catatan dari festival taman bacaan masyarakat di kendari
Beberaapa waktu lalu saya
berkesempatan hadir di festival taman bacaan masyarakat di kota kendari
sulawesi tenggara. Saya diundang sebagai blogger yang sudah pernah menulis buku
untuk sharing pengalaman dalam salah satu forum taman bacaan masyarakat di festival
tersebut. Beruntung saya diberi sesi panel bersama dengan indra wijaya (penulis
idol gagal dan beberapa buku ala raditya dika). Indra termasuk juga penulis
yang bermula dari blog.
Pernah dengar festival
taman bacaan masyarakat? Saya baru pertama kali tahu dan secara langsung hadir.
Sangat ramai, mengingat festival ini diselenggarakan sekaligus dengan hari
aksara internasional yang sama-sama diselenggarakn departemen pendidikan
nasional. Namun di sisi lain, sebagaimana kita sudah tahu sama tahu, kalau
event yg digelar pemerintah yang secara gamblang bisa kita lihat adalah
kegiatan ini semacam proyek belaka.
Di kendari hadir
perwakilan forum taman bacaan masyarakat (FTBM) dari seluruh provinsi di
Indonesia, komunitas taman baca indie dan apapun gerakan sosial kemasyarakatan
yang terkait dengan upaya pengembangan dunia literasi di indonesia. Di sana ada
Gola Gong dan rumah dunianya dan beberapa taman baca yang memang sangat lekat
dengan pemerintah. Syukurlah saya masih berkesempatan ketemu dengan komunitas
lain yang sangat indie dan penuh idealis sudah merintis dan mengembangkan
berbagai jenis kegiatan di perpus/taman baca mereka. Misalnya, daeng Anwar
Jimpe Rahman dari makassar dengan Kampung Buku dan usaha penerbitan buku
bernama ‘Ininawa’, bung Dave Arga dari Manokwari, pak Tri yang keren dengan
kegiatan menulis dan menerbitkan buku secara indie bersama anak-anak didiknya
di Semarang, bang Neni Muhidin (penyair) dan juga pegiat komunitas literasi,
Nemu Buku dari Palu juga mas Faiz dari Radio Buku. Mereka luar biasa dan saya
tertatik untuk belajar dari mereka semua.
Pada umumnya teman-teman
di atas hadir membawa tawaran baru dalam sebuah usaha perintisan taman baca di
lingkungan masyarakat. Taman baca tidak sesempit rak buku, katalog, buku dan
ruang baca. Taman baca menjadi ruang yang lebih luas, terbuka dan dinamis. Di
taman baca siapapun bisa hadir untuk berdiskusi, bikin workshop, nonton film,
bikin kerajinan tangan, arisan buku, teater, musik, dan apapun kegiatan kreatif
lainnya yang intinya mengedepankan isu literasi dan keinginan untuk terus
memasyarakatkan kebudayaan membaca. Taman baca menjadi jantung aktivitas, dan
isu literasi sebagai roh utama dalam setiap aktivitas. Seperti tema festival
TBM kali ini: “merayakan literasi, membangun imajinasi.”
Budayawan Bali, Cok
Sawitri dalam sebuah kesempatan diskusi bersama Firman Venayaksa dari Rumah
Dunia, memaparkan beberapa idenya terkait topik ‘literasi sebagai gerakan
budaya.’ Taman baca tidak sebatas mengurus buku! Sebuah taman baca harus hadir
dan membedayakan masyarakat yang ada di sekitar. Dan hal tersebut bisa sangat
tematis menyesuaikan situasi dan kondisi masyarakat. Firman memberi contoh,
misalnya Komunitas Madu alias Maca Dunia. Taman bacaan masyarakat didirikan,
dan pada sisi yang lain, madu sebagai komoditi perekonomian masyarakat menjadi
sebuah keterikatan tersendiri dalam pergerakan taman bacaan tersebut.
