejarahnya. Entah kapan kita dengan besar hati mengakui segala kekeliruan kita karena pernah melakukan pembunuhan massal atas orang-orang yang dituduh PKI namun tanpa proses peradilan yang sah sesuai hukum yang berlaku. Kapan rekonsiliasi itu ada? Kapan kita saling memaafkan dan memulai hidup baru tanpa ada prasangka buruk satu sama lain?

Kupang, 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...