Setahun lebih sudah Forum SoE Peduli eksis. Forum
ini lahir dari sebuah niat sederhana, bagaimana orang-orang muda di kota kecil
nan dingin ini punya wadah untuk berkumpul, berbagi dan saling mencerahkan.
Maka lahirlah Forum SoE Peduli. Setahun lebih berlalu, berbagai aksi sosial
dilakukan. Aneka diskusi, nonton bareng hingga sekedar kumpul-kumpul, makan,
jalan-jalan sambil berbagi pengalaman. FSP bahkan secara serius menggelar kelas
bahasa Inggris, pengobatan gratis hingga dua kali bikin pentas seni yang lumayan
menghebohkan kota SoE. J
Apresiasi terbesar saya berikan untu kawan-kawan
pegiat di FSP. Ada dokter, bankir, dosen, perawat, ahli gizi, karyawan, vikaris,
aktivis LSM, guru hingga pelajar SMA. Komposisi yang lumayan oke, sayangnya masih
lemah di proses kaderisasi. Setahun lebih berlalu, anggota cenderung tetap,
bahkan dibilang terbatas. Kemana orang-orang muda SoE yang lain? Jelas ini PR
bersama semua member FSP.
bersama kak Ira Mangililo (copyright sandra frans) |
Mengapa
kaderisasi penting?
Dengan jumlah member yang terbilang masih sedikit,
ditambah beban dan waktu kerja dari masing-masing member pastinya akan
mempengaruhi konsistensi berkegiatan. FSP memang harus menambah lagi personel,
yang akan membantu membuka jaringan, dan paling tidak bisa menjaga semangat
agar terus bergeliat, jangan sampai vakum sesaat. Artinya, memang tidak harus
semua personel ada supaya sebuah kegiatan bisa jalan. Secara bergantian setiap
personel bisa diberi tanggungjawab untuk mengkoordinir sebuah kegiatan, tidak
harus menunggu ketua forum.
Kembali
ke pertanyaan quo vadis FSP?
Sandra kembali melontarkan pertanyaan ini ketika beberapa
dari anggota FSP hadir dalam acara diskusi Alkitab dan Postkolonial bersama kak
Ira Mangililo beberapa waktu lalu. Sandra menyadari betul kondisi FSP saat ini.
Apa sih yang mau kita lakukan di FSP? Saya sependapat dengan Sandra, bahwa pada
akhirnya kita tidak bisa melakukan semua hal untuk menjawab setiap permasalahan
di TTS. Tapi masing-masing kita masih mungkin melakukan hal kecil yang bisa
kita buat untuk lingkungan sekitar.
Supaya konsisten, kita harus fokus. Apa saja yang
menjadi fokus kita? Malam itu semua sepakat bahwa taman baca atau rumah baca
bisa menjadi, apa yang dikatakan Joseph, sebagai ‘unit’ atau basis kita dalam
bergiat. Bagi saya taman
baca bias menjadi
basecamp FSP, jadi tempat segala diskusi dan ide-ide dimatangkan. Ia bisa jadi
tempat yang bukan sekedar ada untuk orang baca buku. Konsep taman baca/rumah
baca kini sudah jauh lebih luas dan bisa beragam makna. Terima kasih untuk kak
Iren yang sudah bersedia meminjamkan tanahnya di Oenasi untuk kita ‘garap’
bersama.
Ketika mengikuti Festival Taman Bacaan Masyarakat di
Kendari, September lalu, saya menemukan bahwa taman baca tidak setradisional
atau sekaku yang kita pikirkan. Sebuah ruangan penuh buku, sumpek, tenang dan
bisa jadi membosankan bagi banyak orang. Kita ambil saja contoh atas apa yang
dilakukan daeng M. Aan Mansyur, dkk di Makassar lewat Kata Kerja. Sebuah ruang
berisi banyak buku bacaan memang menjadi pusat, namun secara tematik, berbagai
kegiatan bisa terjadi di sekitarnya. Nonton film, bikin kerajinan tangan,
diskusi, bedah buku, workshop, seminar, bahkan latihan menari dan teater. Tak
jauh beda dengan apa yang sudah dirintis kawan-kawan Kamu Rote Ndao (Komunitas
Anak Muda Rote Ndao) dan Namu Angu serta Prailiu di Sumba. Di taman baca, ada
kelas bahasa Inggris untuk anak-anak, ada kelas menggambar, bahkan ada relawan
yang setia bergantian membimbing anak-anak belajar.
Relawan!
Menjawab pertanyaan mengapa kaderisasi penting dan
bagaimana caranya supaya tidak vakum, maka kata kuncinya adalah relawan. FSP
harus membangun kesadaran setiap anggotanya bahwa bergiat di FSP adalah bergiat
sebagai seorang relawan. Dalam banyak kasus, relawan menjadi tonggak penting
dan tercatat dalam sejarah. Sebut saja kisah sukses Jokowi dalam pemilu dan
bagaimana kerja kampanyenya sukses karena didukung relawan.
Bergiat dengan sistem kerja relawan akan sangat
membantu kita supaya menjaga jantung FSP tetap memompa. Kendala kita selama ini adalah ketika ada niat bikin kegiatan,
biasanya tertunda-tunda karena banyak yang berhalangan hadir (belum lagi problemnya
anggota kita terbatas). Tapi saya optimis, ketika dalam waktu dekat kita sudah
punya basecamp, sudah punya ‘unit’ atau titik dimana kita bisa berkumpul dan
berkegiatan, maka kerja dengan sistem relawan ini akan banyak membantu.
Misalnya, agenda Jumat minggu ini kita punya kelas bahasa Inggris, lalu
Sabtunya anak-anak belajar kelompok. Minggu depannya lagi ada agenda nonton
film bersama atau kelas melukis (misalnya hehehe). Maka kita sudah bisa membagi
tugas, pada waktu-waktu tersebut siapa yang siap jadi relawan sekaligus koordinator
kegiatan. Yang berhalangan hadir bisa mendapat giliran kegiatan berikutnya,
dst. Di sisi lain, setiap anggota FSP dituntut untuk kreatif bikin kegiatan
yang sesuai bidang/minatnya. Bahkan teman-teman diluar FSP pun banyak yang akan
bersedia jadi relawan untuk membawakan materi tertentu.
Lalu
bagaimana dengan konsep rumah baca itu sendiri?
Beberapa waktu lalu kita sudah sepakat untuk membuat
rumah baca dengan konsep tradisional ala Ume Kbubu, dengan material
alang-alang, kayu, bambu, dll. Josua akan membantu membuat gambaran bangunan
beserta rancangan anggarannya. Usul saya kita bisa gaet teman-teman muda Soe
yang arsitek yang mungkin dengan Josua membuat konsep yang matang.
Berikutnya, secara spontan malam itu kita juga sudah
bikin aksi sumbangan pembangunan rumah baca FSP. Saya rasa ini perlu
digencarkan lagi. Sandra akan membuat proposalnya, sambil katong pikirkan juga
kira-kira setiap kita bisa sumbang apa: mungkin alang-alang, bebak, bambu,
kayu, semen, atau mungkin punya keluarga yang seorang tukang—yang bisa bikin
rumah tradisional Timor hehe. Paling tidak dengan cara tersebut katong bisa
tekan biaya. J Semoga
gebrakan malam it uterus berlanjut.
Salam.
dickysenda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...