Akhirnya nonton
film Senyap juga. Film karya Joshua Oppenheimer yang diputar serentak di
seluruh Indonesia pas hari HAM kemarin. Di Kupang sendiri film ini sudah
diputar di Seminari Tinggi St. Mikhael kemarin (10/12) dan hari ini saya nonton
bersama teman-teman di Perkumpulan Pikul dan rencananya besok film ini akan
diputar lagi di IRGSC. Semuanya di Kupang, NTT.
Nama Joshua pertama
kali saya kenal ketika menonton film Jagal (The Act Of Killing) sekitar 2 tahun
yang lalu. Film ini memang menjadi buah bibir di Indonesia bahkan dunia, karena
berhasil mengangkat kisah dokumenter beberapa pelaku pembunuhan massal
orang-orang yang disangkakan sebagai PKI di Medan. Jagal bahkan masuk salah
satu nominasi di Oscar tahun 2014 ini meski tak menang.
sumber: harsindo.com |
Tentang apa itu Jagal,
mungkin bisa dibaca di sini. Tapi pada waktu itu saya agak bosan (ataukah lebih
tepat muak?) dengan film Jagal. Teknik yang dipakai Joshua keren. Joshua
berhasil mengelabui para penjagal untuk masuk dalam ‘jebakan’ Joshua: bermain
peran. Mereka diminta untuk memerankan kembali diri mereka saat membunuh
orang-orang yang dicap PKI. Lihat bagaimana secara bangga mereka menceritakan
proses penjagalan para korban, direka ulang bahkan sambil tertawa tanpa ada
rasa penyesalan sedikitpun. Saya bahkan cepat bosan kala itu barangkali karena
saya muak saja dengan pelaku pembunuhan yang digambarkan terlalu ekstravaganza.
Memperagakan cara membunuh sambil menari, menyanyi, tertawa ngakak hingga pawai
keliling kota dengan segala keangkuhan yang digambar di sana serba colorful.
Barangkali Joshua berhasil membuat saya muak. Saya bahkan tidak menonton Jagal
secara penuh tapi melompat-lompat. Saya merasa kosong. Oke, saya ketemu jawaban
lagi bahwa tanpa pengadilan hanya atas dugaan, lebeling, prasangka, jutaan
orang kemudian dibunuh secara kejam. Dan bagaimana hingga detik ini hasil cuci
otak rezim Orde Baru masih hidup di masyarakat. PKI seolah begitu keji dan
menjijikan sehingga atas nama bangsa Indonesia, mereka yang terkait PKI/komunis
boleh dan layak untuk dikucilkan atau bila perlu dibunuh saja. Sekali lagi saya
menyelesaikan Jagal dengan setengah-setengah dan merasa ada yang kosong.
Tapi rupanya Joshua
itu cerdas. Jagal memang menjadi semacam film dokumenter tentang peristiwa 65
yang tidak biasa. Dengan teknik tertentu, para pelaku digiring tanpa sadar
untuk membuat pengakuan. Dan Senyap lagi-lagi membuat saya harus bilang sekali
lagi bahwa Joshua itu sutradara dokumenter yang cerdas. Senyap rupanya menjawab
rasa kekosongan saya selama ini pasca nonton Jagal. Barangkali karena kali ini
Senyap mengambil sudut pandang korban. Dan rupanya lagi, saya barangkali
terlalu mudah berempati sehingga merasa menjadi bagian dari Senyap, merasa
Senyap lebih berhasil menampar sisi kemanusiaan/psikologis saya.
Adi sebagai bintang
utama dari Senyap adalah wujud dari Kesenyapan itu sendiri. Bayangkan ia dan
keluarganya hanya ingin mencari keadilan, okelah kalau itu susah, ingin
mendapat pengakuan. Paling tidak pengakuan itu datang dari pelaku dan
keluarganya, meminta maaf saja barangkali sudah cukup membuat mereka tenang.
