Sabtu, 28 Juni 2014

Inerie, Bayang-Bayang Kelam Itu Lenyap Sudah

sumber: https://twitter.com/DubesAustralia/media
Semalam saya berkesempatan menonton pemutaran film Inerie (Mama Yang Cantik) yang diputar secara terbatas di hotel Aston Kupang. Beberapa hari sebelumnya kak Olin Monteiro sudah mengirim teks kepada saya agar ikut acaranya. Beliau rupanya sudah mengontak kru dan menanyakan apa mungkin pemutaran film itu bisa diikuti oleh saya. Jawaban yang saya dapat lumayan menyenangkan, kata kak Olin, datang langsung ke lokasi dan bilang kamu tamunya Lola Amaria (produser film Inerie). Sehari kemudian, kak Lely aka Lecon menghubungi saya dan mengabarkan hal yang sama. Kak Lely rupanya kenal baik dengan Maryam Supraba, putri WS Rendra yang terlibat dalam film ini. Jadilah semalam saya hadir dan join dengan kawan-kawan #KupangBagarak dibawah pimpinan kak Melly Hadjo dan kak Lecon. Selain mereka ada kak Yadi Diaz, Randi Banunaek, dan Kevin H2K.

Jam 19.30, film berdurasi 72 menit ini dimulai. Saya mengamati tamu yang hadir, kebanyakan dari Dinas Kesehatan, AusAid, AIPMNH, dll. Adegan dibuka dengan kisah kelahiran dua anak kembar di kampung Tololela, Ngada, 27 tahun silam, Bela dan Belo. Sayang pasca kelahiran mereka yang dibantu dukun beranak, sang ibu meninggal dunia. Terselip kisah menyimpan ari-ari di atas pohon, tradisi yang unik. Kembali ke masa kini, Bela telah menikah dan punya 2 anak (namun salah satunya meninggal ketika lahir) dan kini sedang mengandung anak ketiga. Sedangkan Belo baru saja pulang merantau dari Jawa. Sebagai anak kembar yang telah dewasa, sutradara berhasil memotret sebuah adegan manis saat kedua manusia kembar ini melepas rindu--Belo mengusap kepala Bela--dan dibalas dengan kerlingan mata Bela yang teduh.

Konflik perlahan terbangun ketika Belo mulai khawatir dengan kondisi kehamilan saudara kembarnya yang ditengah kondisi hamil besar masih sibuk bekerja berat di kebun, mengandalkan dukun di kampung tanpa memeriksakan diri ke puskesmas. Hingga suatu waktu bermimpilah Belo yang didatangi arwah anak yang meninggal dan seolah ingin menjemput Bela dan bayi di kandunganya. Sebuah pertanda yang buruk pikir Belo. Mimpi ini disampaikan namun dinafikan Bela. Saya suka gambaran mimpi Belo yang dibangun sutradara Chairun Nissa dan tim artistik dan kru lainnya. Kampung Tololelo (atau kita kenal dengan kampung megalitik Bena) yang punya lansekap unik; batu-batu purba dan latar gunung Inerie yang nampak cantik, anggun namun kadang nampak begitu rapuh dan kelabu. Adegan Bela didatangi arwah anaknya yang sudah meninggal dan adegan Bela dan ibunya tidur di atas batu-batu altar purba itu, superb!

Kekhawatiran Belo atas kondisi saudarinya mencapai kilmaks ketika ia tanpa sengaja bertemu dengan pembeli kain tenunnya,  seorang ibu hamil dan mama dukun di pasar. Sebagai penonton yang awam dengan sepak terjang revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), momen tadi menjadi penting. Ternyata revolusi KIA berhasil menggunakan peran dukun kampung dalam bagian dari agen perubahan tadi. Jadi para mama dukun tidak dipinggirkan namun kemampuan komunikasinya ternyata dipakai petugas kesehatan sebagai partner untuk revolusi KIA itu sendiri. Mama-mama dukun adalah mereka yang bisa dikatakan kader posyandu di kampung, mereka dilibatkan untuk mengajar ibu hamil pergi memeriksakan diri ke puskesmas terdekat. Mereka dijadikan sosok 'teman' diantara bidan dengan ibu hamil. Saya kira ini sebuah revolusi yang baik.
Saya tak ingin bercerita terlalu banyak tentang kisah film Inerie, karena bisa jadi spoiler buat kalian yang belum nonton. Film memang pada akhirnya memberi ruang interpretasi yang luas buat kita, so, silakan nonton sendiri dan menilai.

