Minggu, 27 April 2014

Kanuku Leon


Untuk Aleta Baun




Ini bukanlah sebuah dongeng. Ini kenyataan, hanya saja selalu diartikan berbeda oleh banyak kepala. Kenyataan tentang sebuah gunung purba di Timor yang konon menjadi tempat bersemadi seorang Raja bernama Fatuneno yang sering berganti rupa sebagai manusia dan seekor ayam jantan sakti. Karena kesaktiannya, ia mampu menikahi matahari dan lahirlah anak-anak dari matahari; si sulung Penguasa Negeri Timur, berikutnya Penguasa Mataair, dan si bungsu Penguasa Gunung Emas. Dengan persetujuan raja langit, raja bumi dan segenap alam semesta, mereka bertiga tumbuh menjadi tiga lelaki berjiwa ksatria.
Pada suatu malam, ketiga putra mahkota itu diminta oleh sang Raja Fatuneno untuk berkumpul di puncak gunung purba, katanya,
“Kstaria-ksatriaku, coba kalian tengok ke ufuk Barat. Apa yang bisa kalian lihat?”
“Aku melihat sebuah gunung yang puncaknya menyala seperti emas, Ayah,” sambar si Bungsu cepat.
“Aku melihat sebuah gunung lainnya, Ayah. Sebuah gunung aneh, mirip seonggok jantung! Ia memompa banyak darah. Tapi ia mirip denganmu, Ayah. Ia pastilah seorang yang bijaksana,” giliran si Penguasa Mataair berseru tak kalah nyaring.
‘‘Kau, Sulung. Apa yang sudah kau lihat?” tanya Raja.
“Aku melihat sebuah gua yang pelatarannya tumbuh sebuah pohon nunuh besar. Juga aneh, sebab aku melihat wajahmu di kulit pohon itu,” dengan terbata ia melanjutkan, “ta-tapi, Ayah. Pohon itu menunjuk-nunjuk arah ti-timur.” Segera anak sulung itu menoleh ke arah timur. Ia melihat cahaya nan terang.
Lanjutnya dengan mata berbinar, “Aku melihat Ibu.”
“Kalian hebat! Kalian pantas mendapatkan apa yang kalian lihat. Bersiap-siaplah ke gua tempat nunuh besar itu hidup. Bintang dan matahari akan menuntun perjalanan kalian,” titah sang Raja yang langsung menghilang seketika.
Terdengar kokok jantan tiga kali bersamaan dengan pecahnya cahaya merah di Timur.
***
Bermula dari sebuah mimpi yang kerap kali datang, yang terakhir mengabarkan kelahiran sepasang anak dari mataair. Dan Ma Leta adalah perempuan spesial di pegunungan ini yang mendapatkannya. Tentu saja ia ingat betul, pada malam sebelumnya, ia mendapat sebuah mimpi aneh yang menyatakan bahwa ia akan mendapat sepasang burung sikatan dari para raja yang bermukim di sebuah gunung purba penuh ampupu (Eucalyptus urophylla) yang tumbuh subur. Ia menganggap sebuah bunga tidur, sebab ia sendiri terlalu sering mendapat mimpi yang bernada serupa: hutan, gunung dan pah nitu—mereka yang orang-orang kampung yakini sebagai penghuni hutan dan gunung.
Sempat ada niat Ma Leta untuk meminta terjemahan mimpi itu kepada tetua adat kampung, namun sejurus kemudian ia urungkan. Sampai kejadian penemuan sepasang bayi kembar di pinggir mataair, di bawah pohon nunuh dekat Fatunausus, matanya menjadi terbuka. Ia jadi sadar bahwa keseluruhan mimpi itu punya makna khusus.
Penemuan sepasang bayi itu sontak membuat geger orang-orang sekampung. Dengan bantuan kepala desa dan para tetua adat, dilakukanlah sebuah pertemuan kampung untuk mencari tahu dari mana datangnya sepasang bayi itu. Kalau-kalau ada perempuan kampung yang tak mau menanggung malu akibat hamil di luar nikah dan sengaja membuang bayi mereka di mulut mataair. Hasilnya nihil. Akhirnya diputuskan oleh para tetua adat, berdasarkan hasil analisa mimpi: Ma Leta berhak untuk mengasuh kedua putri kembar tersebut. Beruntunglah keduanya sebab dari payudara Ma Leta masih mengalir air susu yang cukup bagi seorang putranya dan sepasang bayi ini. Mereka percaya kedua bayi tersebut adalah hadiah dari para penguasa gunung, hutan dan mataair—bukan saja untuk Ma Leta seorang namun juga bagi warga kampung. Kedua anak tersebut dipercaya membawa tanda akan masih adanya hubungan yang harmonis antara warga kampung dan penguasa gunung, hutan dan mataair.
