Senin, 07 Juli 2014

Sehari Bersama Rakyat Raenyale Cari Keadilan


 (sebuah catatan dari ruang sidang di DPRD NTT. Maaf sonde sempat diedit lai)

Saya baru saja bergabung dengan aksi solidaritas rakyat peduli Guriola Sabu Raijua yang digelar siang ini (7/7) pukul 10.30 WITA dimulai dari kampus Undana Lama menuju ke gedung DPRD Propinsi NTT di jalan El Tari. Sehari sebelumnya seorang teman yang juga aktivis di kota Kupang, kak Rosna Bernadeta mengirim berita aksi ini kepada saya. Seminggu yang lalu pun lewat twitter saya ngetweet sebagai bentuk solidaritas untuk saudara di Sabu Raijua yang sedang mengalami musibah. Apa musibahnya?

warga yang dipukul (dok solidaritas raenyale)
Maret 2014 tanah warga 18 KK di desa Raenyale, kabupaten Sabu Raijua, NTT, dirampas secara sepihak oleh pemda setempat untuk pembangunan embung Guriola. Namun pembangunan itu tentu saja ditentang oleh rakyat. Mengapa? Di atas 9 hektar tanah yang akan dibangun embung ada 6 hektar sawah, ratusan pohon tuak/lontar dan jati. Sisanya adalah perkampungan 8 kk warga tersebut. Mereka jelas menolak digusur sebab dari tanah tersebut mereka mendapat makan. “Setiap tahun kami berladang, selesai panen padi kami melanjutkan aktivitas menyadap nira dari pohon lontar. Semua penting, makanya kami bisa hidup sepanjang tahun. Lalu kalau tanah kami dirampas paksa, kami dapat perlakuan kasar dari POL PP, kami hidup dari mana lagi?” Teriak salah satu mama ketika rombongan kami tiba di depan kantor DPRD Pronpinsi NTT dan pagarnya masih dikunci.
Saya menyadari betul kegelisahan mereka. Sejak Maret lalu, ladang mereka digusur oleh 2 eksavator milik CV Arison Karya, perusahaan pemenang tender. Total dua ratus lebih pohon lontar yang tumbang, dan pohon jati yang tak terhitung jumlahnya. “Yang lebih menyakitkan lagi, kami mendapat intimidasi. Ada yang luka-luka karena dipukul, kami pun diancam lewat SMS maupun telepon oleh orang tak dikenal.” Begitu keluh kesah seorang perwakilan keluarga korban di depan Komisi A DPRD Propinsi NTT, Kadis PU Propinsi NTT, Kasat Pol PP Propinsi NTT. “Keluarga yang datang mengandu di Kupang pun mendapat ancaman akan dipukuli jika nanti kembali ke Sabu. Kami takut pulang. Mohon ada ketegasan dari bapak-bapak sekalian untuk menjamin keselamatan kami,” pintanya.
Aksi yang didukung oleh elemen mahasiswa asal Sabu dan Institute of Reseacrh Government and Social Change (IRGSC) Kupang sempat tertahan di pintu gerbang kantor dewan perwakilan rakyat dan sempat terjadi diskusi alot dengan POL PP yang berjaga. Mereka berasalan sedang ada rapat penting sehingga tidak bisa digangu. Setelah bernegosiasi akhirnya mereka masuk untuk menyampaikan pesan solidaritas kepada Humas DPRD NTT. Sepuluh menit kemudian kami akhirnya dibolehkan masuk ruang sidang dewan. Setelah sebelumnya disambut Humas, pak Samuel Pakereng, rombongan kemudian berdialog langsung dengan bapak-bapak dari Komisi A, PU, dan Pol PP.
Aksi long march menuju DPRD NTT (dok pribadi)
Dari dialog, ternyata sebelumnya sudah pernah ada pertemuan antara perwakilan masyarakat Raenyale dengan DPRD NTT (baca Warga Sabu Raijua Dianiaya dan Ditelanjangi Pol PP), dengan hasil beberapa rekomendasi yang salah satunya adalah DPRD NTT telah menyurati Pemkab Sabu Raijua untuk menghentikan proses pembangunan embung tersebut. Namun karena tidak ada efek, malah aktivitas pembangunan semakin gencar dilakukan maka masyarakat Raenyale ini kembali lagi ke DPRD NTT untuk mengadu. Agus Manu, selaku korlap aksi ini mengemukakan bahwa tahun 1982 memang pernah ada kesepakatan antara pemerintah dengan orang tua dahulu untuk membangun embung tapi lokasinya sama sekali bukan di tempat yang kini menjadi sangketa ini. “Sama sekali tidak ada sosialisasi dari pemerintah. Tahu-tahu tanah kami sudah diserobot begitu saja. Padahal belum ada sama sekali kesepakatan antara warga dengan pemda terkait lokasi pembangunan embung. Untuk itu kami minta sikap politik DPRD NTT atas kasus ini. Hentikan intimidasi dan kekerasan fisik.” Tegas Manu. Lanjutnya, “mereka yang menyerang kami adalah POL PP yang berasal dari pegawai honor yang diberi seragam untuk melawan rakyat! Kalau sudah begini, bagaimana dengan kerugian yang sudah kami alami?” Tanya Manu.
