Untuk Aleta Baun
Ini
bukanlah sebuah dongeng. Ini kenyataan, hanya saja selalu diartikan berbeda
oleh banyak kepala. Kenyataan tentang sebuah gunung purba di Timor yang konon
menjadi tempat bersemadi seorang Raja bernama Fatuneno yang sering berganti
rupa sebagai manusia dan seekor ayam jantan sakti. Karena kesaktiannya, ia
mampu menikahi matahari dan lahirlah anak-anak dari matahari; si sulung
Penguasa Negeri Timur, berikutnya Penguasa
Mataair, dan si bungsu Penguasa Gunung Emas. Dengan persetujuan raja langit,
raja bumi dan segenap alam semesta, mereka bertiga tumbuh menjadi tiga lelaki
berjiwa ksatria.
Pada
suatu malam, ketiga putra mahkota itu diminta oleh sang Raja Fatuneno untuk
berkumpul di puncak gunung purba, katanya,
“Kstaria-ksatriaku,
coba kalian tengok ke ufuk Barat. Apa yang bisa kalian lihat?”
“Aku
melihat sebuah gunung yang puncaknya menyala seperti emas, Ayah,” sambar si
Bungsu cepat.
“Aku
melihat sebuah gunung lainnya, Ayah. Sebuah gunung aneh, mirip seonggok jantung!
Ia memompa banyak darah. Tapi ia mirip denganmu, Ayah. Ia pastilah seorang yang
bijaksana,” giliran si Penguasa Mataair berseru tak kalah nyaring.
‘‘Kau,
Sulung. Apa yang sudah kau lihat?” tanya Raja.
“Aku
melihat sebuah gua yang pelatarannya tumbuh sebuah pohon nunuh besar. Juga aneh, sebab aku melihat wajahmu di kulit pohon
itu,” dengan terbata ia melanjutkan, “ta-tapi, Ayah. Pohon itu menunjuk-nunjuk
arah ti-timur.”
Segera anak sulung itu menoleh ke arah timur. Ia melihat cahaya nan terang.
Lanjutnya dengan mata
berbinar, “Aku melihat Ibu.”
“Kalian
hebat! Kalian pantas mendapatkan apa yang kalian lihat. Bersiap-siaplah ke gua
tempat nunuh besar itu hidup. Bintang dan matahari akan menuntun
perjalanan kalian,” titah sang Raja yang langsung menghilang seketika.
Terdengar
kokok jantan tiga kali bersamaan dengan pecahnya cahaya merah di Timur.
***
Bermula
dari sebuah mimpi yang kerap kali datang, yang terakhir mengabarkan kelahiran
sepasang anak dari mataair. Dan Ma’
Leta adalah perempuan spesial di pegunungan
ini yang mendapatkannya. Tentu saja ia ingat betul, pada malam sebelumnya, ia
mendapat sebuah mimpi aneh yang menyatakan bahwa ia akan mendapat sepasang burung
sikatan dari para raja yang bermukim di sebuah gunung purba penuh ampupu (Eucalyptus urophylla) yang tumbuh subur.
Ia menganggap sebuah bunga tidur, sebab ia sendiri terlalu sering mendapat
mimpi yang bernada serupa: hutan, gunung dan pah nitu—mereka yang orang-orang
kampung yakini sebagai penghuni hutan dan gunung.
Sempat
ada niat Ma’
Leta untuk meminta
terjemahan mimpi itu kepada tetua adat kampung, namun sejurus kemudian ia
urungkan. Sampai kejadian penemuan sepasang bayi kembar di pinggir mataair, di
bawah pohon nunuh dekat Fatunausus,
matanya menjadi terbuka. Ia jadi sadar bahwa keseluruhan mimpi itu punya makna
khusus.