Ma Leta hidup bersahaja bersama Titus suaminya yang bekerja sebagai guru SD Inpres di kampung Fatunausus serta seorang bocah lelaki, Gabriel, berusia setahun. Sehari-hari Ma’ Leta bekerja sebagai petani bawang, stroberi dan kentang, serta aktif dalam kegiatan pemberdayaan perempuan yang difasilitasi oleh sebuah LSM dari Kupang.
Keberuntungan memang berpihak pada orang-orang Fatunausus dan orang Mollo pada umumnya. Bayangkan, puluhan bukit karst terbungkus hutan ampupu dan kasuari sehingga menjadikannya daerah tangkapan air yang berperan penting bagi sebagian besar penduduk pulau Timor. Mereka bahkan bisa menjadi petani jeruk, bawang putih, kentang dan sayur-sayuran yang sukses. Sungguh ini sama sekali bukan sebuah isapan jempol semata.
Namun ketenangan pegunungan Mollo yang permai harus mendapat cobaan. Bahkan sudah dimulai puluhan tahun sebelumnya ketika Mollo masih dikuasai Belanda. Kaum penjajah itu secara pasti mulai menghancurkan semua ritual adat orang Mollo. Mereka membabat habis pohon-pohon cendana tanpa ritual, tanpa belas kasih.
Tahun 1980 (dua tahun setelah peristiwa penemuan dua bayi kembar di mulut mataair), konsep hutan tanaman industri masuk ke Mollo bersamaan dengan usaha pertambangan. Hutan ditebangi dan diganti dengan mahoni dan jati. Apa yang terjadi kemudian? Debit air berkurang. Tanah menjadi gersang. Pada musim hujan, sering terjadi longsor dan banjir bandang di dataran rendah dekat muara sungai. Apel amtasa yang masyur itu tiba-tiba hilang! Disusul jeruk yang kini pelan-pelan mulai keok terkena penyakit misterius.
Lima belas tahun kemudian, perusahaan tambang marmer muncul lagi ke Mollo dengan kekuatan modal yang lebih besar. Modal yang berhasil menyumpal mulut pejabat daerah, polisi, tentara dan sekelompok preman kampung.
Tak tanggung-tanggung, jumlah marmer di Mollo diperkirakan mencapai 3,5 triliun meter kubik! Angka fantastis yang sudah pasti membikin mata para pengusaha dan penguasa menyala-nyala dan perut mereka yang buncit mengejang kelaparan sebab monster di dalamnya tak henti meracau, minta diisi tumbal segera.
Tiba-tiba saja duo kembar menjadi sakit panas tak henti-hentinya. Ma Leta tahu ini ada hubungannya dengan kedatangan para penambang. Ia harus berbuat sesuatu, pikirnya. Melawantentu sajaatau membiarkan seluruh gunung ini dijarah habis dan meninggalkan derita berkepanjangan bagi rakyat Mollo, terlebih bagi orang-orang di seantero Timor. Maka sejak saat itu, ia memutuskan untuk ‘tanam kakimenolak perusahaan tambang bersama penduduk lainnya.
Tentu mereka punya alasan kuat.
Nenek moyang mereka punya tata cara tersendiri dalam memaknai sang pemberi berkat dan kehidupan. Sebagian dari mereka menganggapnya dewa, sebagiannya lagi yang sudah terpengaruh agama monoteis menyebut sebagai Tuhan. Terserah mau disebut apa. Namun maknanya tak boleh berubah.
Dalam mitologi mereka, ada dua macam dewa, Uis Neno sebagai dewa langit dan Uis Pah sebagai dewa bumi. Matahari adalah representasi Uis Neno, dan bumi adalah representasi Uis Pah yang dipercaya bersama roh orang mati (Pah Nitu) meraja di dunia dan tinggal di hutan, batu karang, mataair, pohon dan gunung-gunung. Maka penting bagi orang Mollo untuk menjaga hubungan harmonis dengan kedua kekuatan kosmos tersebut, sebab akan berdampak bagi kehidupan mereka yang notabene masyarakat agraris.
Jika alam dirusak maka akan datang bencana dari Uis Neno dan Uis Pah. Untuk itu mereka berjuang.
***
Demi Mollo, aku pulang. Demi perjuangan yang aku yakini benar, menyelamatkan Mollo yang hendak diperkosa para penambang rakus. Sebagai anak yang dibesarkan tanah Mollo, kok rasanya terlalu naif jika aku diam begitu saja.