putra Sabu di ruang sidang DPRD NTT (dok pribadi)
Dari dialog terungkap beberapa fakta menarik:
Pertama, Dokumen resmi atas tanah yang dimiliki rakyat tidak pernah diakui bupati Sabu Raijua. Kedua, Embung ini dibangun oleh pemerintah pusat lewat Kementrian PU melalui  Balai Wilayah Sungai Nusra II (menurut pengakuan pak Andre, kadis PU NTT)
Ketiga, Pak Andre (yang juga berdarah Sabu) sebagai Kadis PU NTT sudah pernah bersurat kepada Balai Wilayah Sungai untuk menghentikan proyek ini. “Pada prinsipnya sebuah pembangunan harus ada sosialisasi. Tujuannya kan untuk kesejahteraan rakyat, harus ada syarat yang dipatuhi misalnya ada RT/RW, desain engineering, tanah harus clear! Sejak bulan Mei lalu sudah saya sarankan untuk berhenti. Tapi kenapa kontraktornya terus kerja? Hebat sekali mereka?” jelas Andre. Karena ini proyeknya PU pusat maka ini sebenarnya bukan kewenangannya sebagai Kadis PU NTT untuk menghentikan. “Kan kontrak kerjanya antara Arison Karya dengan Satker dan PPK dibawah Balai Wilayah Sungai bukan dengan saya. Saya hanya bisa menyarankan,” kilah Andre. Lebih lanjut Andre lagi-lagi mempertanyakan motif CV Arison Karya yang seolah bersikukuh pasang badan untuk melanjutkan proyek ini. Meski Andre tidak menyebut bahwa apakah ngototnya eksekusi lahan oleh Arison Karya karena sudah dibekingi atau diperkuat oleh Pemda Sabu Raijua.
rakyat yang ketakutan (dok solidaritas raenyale)
Keempat, ada ketakutan warga pulang ke Raenyale karena ada SMS bernada intimidasi. Kelima, menurut pengakuan korlap aksi, Agus Manu, wartawan yang meliput di Sabu Raijua pun harus mengalami semacam ‘pemeriksaan’ oleh pemkab. Keenam, pohon lontar, kelapa dan jati yang telah dieksekusi sudah diambil kayunya dan entah dibawah kemana.
Dialog berakhir dengan beberapa poin salah satunya adalah jaminan dari DPR NTT dan POL PP NTT untuk warga Raenyale yang ingin pulang kampong. DPRD lewat komisi A berjanji akan mengirim surat lagi untuk Pemda Sabu Raijua. Meski di sisi lain, pertanyaan warga soal ganti rugi tanaman produktif mereka yakni ratusan pohon tuak, kelapa dan jati yang sudah mati. “Tuak penting bagi kami, Karena bermakna ganda: ekonomi, social dan kebudayaan,” tegas korlap yang mendampingi masyarakat Raenyale ini. Untuk ganti rugi, harus menjadi tanggungjawab pemda. Tapi harus dilihat dulu kontrak kerjasamanya. Apakah pembangunan embung oleh CV termasuk juga pembersihan kebun/lahan warga? Tambah kadis PU NTT.
lontar yang tumbang (dok solidaritas raenyale)
Dialog harus berakhir. Ada satu dua pertanyaan yang masih menggantung, mengapa CV begitu ngotot menerabas pohon-pohon milik warga Raenyale padahal sudah pernah ada surat dari DPRD NTT ke Pemkab Sabu Raijua, atau ada telepon peringatan untuk pengentian proyek dari Kadis PU NTT kepada Balai Wilayah Sungai Nusra II? Kita menunggu tanggapan Bupati Sabu Raijua, CV Arison Karya maupun Balai Wilayah Sungai. Yang pasti, kita menolak segala bentuk intimidasi dan kekerasan fisik yang dialami warga Raenyale. 

Perjuangan mereka masih panjang. Katong sedang berhadapat dengan Pemda yang otoriter, suka pakai cara kekerasan dan menolak dialog yang manusiawi. Untuk contact person aksi solidaritas ini, kalian bisa menghubungi 085239 298 590 atau 085 239 825 696


Untuk ketidakadilan rakyat kecil, siapapun, sebagai sesama manusia mari katong bantu….Lu bisa ikuti perkembangannya dan beri dukungan via Facebook Solidaritas Untuk Warga Raenyale Sabu Raijua

***

Christian Dicky Senda, ketua Komunitas Blogger NTT. Bergiat di Dusun Flobamora dan Forum SoE Peduli. 

1 komentar:

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...