Penemuan
sepasang bayi itu sontak membuat geger orang-orang sekampung. Dengan bantuan
kepala desa dan para tetua adat, dilakukanlah sebuah pertemuan kampung untuk
mencari tahu dari mana datangnya sepasang bayi itu. Kalau-kalau ada perempuan
kampung yang tak mau menanggung malu akibat hamil di luar nikah dan sengaja membuang
bayi mereka di mulut mataair. Hasilnya nihil. Akhirnya diputuskan oleh para
tetua adat, berdasarkan hasil analisa mimpi: Ma’ Leta berhak untuk mengasuh kedua putri
kembar tersebut. Beruntunglah keduanya sebab dari payudara Ma’ Leta masih mengalir air susu yang cukup bagi
seorang putranya dan sepasang bayi ini. Mereka percaya kedua bayi tersebut
adalah hadiah dari para penguasa gunung, hutan dan mataair—bukan saja untuk Ma’ Leta seorang namun juga bagi warga
kampung. Kedua anak tersebut dipercaya membawa tanda akan masih adanya hubungan
yang harmonis antara warga kampung dan penguasa gunung, hutan dan mataair.
Ma’ Leta hidup bersahaja bersama Titus suaminya
yang bekerja sebagai guru SD
Inpres
di kampung Fatunausus serta seorang bocah lelaki, Gabriel, berusia setahun. Sehari-hari Ma’ Leta bekerja
sebagai petani bawang, stroberi dan kentang, serta aktif dalam kegiatan pemberdayaan
perempuan yang difasilitasi oleh sebuah LSM dari Kupang.
Keberuntungan
memang berpihak pada orang-orang Fatunausus dan orang Mollo pada umumnya.
Bayangkan, puluhan bukit karst terbungkus hutan ampupu dan kasuari sehingga menjadikannya
daerah tangkapan air yang berperan penting bagi sebagian besar penduduk pulau
Timor. Mereka bahkan bisa menjadi petani jeruk, bawang putih, kentang dan
sayur-sayuran yang sukses. Sungguh ini sama sekali bukan sebuah isapan jempol
semata.
Namun
ketenangan pegunungan Mollo yang permai harus mendapat cobaan. Bahkan sudah
dimulai puluhan tahun sebelumnya ketika Mollo masih dikuasai Belanda. Kaum
penjajah itu secara pasti mulai menghancurkan semua ritual adat orang Mollo. Mereka
membabat habis pohon-pohon cendana tanpa ritual, tanpa belas kasih.
Tahun
1980 (dua tahun setelah peristiwa penemuan dua bayi kembar di mulut mataair),
konsep hutan tanaman industri masuk ke Mollo bersamaan dengan usaha
pertambangan.
Hutan
ditebangi dan diganti dengan mahoni dan jati. Apa yang terjadi kemudian? Debit
air berkurang. Tanah menjadi gersang. Pada musim hujan, sering terjadi longsor dan banjir bandang di dataran rendah dekat muara
sungai. Apel
amtasa yang masyur itu tiba-tiba
hilang! Disusul jeruk yang kini pelan-pelan mulai keok terkena penyakit
misterius.
Lima
belas tahun kemudian, perusahaan tambang marmer muncul lagi ke Mollo dengan kekuatan modal yang
lebih besar. Modal yang berhasil menyumpal mulut pejabat daerah, polisi,
tentara dan sekelompok preman kampung.
Tak
tanggung-tanggung, jumlah marmer di Mollo diperkirakan mencapai 3,5 triliun meter
kubik! Angka fantastis yang sudah pasti membikin mata para pengusaha dan
penguasa menyala-nyala dan perut mereka yang buncit mengejang kelaparan sebab
monster di dalamnya
tak henti meracau, minta diisi tumbal segera.
Tiba-tiba
saja duo kembar menjadi sakit panas tak henti-hentinya. Ma’ Leta tahu ini ada hubungannya dengan
kedatangan para penambang. Ia harus berbuat sesuatu, pikirnya. Melawan―tentu saja―atau membiarkan seluruh gunung ini
dijarah habis dan meninggalkan derita berkepanjangan bagi rakyat Mollo, terlebih bagi orang-orang di seantero Timor.