Terngiang kata-kata Ma Leta ketika kami kanak-kanak, yang melebihi kekuatan sebuah cerita dongeng sebelum tidur, “Oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.” Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu adalah tulang.
Kesemuanya adalah aku, yang pulang dan mau berjuang.
Aku Kanala. Aku punya seorang saudara perempuan yang dengannya aku pernah berbagi ruang yang sama ketika berada di dalam rahim ibu. Namanya Kanali. Sebagaimana luna kembar, apapun tentang kami nyaris sama, kecuali bahwa jenis kelamin kami berbeda.
Kami beruntung karena Ma Leta punya banyak kenalan selama berjuang untuk tanah Mollo. Setamat SMA di Kapan (Kota kecamatan di Mollo), kami bertiga mendapat beasiswa untuk kuliah di Jogjakarta. Aku dan Gabriel sama-sama lolos ke UGM. Aku di Fakultas Hukum, Gabriel di Fakultas Ilmu Pertanian. Sedangkan Kinali yang sejak kecil mencintai seni dan jago menenun kain, memilih kuliah diploma mode di salah satu akademi di kota yang sama.
 Menurut teman-teman aktivis Ma Leta yang membantu memberikan katong beasiswa—Om Harry dan istrinya Tanta Dwi—anak-anak muda Mollo harus bersekolah, sehingga tidak mudah ditipu. Mereka adalah mantan aktivis lingkungan dan pernah beberapa kali ke Mollo. Kata-kata tersebut, juga perjuangan Ma Leta, yang selalu memotivasi kami untuk sungguh-sungguh kuliah di Jogjakarta.
Sejak kecil kami sudah tahu betul perjuangan Ma Leta. Semangatnya pun sudah menular ke jiwa kami. Lewat sahabat-sahabat Ma Leta di Jawa, kami pun diajak ikut dalam berbagai kegiatan kampanye lingkungan hidup. Sebenarnya masalah melawan penguasa dan pengusaha pertambangan yang sewenang-wenang bukan milik orang Mollo semata. Banyak saudara lain di pelosok Indonesia juga mengalami hal yang sama. Beruntunglah bahwa selalu ada komunikasi via telepon atau milis, yang memungkinkan kami untuk sama-sama bergerak melawan kesewenangan mengeksploitasi lingkungan secara membabi-buta.
Tahun-tahun pertama di Jogjakarta bukan perkara mudah, pasalnya kami harus meninggalkan Ma Leta yang tengah berjuang mengusir penambang dari Mollo. Dari internet kami  mengetahui banyak berita terkait perjuangan Ma Leta dan masyarakat Mollo, terlebih lagi jika berbicara keselamatan nyawa mereka. Kanali selalu menangis. Seperti kejadian pagi ini di Plaza Fisipol UGM. Gabriel meminta kami untuk berkumpul. Ada info penting katanya.
“Beta sudah dapat telepon dari Mbak Dwi. Kata beliau, keadaan di Mollo sekarang sudah gawat. Ada teror kemarin. Katong pung rumah kena lempar dari preman suruhan. Tapi katong sonde boleh khawatir, karena sudah ada tim dari Kupang yang pi bantu evakuasi dan kasih advokasi kalo nanti diperlukan,” Gabriel berbicara dengan nada tinggi.
Terlihat mata Kanali sudah berkaca-kaca. Aku hanya mampu menahan napas.
“Minggu depan ujian semester sudah abis to, Nala? Om Harry sudah kasih tahu, tiket untuk bosong berdua sudah dibeli. Nanti beta nyusul deng Om Harry dan Tanta Dwi.” 
“Iya, minggu depan ujian sudah habis,” balasku memelas, “tapi Mama babae sa ko?”
“Iya, Om Harry juga bilang begitu. Mama dong sudah sembunyi di tempat yang aman. Katanya preman dari Kapan dan SoE yang pi merusuh ada satu truk. Sonde ada polisi jaga, mungkin karena sudah disuruh Pak Bupati dan dibayar pengusaha tambang itu.”
“Hih, dasar otak perakus semua!” hardik Kinali.
“Sudah katong tenang saja, sonde usah panik. Mama pasti babae saja.”

***
Untuk Mollo aku pulang. Demi perjuangan yang aku yakini benar, menyelamatkan Mollo yang hendak diperkosa para penambang rakus.
