Jumat, 03 Oktober 2014

Taman Bacaan Masyarakat, Konsep dan Tantangannya



 catatan dari festival taman bacaan masyarakat di kendari

Beberaapa waktu lalu saya berkesempatan hadir di festival taman bacaan masyarakat di kota kendari sulawesi tenggara. Saya diundang sebagai blogger yang sudah pernah menulis buku untuk sharing pengalaman dalam salah satu forum taman bacaan masyarakat di festival tersebut. Beruntung saya diberi sesi panel bersama dengan indra wijaya (penulis idol gagal dan beberapa buku ala raditya dika). Indra termasuk juga penulis yang bermula dari blog.
Pernah dengar festival taman bacaan masyarakat? Saya baru pertama kali tahu dan secara langsung hadir. Sangat ramai, mengingat festival ini diselenggarakan sekaligus dengan hari aksara internasional yang sama-sama diselenggarakn departemen pendidikan nasional. Namun di sisi lain, sebagaimana kita sudah tahu sama tahu, kalau event yg digelar pemerintah yang secara gamblang bisa kita lihat adalah kegiatan ini semacam proyek belaka.
Di kendari hadir perwakilan forum taman bacaan masyarakat (FTBM) dari seluruh provinsi di Indonesia, komunitas taman baca indie dan apapun gerakan sosial kemasyarakatan yang terkait dengan upaya pengembangan dunia literasi di indonesia. Di sana ada Gola Gong dan rumah dunianya dan beberapa taman baca yang memang sangat lekat dengan pemerintah. Syukurlah saya masih berkesempatan ketemu dengan komunitas lain yang sangat indie dan penuh idealis sudah merintis dan mengembangkan berbagai jenis kegiatan di perpus/taman baca mereka. Misalnya, daeng Anwar Jimpe Rahman dari makassar dengan Kampung Buku dan usaha penerbitan buku bernama ‘Ininawa’, bung Dave Arga dari Manokwari, pak Tri yang keren dengan kegiatan menulis dan menerbitkan buku secara indie bersama anak-anak didiknya di Semarang, bang Neni Muhidin (penyair) dan juga pegiat komunitas literasi, Nemu Buku dari Palu juga mas Faiz dari Radio Buku. Mereka luar biasa dan saya tertatik untuk belajar dari mereka semua.
Pada umumnya teman-teman di atas hadir membawa tawaran baru dalam sebuah usaha perintisan taman baca di lingkungan masyarakat. Taman baca tidak sesempit rak buku, katalog, buku dan ruang baca. Taman baca menjadi ruang yang lebih luas, terbuka dan dinamis. Di taman baca siapapun bisa hadir untuk berdiskusi, bikin workshop, nonton film, bikin kerajinan tangan, arisan buku, teater, musik, dan apapun kegiatan kreatif lainnya yang intinya mengedepankan isu literasi dan keinginan untuk terus memasyarakatkan kebudayaan membaca. Taman baca menjadi jantung aktivitas, dan isu literasi sebagai roh utama dalam setiap aktivitas. Seperti tema festival TBM kali ini: “merayakan literasi, membangun imajinasi.”
Budayawan Bali, Cok Sawitri dalam sebuah kesempatan diskusi bersama Firman Venayaksa dari Rumah Dunia, memaparkan beberapa idenya terkait topik ‘literasi sebagai gerakan budaya.’ Taman baca tidak sebatas mengurus buku! Sebuah taman baca harus hadir dan membedayakan masyarakat yang ada di sekitar. Dan hal tersebut bisa sangat tematis menyesuaikan situasi dan kondisi masyarakat. Firman memberi contoh, misalnya Komunitas Madu alias Maca Dunia. Taman bacaan masyarakat didirikan, dan pada sisi yang lain, madu sebagai komoditi perekonomian masyarakat menjadi sebuah keterikatan tersendiri dalam pergerakan taman bacaan tersebut.