Maka sejak saat itu, ia memutuskan untuk ‘tanam kaki’ menolak perusahaan tambang bersama penduduk lainnya.
Tentu mereka punya
alasan kuat.
Nenek
moyang mereka punya tata cara tersendiri dalam memaknai sang pemberi berkat dan kehidupan.
Sebagian dari mereka menganggapnya dewa, sebagiannya lagi yang sudah
terpengaruh agama monoteis menyebut sebagai Tuhan. Terserah mau disebut apa.
Namun maknanya tak boleh berubah.
Dalam
mitologi mereka, ada dua macam dewa, Uis
Neno sebagai dewa langit dan Uis Pah
sebagai dewa bumi. Matahari adalah representasi Uis Neno, dan bumi adalah representasi Uis Pah yang dipercaya bersama
roh orang mati (Pah Nitu) meraja di
dunia dan tinggal di hutan, batu karang, mataair, pohon dan gunung-gunung. Maka penting bagi orang Mollo untuk menjaga hubungan
harmonis dengan kedua kekuatan kosmos tersebut, sebab akan berdampak bagi kehidupan
mereka yang notabene masyarakat
agraris.
Jika
alam dirusak maka akan datang bencana dari Uis
Neno dan Uis Pah. Untuk itu mereka berjuang.
***
Demi
Mollo, aku pulang. Demi perjuangan yang aku yakini benar, menyelamatkan Mollo
yang hendak diperkosa para penambang rakus. Sebagai anak yang dibesarkan tanah
Mollo, kok rasanya terlalu naif
jika aku diam begitu saja.
Terngiang kata-kata Ma’ Leta ketika kami
kanak-kanak, yang melebihi kekuatan sebuah cerita dongeng sebelum tidur, “Oel
nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes
on nuif.” Air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah
daging, batu adalah tulang.
Kesemuanya adalah aku, yang pulang dan mau berjuang.
Aku
Kanala. Aku punya
seorang saudara perempuan yang dengannya aku pernah berbagi ruang yang sama
ketika berada di dalam rahim ibu. Namanya Kanali. Sebagaimana luna kembar, apapun
tentang kami nyaris sama, kecuali bahwa jenis kelamin kami berbeda.
Kami
beruntung karena Ma’
Leta punya banyak kenalan
selama berjuang untuk tanah Mollo.
Setamat SMA di Kapan (Kota
kecamatan di Mollo), kami bertiga mendapat beasiswa untuk kuliah di Jogjakarta.
Aku dan Gabriel sama-sama lolos ke UGM. Aku
di Fakultas Hukum, Gabriel di Fakultas Ilmu Pertanian. Sedangkan Kinali
yang sejak kecil mencintai seni dan jago menenun kain, memilih kuliah diploma mode di salah satu akademi di kota yang sama.
Menurut teman-teman aktivis Ma’ Leta yang membantu memberikan katong beasiswa—Om Harry dan istrinya Tanta Dwi—anak-anak muda Mollo
harus bersekolah, sehingga tidak mudah ditipu. Mereka adalah mantan aktivis lingkungan
dan pernah beberapa kali ke Mollo. Kata-kata tersebut, juga perjuangan Ma’ Leta, yang selalu memotivasi kami untuk
sungguh-sungguh kuliah di Jogjakarta.
Sejak
kecil kami
sudah tahu betul perjuangan Ma’
Leta. Semangatnya pun
sudah menular ke jiwa kami. Lewat sahabat-sahabat Ma’ Leta di Jawa, kami pun diajak ikut dalam
berbagai kegiatan kampanye lingkungan hidup. Sebenarnya masalah melawan
penguasa dan pengusaha pertambangan yang sewenang-wenang bukan milik orang
Mollo semata. Banyak saudara lain di pelosok Indonesia juga mengalami hal yang
sama. Beruntunglah bahwa selalu ada komunikasi via telepon atau milis, yang
memungkinkan kami untuk sama-sama bergerak melawan kesewenangan mengeksploitasi
lingkungan secara membabi-buta.