Dua minggu kemudian, perlawanan bijak terus digalakkan. Perlawanan tanpa kekerasan. Seluruh elemen masyarakat adat sepakat untuk melakukan sebuah ritual di Oenino tempat mezbah dari batu yang menjadi ‘pintu masuk’ ke gunung Mutis. Gunung Mutis bagi orang Mollo dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para arwah penjaga alam semesta. Akan ada pemotongan hewan kurban sebagai bentuk syukur karena berkat melimpah senantiasa dilimpahkan untuk Mollo. Ajaib memang sebab buldozer-buldozer raksasa itu berhasil angkat kaki dengan teratur berkat sebuah keteguhan hati, dengan keberanian dan cinta yang paling besar.
Sungguh, kekuatan orang Mollo menjadi inspirasi untuk seluruh pelosok negeri. Menjadi kekuatan baru pula bagi masyarakat Amanatun dan Amanuban, untuk menguatkan kembali ‘tiga batu tungku’. Termasuk kami bertiga—aku, Kanari dan Gabriel—yang kini telah bertransformasi menjadi tiga pejuang Mollo angkatan muda, yang siap berjuang melanjutkan usaha Ma’ Leta. Tak ada yang lebih baik selain mempertahankan agar hutan dan gunung-gunung ini tetaplah lestari. Toh, akan berguna juga kelak untuk anak cucu kami.
“Hei, bosong berdua pi mana?” tanya Gabriel yang melihat aku dan Kinali tiba-tiba menyingkir dari kerumunan massa yang sedang menjalani ritual.
“Cuma pi sana, mau lihat-lihat...,” jawab Kinali.
“Hati-hati o, jangan jauh-jauh,” balas Gabriel.
Aku dan Kinali mulai melangkah menuju deretan pohon ampupu besar yang tumbuh rapi. Semakin ke dalam, semakin rapat dan berjanggut batangnya. Nampak sekawanan kuda yang dibiarkan hidup liar oleh pemiliknya berlari menjauh ketika melihat kami. Bukit-bukit karst menyembul magis dari pucuk-pucuk ampupu.
“Nala, lu dengar ada bisikan ko?”
“Heh, Nali, ternyata lu dengar juga? Beta dari tadi pikir cuma beta saja yang dengar itu bisikan aneh.”
“He-he-he... katanya dia panggil ke sana,” bisik Kinali.
“Ho, katong jalan pi sana.”
“Tapi katong mau diajak pi mana?”
“Huss, lu diam-diam saja.”
Semakin ke dalam, hutan yang kami lihat nyaris sama. Pohon ampupu tumbuh rapi, sama tinggi, sama berjanggut dan... rasanya kami sedang berjalan jauh tetapi tubuh kami nyaris tetap berada di hutan yang sama. Namun bisikan itu terus menggerakkan kaki kami.
Dua puluh menit kemudian, peluh mulai membasahi wajah kami. Bisikan itu lenyap. Aku lirik Kinali, ia membalas tatapanku tanpa kata-kata. Seperti mengandung arti ini, Pantang untuk bertanya dan sok tahu ketika berada di dalam hutan! Apalai di hutan Mutis,” begitu pesan Ma’ Leta. Jika bisikan pun dilarang maka mungkin kekuatan hatilah yang bakal meluruskan langkah. Lurus hati.
Semakin ke dalam hutan, rasanya seperti berada di pelukan Ma’ Leta. Tenang, hangat dan damai. Ah, ataukah ini rasanya berada di dalam rahim ibu?
Kanali, kita akan segera bertemu Bapa dan Mama.
Tiga puluh menit kemudian, kami telah tiba di sebuah pelataran yang jauh lebih benderang dengan sepohon nunuh besar persis di tengah pelataran. Di sisi kanannya berdiri kokoh sebuah bukit batu besar yang moncongnya penuh lubang. Sesampainya di pelataran itu, aku merasa tidak menjadi diriku sendiri. Aku bukan lagi Kinala yang dibesarkan dunia.
Mana lu punya kicau? Beta rasa katong sudah sampai Mama pung rahim,” ujarku setengah berteriak.
***
Inilah cara dewa langit dan dewa bumi saling memberi restu dan memadankan harmoni? Aineno sang dewa angin dan Man’a’lili’ dewa matahari yang setia menyertai perjalanan tiga ksatria sampai ke pelataran tempat pohon nunuh berada.
“Kalian istirahatlah dulu. Besok pagi dua anakku tiba. Mereka sedang kutugaskan menjaga seribu mataair di Mollo.” Suara itu muncul dari sela-sela akar gantung nunuh.
Maka istirahatlah mereka. Hingga keesokannya, mereka terbangun oleh suara kicau dua burung mungil di salah satu dahan pohon raksasa.
“Bangunlah, kedua tamu kita sudah sampai.”
Mereka terbangun dan berkumpul di bawah pohon nunuh.
