Nama saya R,
umur 14 tahun. Saya berada di sini karena tersangkut kasus asusila yakni tindak
perkosaan terhadap anak berusia 8 tahun. Begitulah R memperkenalkan diri kepada
saya pada kesempatan misa dan ramah tamah Kelompok Solidaritas dan kelompok doa
Pokok Anggur dengan penghuni LP Anak Penfui, Minggu 25 Agustus 2013.
Misa dimulai
tepat jam 8 pagi dipimpin oleh Romo Sipri Senda, Pr, selaku koordinator
kelompok Solidaritas. Setengah jam sebelumnya, 3 orang sipir LP anak menerima
kami dengan sangat ramah. “Terima kasih karena romo dan rombongan dari
Solidaritas dan kelompok doa Pokok Anggur sudah berkenan hadir untuk merayakan
misa hari Minggu bersama kami di sini,” ujar bapak sipir yang mengaku dirinya
berasal dari Lio, Flores. (saya lupa namanya, maaf). Bapak tersebut bercerita
sesudah misa, bahwa penghuni lapas yang beragama Katolik hanya 5 orang saja
sehingga jarang ada imam yang datang melayani dan mengadakan perayaan ekaristi
di LP Anak.
Sedangkan jumlah anak yang beragama protestan lumayan banyak sehingga bisa terlayani oleh pendeta setiap minggunya. Menurut pak sipir, kegiatan kerohanian terakhir kali mereka lakukan kurang lebih 6 bulan lalu ketika kedatangan rombongan Orang Muda Katolik dari paroki Tofa.
Sedangkan jumlah anak yang beragama protestan lumayan banyak sehingga bisa terlayani oleh pendeta setiap minggunya. Menurut pak sipir, kegiatan kerohanian terakhir kali mereka lakukan kurang lebih 6 bulan lalu ketika kedatangan rombongan Orang Muda Katolik dari paroki Tofa.
Ini
merupakan pengalaman pertama saya merayakan misa bersama di LP Anak. Ketika
masuk ke dalam LP, kesan seram yang ada di benak saya seketika sirna. LP-nya
luas dan bersih. Kami langsung diarahkan ke aula. Setelah bersiap-siap,
datanglah 5 anak Katolik penghuni LP Anak, rata-rata berusia remaja 16 tahun.
Sepintas yang bisa saya lihat adalah wajah-wajah segar dan bersemangat seperti
kebanyakan ekspresi remaja di luar sana. Kesan ini semakin nyata terlihat
ketika misa selesai dan kelompok yang lebih besar yang beragama Protestan
diundang juga untuk hadir bersama dalam acara ramah tamah (dan band mereka
menyanyikan lagu Noah dengan sangat apik).
Secara fisik
mereka nampak sehat, bugar dan ekspresif. Umumnya demikian, meski masih ada
satu dua anak yang terlihat pendiam dan murung. Salah satunya R, yang duduk di
deretan paling belakang. Postur tubuhnya memang yang paling mungil dari
kebanyakan penghuni LP Anak. Saya langsung mendekat dan berkenalan. Tak ada
gurat malu-malu. Kami mengobrol sekitar 10 menit dan ia bercerita banyak
tentang awal mula kenapa ia bisa ditahan di LP Anak ini. Ia lumayan terbuka,
hanya saja semakin lama ia bercerita nampak gurat sedih dan cemas terbit dari
matanya. Ia berbicara sambil terus meremas-remas jemari tangannya. Saya
tersenyum dan menepuk pundaknya.
“Saya
mendapat hukuman 2 tahun penjara. Keluarga saya berasal dari Rote. Saya
melakukan tindakan asusila itu saat berusia 13 tahun.” (Sipir dan anak-anak di
LP ini lebih sering menggunakan kata ‘tindakan asusila’ ketimbang ‘memperkosa’
atau ‘mencabuli’, dan lain sebagainya.)