Tahun-tahun
pertama di Jogjakarta bukan perkara mudah, pasalnya kami harus meninggalkan Ma’ Leta yang tengah berjuang
mengusir penambang dari Mollo. Dari internet kami mengetahui banyak berita terkait perjuangan Ma’ Leta dan masyarakat Mollo, terlebih lagi
jika berbicara keselamatan nyawa mereka. Kanali selalu menangis. Seperti kejadian pagi
ini di Plaza Fisipol UGM. Gabriel meminta kami untuk berkumpul. Ada info
penting katanya.
“Beta
sudah dapat telepon dari Mbak Dwi. Kata beliau, keadaan di Mollo sekarang sudah gawat. Ada teror kemarin.
Katong pung rumah kena lempar dari preman suruhan. Tapi katong sonde boleh
khawatir, karena sudah ada tim dari Kupang yang pi bantu evakuasi dan kasih
advokasi kalo nanti diperlukan,” Gabriel berbicara dengan nada tinggi.
Terlihat mata Kanali sudah berkaca-kaca. Aku hanya mampu menahan napas.
“Minggu
depan ujian semester sudah abis to, Nala?
Om Harry sudah kasih tahu, tiket untuk bosong berdua sudah dibeli. Nanti beta nyusul deng
Om Harry dan Tanta Dwi.”
“Iya,
minggu depan ujian sudah habis,” balasku memelas, “tapi Mama babae sa ko?”
“Iya,
Om Harry juga bilang begitu. Mama dong sudah sembunyi di tempat yang aman.
Katanya preman dari Kapan dan SoE yang pi merusuh ada satu truk. Sonde ada
polisi jaga,
mungkin karena sudah disuruh
Pak
Bupati dan dibayar pengusaha
tambang itu.”
“Hih,
dasar otak perakus semua!” hardik Kinali.
“Sudah
katong tenang saja, sonde usah panik. Mama pasti babae saja.”
***
Untuk Mollo aku pulang. Demi perjuangan yang aku yakini benar, menyelamatkan Mollo
yang hendak diperkosa para penambang rakus.
Dua
minggu kemudian, perlawanan bijak
terus digalakkan. Perlawanan tanpa kekerasan. Seluruh elemen masyarakat adat sepakat untuk
melakukan sebuah ritual di Oenino tempat mezbah dari batu yang menjadi ‘pintu
masuk’ ke gunung Mutis. Gunung
Mutis bagi orang Mollo dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para
arwah penjaga alam semesta. Akan ada pemotongan hewan kurban sebagai bentuk
syukur karena berkat melimpah senantiasa dilimpahkan untuk Mollo. Ajaib memang sebab buldozer-buldozer
raksasa itu berhasil angkat kaki
dengan teratur berkat sebuah keteguhan hati, dengan keberanian dan cinta
yang paling besar.
Sungguh,
kekuatan orang Mollo menjadi inspirasi untuk seluruh pelosok negeri. Menjadi
kekuatan baru pula bagi masyarakat Amanatun dan Amanuban, untuk menguatkan
kembali ‘tiga batu tungku’. Termasuk kami bertiga—aku, Kanari dan Gabriel—yang
kini telah bertransformasi menjadi tiga pejuang Mollo angkatan muda, yang siap
berjuang melanjutkan usaha Ma’ Leta. Tak ada yang lebih baik selain
mempertahankan agar hutan dan gunung-gunung ini tetaplah lestari. Toh, akan
berguna juga kelak untuk anak cucu kami.
“Hei,
bosong berdua pi mana?” tanya Gabriel yang melihat aku dan Kinali tiba-tiba menyingkir
dari kerumunan massa yang sedang menjalani ritual.
“Cuma pi sana, mau lihat-lihat...,” jawab Kinali.
“Hati-hati o, jangan
jauh-jauh,” balas Gabriel.
Aku dan Kinali mulai melangkah menuju
deretan pohon ampupu besar yang tumbuh rapi. Semakin ke dalam, semakin rapat dan berjanggut batangnya.