“Ambil piring perak kecil dan duri mawar hutan. Lukai jari kalian dengan duri mawar dan tumpahkan kira-kira sepuluh tetes darah kalian masing-masing ke dalam piring tersebut,” Perintah sang Nunuh, “setelah darah kalian telah tercampur, cecaplah sama rata! Sampai darah di piring itu habis.”
Kemudian mereka melakukan semua petunjuknya dan mulai bercakap-cakap serempak seolah dalam kendali bawah sadar, “Nunuh tafnek lasi tamnau lasi. Nunuh tah menu tiun menu.” Artinya: di antara kita bertiga tak boleh saling berperang, dan batas wilayah yang sudah disetujui bersama tidak boleh dipindahkan.
Ketiganya lantas pergi sesuai petunjuk angin dan matahari. Yang sulung menuju ke Timur maka ia disebut Penguasa dari Timur, anak kedua yang disebut Penguasa Mataair, digiring sepasang burung kenari menyusuri Noel Benain menuju ke Mollo dan si bungsu Penguasa Gunung Emas, menuju ke bukit di pesisir pantai Selatan.
***
“Mama… Ma tahu ko siapa itu raja yang mati di Bitauni?”
“Oh, pohon beringin itu—Kalpataru, kata mbak Dwi—dialah Kanuku Leon, Nara.”
Kanuku Leon?”
“Iya, dia raja dari sekian raja yang pernah berkuasa di Timor, naungan yang abadi.” Seperti pohon Nunuh, atau Kalpataru.
Kanuku Leon itu katong pung Mama ko?”
“Kanuku Leon itu bosong dua pung Bapa. Dia lambang nyata dari beta pung perjuangan dan rakyat Mollo selama ini. Seperti pohon nunuh yang lestari untuk setiap generasi begitu juga katong harus jaga kelestarian Mollo sampai kapanpun. Kapanpun, Nala! Lu harus ingat itu.”
“Terus, katong punya mama siapa?”
“Mama kalian Kolneno, Dewi Burung.”
“Mama, menurut mama, beta dengan Kinali ini siapa?”
“Dua burung Kanuku Leon, penjaga kelestarian alam Mollo.”
“Mama tahu ini semua dari mana?”
“Dari mimpi.”
“Mama percaya mimpi?”
“Percaya karena semua mimpi dikirim Uis Neno dan Uis Pah.
“Mama sonde takut?”
“Belasan tahun beta berjuang, dengan air mata dan darah. Dilempari batu, kaki dibacok, dipukuli di pengadilan dan terpaksa mengungsi, apakah beta menyerah? Sonde akan menyerah!” Ia berbicara dengan suara bergetar dengan kepala tegas mendongak.
Pemuda itu terdiam sesaat. Kemudian memegang tangan ibunya dan berbisik, “Selamat tidur Ma Leta.”
“Selamat tidur Nala, katong punya perjuangan belum usai.
Pemuda itu pergi ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang tercenung di teras rumah, sambil menunggu saat-saat bulan purnama ditelan Fatunausus. Peristiwa yang ia percaya akan membuat tulang batu itu mengejang dan kian kokoh.

Kapan - Jogja, 2009 (untuk Aleta Baun)

Keterangan:
  1. Nunuh: beringin, kalpataru.
  2. Amtasa: apel yang sempat menjadi primadona Mollo, berwarna hijau kemerahan. Akhir tahun 1980 mendadak mati tak berbekas oleh penyakit misterius.
  3. Katong: kami
  4. Bosong: kalian
  5. Kanuku leon adalah syair kuno yang berisikan ratapan masyarakat Tetun di Timor tentang sosok raja nan bijak―diibaratkan seperti sebuah pohon beringin pelindung-pengayom―yang telah mangkat (Syair ini pertama kali dibukukan dalam buku Ethnographie der Belu in Central Timor karya Pater Vroklage, SVD. Kemudian ditulis ulang oleh Herman Yoseph Seran dalam buku Ema Tetun). Saya mendeskripsikan secara bebas tentang sosok Kanuku Leon yang dianggap sebagai representasi dari kesedihan sang empunya kebijaksanaan (baca: Tuhan atau raja atau usif atau ibu pertiwi) sebab alam telah dirusak oleh manusia. Dan tidak mengabaikan keterkaitan sejarah antara Tetun dan Dawan.
  6. Uis Neno: dewa langit, dan Uis Pah: dewa bumi.
  7. Tokoh Ma’ Leta adalah Aleta Baun dalam kehidupan nyata. Seorang pejuang adat dan lingkungan masyarakat Mollo, peraih Goldman Prize 2013. Kepadanyalah buku cerpen ini saya persembahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...