Tapi apa mudah mengakui kesalahan? Kelihatannya sulit. Sikap arogan dari para
pelaku penjagalan itu masih kental di Senyap. Ceritanya Adi mewakili ayah dan
ibunya (meski awalnya dilakukan Adi secara diam-diam), pergi menemui para
pelaku, mencoba mencari tahu langsung motif dan perasaan mereka sebagai
pembunuh kakaknya, Ramli. Hebatnya lagi di depan para penjagal dan keluarganya,
Adi memperkenalkan diri sebagai adik dari Ramli, korban yang dibunuh dengan
sadis oleh para penjagal.
Lihat betapa
kesenyapan itu tertahan di batang leher, tertahan di bola mata Adi, ketika para
pelaku yang diwawancarai Adi dengan
entengnya menceritakan proses pembunuhan beserta alasan mengapa mereka harus
membunuh dengan keji. Apakah Adi marah, protes berat dan memukul para pelaku?
Tidak! Ia diam, menahan napas, menahan air mata. Ini salah satu kecerdasan
Joshua menempatkan korban dan pelaku dalam satu frame, dalam satu situasi yang
sama. Apa kemudian dalam kesenyapan itu, Adi menjadi tidak berdaya? Oh, tidak.
Di sinilah letak kekuatan film Senyap. Adi dan keluarga, dan saya kira seluruh
keluarga korban 65, tak ingin balas dendam. Mereka hanya ingin ada pengakuan
langsung, kejujuran dan rasa penyesalan. Rasa kemanusiaan ini yang sebenarnya
menjadi pintu masuk Adi maupun Joshua untuk mengetuk lebih dalam lagi hati para
pelaku dan keluarganya. Apakah berhasil? Senyap mengajarkan saya banyak hal.
Dialog yang diupayakan Adi dalam proses rekonsiliasi ini rupanya belum berefek
banyak. Betapa kebencian pada mereka yang dituduh PKI dan sudah ditanamkan
sejak dulu masih begitu kuat hingga detik ini. bahkan di depan kelas, guru
masih membahasakan begini: PKI itu yang mencongkel mata, memotong kemaluan,
menyilet wajah, dll. Maka dengan segala pelabelan itu, tak heran hingga hari
ini dalam alam bawah sadar masyarakat, masih ada benih-benih kebencian itu.
Saya
kira puncak dari Senyap bahkan sudah dimulai setiap kali Adi dengan tegar
menahan perasaannya di depan para pelaku yang pernah membunuh kakaknya dan jutaan
orang lainnya secara keji. Bahkan ini lebih menusuk pribadi saya ketimbang
mendengar pengakuan penjagal yang meminum darah korban dengan mitor “agar tak
jadi gila setelah itu.” Seorang bapak dengan pongah berucap, “rasa manis darah
hingga kini masih saya rasakan.” (kurang lebih dialognya begitu). Ih. Bahkan
kesenyapan perasaan keluarga Adi kian memuncak ketika Ibunya baru tahu bahwa
yang terlibat membunuh Ramli adalah paman alias adik ibunya sendiri. Sungguh
saya kehilangan kata-kata. Bahkan ketika sang ibu begitu khawatir pada nasib
Adi, bahwa kenekatannya ini bisa berujung penculikan, pembunuhan dan
pengucilan. L
Ah,
Senyap. Film yang luar biasa bagi saya. Entah kapan bangsa ini bisa meluruskan
sejarahnya. Entah kapan kita dengan besar hati mengakui segala kekeliruan kita
karena pernah melakukan pembunuhan massal atas orang-orang yang dituduh PKI
namun tanpa proses peradilan yang sah sesuai hukum yang berlaku. Kapan
rekonsiliasi itu ada? Kapan kita saling memaafkan dan memulai hidup baru tanpa
ada prasangka buruk satu sama lain?
Kupang,
2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...