Pada sisi yang lain, Cok mengingatkan untuk para aktivis taman baca untuk ikut dalam proses kelahiran kembali sebuah cerita rakyat (dongeng atau legenda). “Jika bisa dibuat buku atau dipentaskan setelah melalui proses riset di taman baca, maka cerita rakyat tersebut sudah terdokumentasi dengan baik. Dan kebudayaan lokal bisa terangkat lagi,” imbuh Cok. Kepada para peserta, Cok memberi solusi cerdas untuk mendorong anak-anak muda pegiat komunitas dan taman baca untuk mulai bergerak menyelamatkan dongeng dan legenda masa kecilnya di kampung. Menurut Cok, yang paling mungkin dan mudah dilakukan adalah menulis kembali kisah tersebut, yang mungkin dulunya dari bahasa lisan dialihkan menjadi bahasa tulisan. Jika kita ragu untuk menulis, maka bisa melakukan riset kecil-kecilan ke beberapa sumber untuk menguatkan cerita yang sedang kita tulis. Apresiasi terhadap kebudayaan lokal di atas menjadi penting untuk memperkuat identitas dan karakter masing-masing daerah. Pada kesempatan lain, mbak Sekar Chamdi (koordinator festival) memberi masukan untuk saya. “Kalian anak muda NTT harus jadi pionir dalam menulis kembali dongeng dan legenda yang hidup di kampung kalian. Jika semakin hari penurut bahasa adat kita makin sedikit maka usaha untuk menuliskan kembali adalah sebuah keniscayaan besar.” Tegas mbak Sekar. Ia kemudian mempertanyakan mengapa ketika ia ingin mencari literatur/tulisan tentang dongeng atau hikayat lokal NTT di internet kok informasinya terbatas? Kalian yang aktif di media sosial punya tanggungjawab untuk itu.
Pada sesi yang lain, mas Faiz dr Radio Buku dan salah satu penyair dari Kendari berbicara tentang kerja kearsipan dari karya-karya nenek moyang kita. Menurut Faiz, yang terpenting dalam kerja kearsipan adalah pendidikan identitas. Generasi muda harus dibawa kepada identitas kultural mereka dan mulai untuk membawa jejak masa lalu itu agar bisa diakses oleh publik. Dan kerja kearsipan pun harus sesuai zaman. Misalnya, berbicara jejak lukisan di gua Muna di Kendari, pekerja kearsipan bisa mengajak dan memakai metode fotografi, naskah drama, film, dll sebagai kreasi baru yang perlu dilestarikan tanpa meninggalkan keaslian dan kesakralannya. Menurut Faiz, jika kita mengetahui sebuah informasi sejarah dan kebudayaan maka perlu untuk mulai menafsir kembali, dan hal tersebut tidak sebatas menjadi pengetahuan tiap pribadi namun menjadi pengetahuan kolektif.
Mas Faiz (kaos merah) dr Radio Buku
Setelah mengikuti festival ini, pemahaman saya akan konsep taman bacaan masyarakat menjadi lebih terbuka. Ada proses kebudayaan yang panjang dan komplit yang bisa dilibatkan dalam kegiatan di taman baca. Taman baca kalau bisa tidak menjadi tempat untuk membaca namun harus lebih dari itu, bisa menjadi tempat orang belajar menulis, berdiskusi, menerbitkan buku bacaan baru dan seterusnya. Ini harusnya menjadi tantangan bagi teman-teman di Forum SoE Peduli, di Namu Angu Sumba, Bintang United Ende, Khamu Rote Ndao, LG Corner Ruteng, Prailiu dan sekian banyak taman baca yang ada di NTT. Saya salut sama pak Tri, yang lewat taman baca, ia rangsang anak-anak untuk menulis cerpen, puisi dan bikin komik. Diterbitkan secara sederhana dan dijual untuk kalangan mereka sendiri. Luar biasa.
Teman-teman di NTT sudah banyak yang melakukan konsep-konsep di atas, saya yakini itu. Terus berjejaring dan saling dukung, saya yakin dengan gerakan ini semoga memberi sumbangsih penting bagi perkembangan NTT ke depannya. Amiiiin.....
(Christian Senda. Blogger, pegiat sastra dan konselor pendidikan. Menulis buku Kanuku Leon dan Cerah Hati. Menetap di Kupang.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...