“Saya
melakukan hal itu di sebuah aula kelurahan dekat rumah saya. Saya menyesal...”
wajahnya mendadak muram. Mendadak saya ikutan sedih. Ya Tuhaaan, anak usia 14
tahun sudah menanggung beban seberat ini.
Saya
berpikir, R melakukan tindakan pemerkosaan terhadap anak berusia 8 tahun,
ketika usianya baru 13 tahun. Masa ketika ia secara fisik dan psikis masuk
dalam tahap pubertas. Hormonalnya sedang berkembang pesat, dan sebenarnya ia
butuh pendampingan dan bimbingan dari orang-orang terdekatnya untuk membantunya
mengelola gejolak fisik dan psikisnya tersebut. Pertanyaan saya kemudian,
kemanakah orang tuanya, guru-gurunya?
Saya kira
ini penting juga untuk kita renungkan. Sebagai orang tua, apa yang sudah kita
lakukan ketika anak kita sudah memasuki masa remaja, ketika tubuh dan jiwanya
secara tiba-tiba berkembang dengan pesat, di masa yang kita sebut sebagai
pubertas. Sekali lagi apa yang sudah kita lakukan? Tentu pola pengasuhan dulu
berbeda dengan sekarang. Ketika orang tua bilang, “ah, dulu orang tua kita
tidak ada yang secara khusus mendampingi anaknya saat remaja? Tapi buktinya
kita baik-baik.” Yah, memang demikian tetapi generasi sudah berbeda. Zaman dulu
tidak ada internet, televisi, koran, majalah dengan konten tertentu yang begitu
terbuka dan leluasanya ‘mengiringi’ periode pubertas remaja kita kan? Kini
keterbukaan teknologi itu bisa saja memicu perilaku agresi dan asusila pada
anak.
Saya kira
ini potret buram anak-anak dari keluarga menengah ke bawah di daerah kita. Zaman
ketika teknologi terlampau berkembang pesat namun tak seiring sejalan dengan
pengetahuan dan pemahaman masyarakat (keluarga, anak-anak, guru, dsb). Ada gap
atau jurang pemisah di sini. Kenapa? Bisa jadi karena tingkat pendidikan yang
rendah, bisa juga karena orientasi keluarga adalah ekonomi dan kesejahteraan
keluarga sehingga abai dalam pendampingan tumbuh kembang anak mereka.
Lalu
terjadilah kasus-kasus seperti R. Mereka harus masuk bui di usia sangat belia.
Menangung seluruhnya meski menurut saya harusnya tidak. Artinya orang tua
harusnya bertanggungjawab juga terhadap hal seperti ini. Terlalu kompleks, dan
kurang tepat jika kita hanya bisa menanggungkan semua itu pada si anak. Ketika
pak sipir bicara, katanya sebagian besar kasus anak-anak adalah kasus asusila. Nah!
Sayang sekali
saya hanya punya waktu singkat saja mengobrol dengan R. Padahal saya masih
ingin sekali menggali lebih banyak informasi dan motif-motif mereka, juga
kondisi psikologis mereka saat ini. Sebab mereka harus disembuhkan dari masalah
dan luka batinnya, jika kita ingin mereka keluar dan menjadi pribadi yang sehat
lahir batin. Okelah, selama di LP, sudah ada banyak sekali kegiatan positif
yang turut membentuk karakter/kepribadian serta ketrampilan hidup mereka. Tapi
apakah selama ini ada layanan konseling yang cukup untuk mengelola keterampilan
emosi mereka?
Yang pasti
saya ingin kembali ke LP Anak Penfui lagi. Saya masih terlalu penasaran untuk
berbicara banyak hal dengan mereka. Semoga segera terwujud lagi.
******
Christian Dicky Senda. Blogger, penikmat sastra,
film dan kuliner. Bergiat di Forum Soe Peduli, Komunitas Blogger NTT dan
Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Saat ini menetap di Kupang dan bekerja
sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...