Nampak
sekawanan kuda yang dibiarkan hidup liar oleh pemiliknya berlari menjauh ketika
melihat kami. Bukit-bukit
karst menyembul magis dari pucuk-pucuk ampupu.
“Nala, lu dengar ada bisikan ko?”
“Heh,
Nali, ternyata lu
dengar juga? Beta dari tadi pikir cuma beta saja yang dengar itu bisikan aneh.”
“He-he-he... katanya
dia panggil ke sana,” bisik Kinali.
“Ho, katong jalan pi sana.”
“Tapi katong mau diajak pi mana?”
“Huss, lu diam-diam
saja.”
Semakin
ke dalam, hutan yang kami lihat nyaris sama. Pohon ampupu tumbuh rapi, sama
tinggi, sama berjanggut
dan... rasanya kami
sedang berjalan jauh tetapi tubuh kami nyaris tetap berada di hutan yang sama. Namun
bisikan itu terus menggerakkan kaki kami.
Dua
puluh menit kemudian, peluh mulai membasahi wajah kami. Bisikan itu lenyap. Aku lirik Kinali, ia membalas tatapanku tanpa kata-kata. Seperti mengandung arti ini,
“Pantang untuk bertanya dan sok tahu
ketika berada di dalam hutan! Apalai di hutan Mutis,”
begitu pesan Ma’ Leta. Jika bisikan pun dilarang maka mungkin kekuatan
hatilah
yang bakal meluruskan
langkah. Lurus hati.
Semakin
ke dalam hutan, rasanya seperti berada di pelukan Ma’ Leta. Tenang, hangat dan
damai. Ah, ataukah ini rasanya berada di dalam rahim ibu?
Kanali, kita akan segera bertemu Bapa
dan Mama.
Tiga
puluh menit kemudian, kami telah tiba di sebuah pelataran yang jauh lebih
benderang dengan sepohon nunuh besar
persis di tengah pelataran. Di sisi kanannya berdiri kokoh sebuah bukit batu
besar yang moncongnya penuh lubang. Sesampainya di pelataran itu, aku merasa tidak menjadi diriku sendiri. Aku bukan lagi Kinala yang
dibesarkan dunia.
“Mana lu punya kicau? Beta rasa katong sudah
sampai Mama pung rahim,” ujarku
setengah berteriak.
***
Inilah
cara dewa langit dan dewa bumi saling memberi restu dan memadankan harmoni? Aineno sang dewa angin dan Man’a’lili’
dewa matahari yang setia menyertai perjalanan
tiga ksatria sampai ke pelataran tempat pohon nunuh berada.
“Kalian
istirahatlah dulu. Besok pagi dua anakku
tiba. Mereka sedang kutugaskan menjaga seribu mataair di Mollo.” Suara itu
muncul dari sela-sela akar gantung nunuh.
Maka
istirahatlah mereka. Hingga keesokannya, mereka terbangun oleh suara kicau dua
burung mungil di salah satu dahan pohon raksasa.
“Bangunlah,
kedua tamu kita sudah sampai.”
Mereka
terbangun dan berkumpul di bawah pohon nunuh.
“Ambil
piring perak kecil dan duri mawar hutan. Lukai jari kalian dengan duri mawar
dan tumpahkan kira-kira sepuluh tetes darah kalian masing-masing ke dalam
piring tersebut,” Perintah sang Nunuh, “setelah darah kalian telah
tercampur, cecaplah sama rata! Sampai darah di piring itu habis.”
Kemudian
mereka melakukan semua petunjuknya dan mulai bercakap-cakap serempak seolah
dalam kendali bawah sadar, “Nunuh tafnek
lasi tamnau lasi. Nunuh tah menu tiun menu.” Artinya: di antara kita
bertiga tak boleh saling berperang, dan batas wilayah yang sudah disetujui
bersama tidak boleh dipindahkan.
