Selasa, 27 Agustus 2013

Minggu Pagi di LP Anak Penfui



Nama saya R, umur 14 tahun. Saya berada di sini karena tersangkut kasus asusila yakni tindak perkosaan terhadap anak berusia 8 tahun. Begitulah R memperkenalkan diri kepada saya pada kesempatan misa dan ramah tamah Kelompok Solidaritas dan kelompok doa Pokok Anggur dengan penghuni LP Anak Penfui, Minggu 25 Agustus 2013.
Misa dimulai tepat jam 8 pagi dipimpin oleh Romo Sipri Senda, Pr, selaku koordinator kelompok Solidaritas. Setengah jam sebelumnya, 3 orang sipir LP anak menerima kami dengan sangat ramah. “Terima kasih karena romo dan rombongan dari Solidaritas dan kelompok doa Pokok Anggur sudah berkenan hadir untuk merayakan misa hari Minggu bersama kami di sini,” ujar bapak sipir yang mengaku dirinya berasal dari Lio, Flores. (saya lupa namanya, maaf). Bapak tersebut bercerita sesudah misa, bahwa penghuni lapas yang beragama Katolik hanya 5 orang saja sehingga jarang ada imam yang datang melayani dan mengadakan perayaan ekaristi di LP Anak.
Sedangkan jumlah anak yang beragama protestan lumayan banyak sehingga bisa terlayani oleh pendeta setiap minggunya. Menurut pak sipir, kegiatan kerohanian terakhir kali mereka lakukan kurang lebih 6 bulan lalu ketika kedatangan rombongan Orang Muda Katolik dari paroki Tofa.
Ini merupakan pengalaman pertama saya merayakan misa bersama di LP Anak. Ketika masuk ke dalam LP, kesan seram yang ada di benak saya seketika sirna. LP-nya luas dan bersih. Kami langsung diarahkan ke aula. Setelah bersiap-siap, datanglah 5 anak Katolik penghuni LP Anak, rata-rata berusia remaja 16 tahun. Sepintas yang bisa saya lihat adalah wajah-wajah segar dan bersemangat seperti kebanyakan ekspresi remaja di luar sana. Kesan ini semakin nyata terlihat ketika misa selesai dan kelompok yang lebih besar yang beragama Protestan diundang juga untuk hadir bersama dalam acara ramah tamah (dan band mereka menyanyikan lagu Noah dengan sangat apik).
Secara fisik mereka nampak sehat, bugar dan ekspresif. Umumnya demikian, meski masih ada satu dua anak yang terlihat pendiam dan murung. Salah satunya R, yang duduk di deretan paling belakang. Postur tubuhnya memang yang paling mungil dari kebanyakan penghuni LP Anak. Saya langsung mendekat dan berkenalan. Tak ada gurat malu-malu. Kami mengobrol sekitar 10 menit dan ia bercerita banyak tentang awal mula kenapa ia bisa ditahan di LP Anak ini. Ia lumayan terbuka, hanya saja semakin lama ia bercerita nampak gurat sedih dan cemas terbit dari matanya. Ia berbicara sambil terus meremas-remas jemari tangannya. Saya tersenyum dan menepuk pundaknya.
“Saya mendapat hukuman 2 tahun penjara. Keluarga saya berasal dari Rote. Saya melakukan tindakan asusila itu saat berusia 13 tahun.” (Sipir dan anak-anak di LP ini lebih sering menggunakan kata ‘tindakan asusila’ ketimbang ‘memperkosa’ atau ‘mencabuli’, dan lain sebagainya.)
“Saya melakukan hal itu di sebuah aula kelurahan dekat rumah saya. Saya menyesal...” wajahnya mendadak muram. Mendadak saya ikutan sedih. Ya Tuhaaan, anak usia 14 tahun sudah menanggung beban seberat ini.
Saya berpikir, R melakukan tindakan pemerkosaan terhadap anak berusia 8 tahun, ketika usianya baru 13 tahun. Masa ketika ia secara fisik dan psikis masuk dalam tahap pubertas. Hormonalnya sedang berkembang pesat, dan sebenarnya ia butuh pendampingan dan bimbingan dari orang-orang terdekatnya untuk membantunya mengelola gejolak fisik dan psikisnya tersebut. Pertanyaan saya kemudian, kemanakah orang tuanya, guru-gurunya?
Saya kira ini penting juga untuk kita renungkan. Sebagai orang tua, apa yang sudah kita lakukan ketika anak kita sudah memasuki masa remaja, ketika tubuh dan jiwanya secara tiba-tiba berkembang dengan pesat, di masa yang kita sebut sebagai pubertas. Sekali lagi apa yang sudah kita lakukan? Tentu pola pengasuhan dulu berbeda dengan sekarang. Ketika orang tua bilang, “ah, dulu orang tua kita tidak ada yang secara khusus mendampingi anaknya saat remaja? Tapi buktinya kita baik-baik.” Yah, memang demikian tetapi generasi sudah berbeda. Zaman dulu tidak ada internet, televisi, koran, majalah dengan konten tertentu yang begitu terbuka dan leluasanya ‘mengiringi’ periode pubertas remaja kita kan? Kini keterbukaan teknologi itu bisa saja memicu perilaku agresi dan asusila pada anak.
Saya kira ini potret buram anak-anak dari keluarga menengah ke bawah di daerah kita. Zaman ketika teknologi terlampau berkembang pesat namun tak seiring sejalan dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat (keluarga, anak-anak, guru, dsb). Ada gap atau jurang pemisah di sini. Kenapa? Bisa jadi karena tingkat pendidikan yang rendah, bisa juga karena orientasi keluarga adalah ekonomi dan kesejahteraan keluarga sehingga abai dalam pendampingan tumbuh kembang anak mereka.
Lalu terjadilah kasus-kasus seperti R. Mereka harus masuk bui di usia sangat belia. Menangung seluruhnya meski menurut saya harusnya tidak. Artinya orang tua harusnya bertanggungjawab juga terhadap hal seperti ini. Terlalu kompleks, dan kurang tepat jika kita hanya bisa menanggungkan semua itu pada si anak. Ketika pak sipir bicara, katanya sebagian besar kasus anak-anak adalah kasus asusila. Nah!
Sayang sekali saya hanya punya waktu singkat saja mengobrol dengan R. Padahal saya masih ingin sekali menggali lebih banyak informasi dan motif-motif mereka, juga kondisi psikologis mereka saat ini. Sebab mereka harus disembuhkan dari masalah dan luka batinnya, jika kita ingin mereka keluar dan menjadi pribadi yang sehat lahir batin. Okelah, selama di LP, sudah ada banyak sekali kegiatan positif yang turut membentuk karakter/kepribadian serta ketrampilan hidup mereka. Tapi apakah selama ini ada layanan konseling yang cukup untuk mengelola keterampilan emosi mereka?
Yang pasti saya ingin kembali ke LP Anak Penfui lagi. Saya masih terlalu penasaran untuk berbicara banyak hal dengan mereka. Semoga segera terwujud lagi. 

******

Christian Dicky Senda. Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Bergiat di Forum Soe Peduli, Komunitas Blogger NTT dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Saat ini menetap di Kupang dan bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...