Pada sisi yang lain, Cok
mengingatkan untuk para aktivis taman baca untuk ikut dalam proses kelahiran
kembali sebuah cerita rakyat (dongeng atau legenda). “Jika bisa dibuat buku
atau dipentaskan setelah melalui proses riset di taman baca, maka cerita rakyat
tersebut sudah terdokumentasi dengan baik. Dan kebudayaan lokal bisa terangkat
lagi,” imbuh Cok. Kepada para peserta, Cok memberi solusi cerdas untuk
mendorong anak-anak muda pegiat komunitas dan taman baca untuk mulai bergerak
menyelamatkan dongeng dan legenda masa kecilnya di kampung. Menurut Cok, yang
paling mungkin dan mudah dilakukan adalah menulis kembali kisah tersebut, yang
mungkin dulunya dari bahasa lisan dialihkan menjadi bahasa tulisan. Jika kita
ragu untuk menulis, maka bisa melakukan riset kecil-kecilan ke beberapa sumber
untuk menguatkan cerita yang sedang kita tulis. Apresiasi terhadap kebudayaan
lokal di atas menjadi penting untuk memperkuat identitas dan karakter
masing-masing daerah. Pada kesempatan lain, mbak Sekar Chamdi (koordinator
festival) memberi masukan untuk saya. “Kalian anak muda NTT harus jadi pionir
dalam menulis kembali dongeng dan legenda yang hidup di kampung kalian. Jika
semakin hari penurut bahasa adat kita makin sedikit maka usaha untuk menuliskan
kembali adalah sebuah keniscayaan besar.” Tegas mbak Sekar. Ia kemudian
mempertanyakan mengapa ketika ia ingin mencari literatur/tulisan tentang
dongeng atau hikayat lokal NTT di internet kok informasinya terbatas? Kalian
yang aktif di media sosial punya tanggungjawab untuk itu.
Pada sesi yang lain, mas
Faiz dr Radio Buku dan salah satu penyair dari Kendari berbicara tentang kerja
kearsipan dari karya-karya nenek moyang kita. Menurut Faiz, yang terpenting
dalam kerja kearsipan adalah pendidikan identitas. Generasi muda harus dibawa
kepada identitas kultural mereka dan mulai untuk membawa jejak masa lalu itu
agar bisa diakses oleh publik. Dan kerja kearsipan pun harus sesuai zaman.
Misalnya, berbicara jejak lukisan di gua Muna di Kendari, pekerja kearsipan
bisa mengajak dan memakai metode fotografi, naskah drama, film, dll sebagai
kreasi baru yang perlu dilestarikan tanpa meninggalkan keaslian dan
kesakralannya. Menurut Faiz, jika kita mengetahui sebuah informasi sejarah dan
kebudayaan maka perlu untuk mulai menafsir kembali, dan hal tersebut tidak
sebatas menjadi pengetahuan tiap pribadi namun menjadi pengetahuan kolektif.
Mas Faiz (kaos merah) dr Radio Buku |
Setelah mengikuti
festival ini, pemahaman saya akan konsep taman bacaan masyarakat menjadi lebih
terbuka. Ada proses kebudayaan yang panjang dan komplit yang bisa dilibatkan
dalam kegiatan di taman baca. Taman baca kalau bisa tidak menjadi tempat untuk
membaca namun harus lebih dari itu, bisa menjadi tempat orang belajar menulis,
berdiskusi, menerbitkan buku bacaan baru dan seterusnya. Ini harusnya menjadi
tantangan bagi teman-teman di Forum SoE Peduli, di Namu Angu Sumba, Bintang
United Ende, Khamu Rote Ndao, LG Corner Ruteng, Prailiu dan sekian banyak taman
baca yang ada di NTT. Saya salut sama pak Tri, yang lewat taman baca, ia
rangsang anak-anak untuk menulis cerpen, puisi dan bikin komik. Diterbitkan
secara sederhana dan dijual untuk kalangan mereka sendiri. Luar biasa.
Teman-teman di NTT sudah
banyak yang melakukan konsep-konsep di atas, saya yakini itu. Terus berjejaring
dan saling dukung, saya yakin dengan gerakan ini semoga memberi sumbangsih
penting bagi perkembangan NTT ke depannya. Amiiiin.....
(Christian
Senda. Blogger, pegiat sastra dan konselor pendidikan. Menulis buku Kanuku Leon
dan Cerah Hati. Menetap di Kupang.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...