Ketiganya
lantas pergi sesuai petunjuk angin dan matahari. Yang sulung menuju ke Timur
maka ia disebut Penguasa dari Timur, anak kedua yang disebut Penguasa Mataair, digiring sepasang burung kenari menyusuri
Noel Benain menuju ke Mollo dan si bungsu Penguasa Gunung Emas, menuju ke bukit
di pesisir pantai Selatan.
***
“Mama… Ma tahu ko siapa
itu raja yang mati di Bitauni?”
“Oh, pohon beringin itu—Kalpataru,
kata mbak Dwi—dialah Kanuku Leon,
Nara.”
“Kanuku Leon?”
“Iya,
dia raja dari sekian raja yang pernah berkuasa di Timor, naungan yang abadi.” Seperti
pohon Nunuh, atau Kalpataru.
“Kanuku Leon itu katong pung Mama ko?”
“Kanuku
Leon itu bosong dua pung Bapa. Dia lambang nyata dari beta pung perjuangan dan
rakyat Mollo selama ini. Seperti pohon nunuh
yang lestari untuk setiap generasi begitu juga katong harus jaga kelestarian Mollo
sampai kapanpun. Kapanpun, Nala!
Lu harus ingat itu.”
“Terus, katong punya
mama siapa?”
“Mama kalian Kolneno, Dewi Burung.”
“Mama, menurut mama,
beta dengan Kinali ini siapa?”
“Dua burung Kanuku Leon, penjaga kelestarian alam
Mollo.”
“Mama tahu ini semua dari
mana?”
“Dari mimpi.”
“Mama percaya mimpi?”
“Percaya karena semua mimpi dikirim Uis Neno
dan Uis Pah.”
“Mama sonde takut?”
“Belasan
tahun beta berjuang, dengan air mata dan darah. Dilempari batu, kaki dibacok,
dipukuli di pengadilan dan terpaksa mengungsi, apakah beta menyerah? Sonde akan menyerah!” Ia
berbicara dengan suara bergetar dengan kepala tegas mendongak.
Pemuda
itu terdiam sesaat. Kemudian memegang tangan ibunya dan berbisik, “Selamat tidur
Ma Leta.”
“Selamat
tidur Nala,
katong punya perjuangan belum usai.”
Pemuda
itu pergi ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang tercenung di teras rumah, sambil menunggu saat-saat bulan purnama
ditelan Fatunausus. Peristiwa
yang ia percaya akan membuat tulang batu itu mengejang dan kian kokoh.
Kapan
- Jogja, 2009 (untuk Aleta Baun)
Keterangan:
- Nunuh:
beringin, kalpataru.
- Amtasa:
apel yang sempat menjadi primadona Mollo, berwarna hijau kemerahan. Akhir tahun 1980 mendadak
mati tak berbekas oleh
penyakit misterius.
- Katong: kami
- Bosong: kalian
- Kanuku leon adalah syair kuno
yang berisikan ratapan masyarakat Tetun di Timor tentang sosok raja nan
bijak―diibaratkan seperti sebuah pohon beringin pelindung-pengayom―yang telah
mangkat (Syair ini pertama kali dibukukan dalam buku Ethnographie der Belu in Central Timor karya Pater Vroklage, SVD. Kemudian
ditulis ulang oleh Herman Yoseph Seran dalam buku Ema Tetun). Saya mendeskripsikan secara bebas
tentang sosok Kanuku Leon yang dianggap sebagai representasi dari
kesedihan sang empunya kebijaksanaan (baca: Tuhan atau raja atau usif atau ibu pertiwi) sebab alam telah
dirusak oleh manusia. Dan tidak mengabaikan keterkaitan sejarah antara
Tetun dan Dawan.
- Uis Neno: dewa langit, dan
Uis Pah: dewa bumi.
- Tokoh Ma’ Leta adalah Aleta Baun dalam kehidupan nyata. Seorang pejuang adat dan lingkungan masyarakat Mollo, peraih Goldman Prize 2013. Kepadanyalah buku cerpen ini saya persembahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...