Rabu, 29 Oktober 2014

Quo Vadis FSP?



Setahun lebih sudah Forum SoE Peduli eksis. Forum ini lahir dari sebuah niat sederhana, bagaimana orang-orang muda di kota kecil nan dingin ini punya wadah untuk berkumpul, berbagi dan saling mencerahkan. Maka lahirlah Forum SoE Peduli. Setahun lebih berlalu, berbagai aksi sosial dilakukan. Aneka diskusi, nonton bareng hingga sekedar kumpul-kumpul, makan, jalan-jalan sambil berbagi pengalaman. FSP bahkan secara serius menggelar kelas bahasa Inggris, pengobatan gratis hingga dua kali bikin pentas seni yang lumayan menghebohkan kota SoE. J
Apresiasi terbesar saya berikan untu kawan-kawan pegiat di FSP. Ada dokter, bankir, dosen, perawat, ahli gizi, karyawan, vikaris, aktivis LSM, guru hingga pelajar SMA. Komposisi yang lumayan oke, sayangnya masih lemah di proses kaderisasi. Setahun lebih berlalu, anggota cenderung tetap, bahkan dibilang terbatas. Kemana orang-orang muda SoE yang lain? Jelas ini PR bersama semua member FSP. 

bersama kak Ira Mangililo (copyright sandra frans)

Mengapa kaderisasi penting?
Dengan jumlah member yang terbilang masih sedikit, ditambah beban dan waktu kerja dari masing-masing member pastinya akan mempengaruhi konsistensi berkegiatan. FSP memang harus menambah lagi personel, yang akan membantu membuka jaringan, dan paling tidak bisa menjaga semangat agar terus bergeliat, jangan sampai vakum sesaat. Artinya, memang tidak harus semua personel ada supaya sebuah kegiatan bisa jalan. Secara bergantian setiap personel bisa diberi tanggungjawab untuk mengkoordinir sebuah kegiatan, tidak harus menunggu ketua forum. 

Kembali ke pertanyaan quo vadis FSP?
Sandra kembali melontarkan pertanyaan ini ketika beberapa dari anggota FSP hadir dalam acara diskusi Alkitab dan Postkolonial bersama kak Ira Mangililo beberapa waktu lalu. Sandra menyadari betul kondisi FSP saat ini. Apa sih yang mau kita lakukan di FSP? Saya sependapat dengan Sandra, bahwa pada akhirnya kita tidak bisa melakukan semua hal untuk menjawab setiap permasalahan di TTS. Tapi masing-masing kita masih mungkin melakukan hal kecil yang bisa kita buat untuk lingkungan sekitar.
Supaya konsisten, kita harus fokus. Apa saja yang menjadi fokus kita? Malam itu semua sepakat bahwa taman baca atau rumah baca bisa menjadi, apa yang dikatakan Joseph, sebagai ‘unit’ atau basis kita dalam bergiat. Bagi saya taman baca bias menjadi basecamp FSP, jadi tempat segala diskusi dan ide-ide dimatangkan. Ia bisa jadi tempat yang bukan sekedar ada untuk orang baca buku. Konsep taman baca/rumah baca kini sudah jauh lebih luas dan bisa beragam makna. Terima kasih untuk kak Iren yang sudah bersedia meminjamkan tanahnya di Oenasi untuk kita ‘garap’ bersama.
Ketika mengikuti Festival Taman Bacaan Masyarakat di Kendari, September lalu, saya menemukan bahwa taman baca tidak setradisional atau sekaku yang kita pikirkan. Sebuah ruangan penuh buku, sumpek, tenang dan bisa jadi membosankan bagi banyak orang. Kita ambil saja contoh atas apa yang dilakukan daeng M. Aan Mansyur, dkk di Makassar lewat Kata Kerja. Sebuah ruang berisi banyak buku bacaan memang menjadi pusat, namun secara tematik, berbagai kegiatan bisa terjadi di sekitarnya. Nonton film, bikin kerajinan tangan, diskusi, bedah buku, workshop, seminar, bahkan latihan menari dan teater. Tak jauh beda dengan apa yang sudah dirintis kawan-kawan Kamu Rote Ndao (Komunitas Anak Muda Rote Ndao) dan Namu Angu serta Prailiu di Sumba. Di taman baca, ada kelas bahasa Inggris untuk anak-anak, ada kelas menggambar, bahkan ada relawan yang setia bergantian membimbing anak-anak belajar.  

Relawan!
Menjawab pertanyaan mengapa kaderisasi penting dan bagaimana caranya supaya tidak vakum, maka kata kuncinya adalah relawan. FSP harus membangun kesadaran setiap anggotanya bahwa bergiat di FSP adalah bergiat sebagai seorang relawan. Dalam banyak kasus, relawan menjadi tonggak penting dan tercatat dalam sejarah. Sebut saja kisah sukses Jokowi dalam pemilu dan bagaimana kerja kampanyenya sukses karena didukung relawan.
Bergiat dengan sistem kerja relawan akan sangat membantu kita supaya menjaga jantung FSP tetap memompa. Kendala kita selama ini adalah ketika ada niat bikin kegiatan, biasanya tertunda-tunda karena banyak yang berhalangan hadir (belum lagi problemnya anggota kita terbatas). Tapi saya optimis, ketika dalam waktu dekat kita sudah punya basecamp, sudah punya ‘unit’ atau titik dimana kita bisa berkumpul dan berkegiatan, maka kerja dengan sistem relawan ini akan banyak membantu. Misalnya, agenda Jumat minggu ini kita punya kelas bahasa Inggris, lalu Sabtunya anak-anak belajar kelompok. Minggu depannya lagi ada agenda nonton film bersama atau kelas melukis (misalnya hehehe). Maka kita sudah bisa membagi tugas, pada waktu-waktu tersebut siapa yang siap jadi relawan sekaligus koordinator kegiatan. Yang berhalangan hadir bisa mendapat giliran kegiatan berikutnya, dst. Di sisi lain, setiap anggota FSP dituntut untuk kreatif bikin kegiatan yang sesuai bidang/minatnya. Bahkan teman-teman diluar FSP pun banyak yang akan bersedia jadi relawan untuk membawakan materi tertentu.

Lalu bagaimana dengan konsep rumah baca itu sendiri?
Beberapa waktu lalu kita sudah sepakat untuk membuat rumah baca dengan konsep tradisional ala Ume Kbubu, dengan material alang-alang, kayu, bambu, dll. Josua akan membantu membuat gambaran bangunan beserta rancangan anggarannya. Usul saya kita bisa gaet teman-teman muda Soe yang arsitek yang mungkin dengan Josua membuat konsep yang matang.
Berikutnya, secara spontan malam itu kita juga sudah bikin aksi sumbangan pembangunan rumah baca FSP. Saya rasa ini perlu digencarkan lagi. Sandra akan membuat proposalnya, sambil katong pikirkan juga kira-kira setiap kita bisa sumbang apa: mungkin alang-alang, bebak, bambu, kayu, semen, atau mungkin punya keluarga yang seorang tukang—yang bisa bikin rumah tradisional Timor hehe. Paling tidak dengan cara tersebut katong bisa tekan biaya. J Semoga gebrakan malam it uterus berlanjut.
Salam.
dickysenda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...