Tetapi saya punya beberapa catatan yang saya kira baik juga saya ungkapkan di sini. Pemilihan kampung Tololela dan Gunung Inerie yang lekat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat menjadi sesuatu yang penting dan itu juara. Gunung Inerie sendiri bermakna 'mama yang cantik'. Masyarakat Nganda yang matrilineal memang menempatkan posisi perempuan/ibu sebagai sosok yang sangat dihormati. Lihat adegan pembuka ketika sedang ada upacara adat dan yang sibuk di bagian konsumsi adalah para bapak, bukan para mama! Ini potret menarik tentang Indonesia yang kaya akan budaya. Namun fakta di atas tentu menjadi kontradiktif ketika, misalnya, angka kematian perempuan/ibu di kampung tersebut masih tinggi. Apa artinya budaya yang menghormati perempuan dan menempatkannya pada pososi yang terhormat, namun mereka sendiri akan meninggal sehabis melahirkan anak bagi lelakinya?

Film ini happy ending, dan jelas menggambakan apa yang ingin disampaikan. Bayang-bayang kelam dari mimpi Belo lenyap sudah. Termasuk bayang-bayang yang harus kita putus mata rantainya: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di NTT mencapai 306/ 100.000 kelahiran hidup dan AKB 57/1.000 kelahiran hidup.Ya sebagai film kampanye yang digarap serius dengan mempertimbangkan aspek sinematografi dan cerita (bukan film komersil) Inerie menurut saya berhasil, indah sekaligus relatif tidak menggurui. Mungkin karena Inerie sendiri berhasil menggambarkan bagaimana harusnya sebuah saran akan kemaslahatan hidup banyak orang disampaikan dengan cara-cara yang lekat dengan keseharian masyarakat setempat. Dan sebagai film kampanye, saya optimis pesannya akan sampai ke semua lapisan masyarakat di NTT.

Dari informasi yang saya dengar, pemilihan Ngada sebagai setting film tidak semata pertimbangan budaya dan keindahan alam yang bisa menjawab tuntutan sinematik, namun Kabupaten Ngada sendiri kabarnya juga sukses dengan revolusi KIA. Sebuah contoh yang baik untuk kabupaten-kabupaten yang lain di NTT. Selain contoh bagaimana pembuatan tandu, rumah singgah dari kampung ke puskesmas, mengingat lokasinya yang jauh sehingga atas swadaya masyarakat mereka merasa perlu juga membangun sebuah rumah singgah tersebut. Dan pada akhirnya yang lebih penting adalah semakin terbukanya sebuah komunitas adat/ masyarakat kampung untuk peduli dengan isu ini dan bersama dengan mama dukun dan para bidan desa berpartner untuk  menyelamatkan ibu-ibu hamil.

Luar biasa. Selamat untuk Lola Amaria, Chairun Nissa, Maryam Supraba, dan Emanuel Tewa. Sedikit catatan untuk Emanuel salah satu pemain utama yang asli Ngada, aktingnya lumayan mengimbangi kualitas pemain teater sekelas Maryam Supraba. Inerie memang cantik.

NB: Film ini akan diputar di TV lokal NTT dan diputar keliling di 10 kabupaten di NTT. Kedua, kraeng Ivan Nestorman, luar biasa sebagai music directornya Inerie.

1 komentar:

  1. Halo Iker, salam kenal. Ulasan yang sangat menarik, jadi ingin nonton film Inerie.

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...