Di akun Facebook, kak Tuteh menulis status
demikian,
“Untuk daerah Ende. Butuh
darah A, secepatnya. Hubungi: Vincent (081339477xxx)”
Tak lama kemudian berkomentarlah dua orang
teman Facebook kak Tuteh, dengan nama akun Nonaa Ann S*ba dan Oeno R*e.
Komentarnya seperti ini:
Nonaa: “Ada
ne sy pux babi butuh darah”
Oeno: “Penjual
darah atau donator ni”
Singkat cerita dua komentar di atas langsung
menauai kecaman dari teman FB kak Tuteh. Terutama komentar pertama.
Saya sendiri kaget ketika membaca komentar
tersebut. Saya langsung menelusuri akun Facebook keduanya dan mulai beropini
berdasar komentar dan isi kronologis/timeline mereka (status, komentar dan
foto). Karena paling tidak apa yang mereka bicarakan di timeline adalah
representasi dari kepribadian mereka.
Komentar pertama. Ini agak sadis menurut
saya. Selera humornya nggak banget. Sensivitas dan rasa empatinya miniiiim.
Oke, ketika saya cek, Nonaa kelahiran tahun 1995. Artinya sudah berusia 18
tahun, mungkin mahasiswa tingkat awal dan tergolong usia dewasa awal. Saya cek
lagi isi timelinenya. Komentar saya, Nonaa agak alay atau ababil (abg labil)
kayaknya. Kenapa? Dari cara ia menulis status: huruf-huruf yang membentuk kata
ditulis besar kecil tak karuan. Saya bisa menyimpulkan, Nonaa tipe orang yang
belum bisa diajak serius atau belum bisa menempatkan diri, kapan harus bicara
serius kapan dan di mana boleh bercanda. Dalam hal ini kita akan berbicara
tentang kematangan moral yang bersangkutan. Jika dilihat dari usia tapi kok tidak sesuai,
berarti kan ada masalah di sini. Ada keterlambatan atau belum terpenuhinya ia
dalam tahap tertentu terkait perkembangan mental dan moral.
Dugaan pertama saya, ada yang bermasalah
dengan hasil pendidikannya. Sonde tahu apakah Nona sedang kuliah atau cuma
tamat SMA. Tapi setahu saya, usia 18 tahun, perkembangan moral seseorang
harusnya sudah baik. Sudah bisa memilih dan memilah mana yang baik, yang
pantas, dan yang kurang baik atau kurang pantas untuk diucapkan, untuk ditulis
(dan itu sudah dididik orang tua dan guru sejak kecil). Artinya ini bukan soal
empati (kematangan moral) saja, tetapi juga kematangan kognitifnya, nalarnya.
“Oh,
donor darah, wah artinya urgen, dibutuhkan segera. Pakai pencantuman nomor hape
segala. Pastinya sangat sangat dibutuhkan. Bla bla bla... “
Kalau seseorang bisa bernalar dengan baik, ia
tentu akan turut berusaha untuk menyebarluaskan informasi tersebut atau
berpikir apa mungkin saya, atau saudara saya, orang tua saya, tetangga saya yang
punya golongan darah sejenis dan bisa bantu mendonor.
Harusnya sih seperti itu. Sekali lagi sudah
18 tahun, harusnya sudah mampu berlaku seperti itu. Pendidikan rupanya gagal
membentuk Nonaa menjadi pribadi yang punya empati.
Coba simak penuturannya, “Ada ni...” artinya ia menjawab pernyataan kak Tuteh sebelumnya, “butuh darah.” Tapi yang kontradiktif,
kalimat selanjutnya, “(tapi) saya punya
babi butuh darah.” Artinya Nonaa mau bilang, ia punya darah tapi mau ia
donorkan ke babinya. Di sini, kita bisa menilai bahwa ada masalah dalam
perkembangan moral dan nalarnya! Mana mungkin darah manusia didonorkan ke tubuh
babi? Apa hanya ingin menciptakan sebuah lelucon? Tetap saja salah, tidak
bermoral, tidak berempati.
Pada komentar kedua (oleh seorang yang lahir
tahun 1979), saya rasa ini juga komentar konyol (mungkin niatnya untuk lelucon)
tapi tidak tepat guna, tidak tepat sasaran. “Penjual darah atau donator ni?” Nah, ini saya rasa soal wawasan
kita saja. Kayaknya beliau mungkin belum terlalu paham dengan sistem dalam
donor mendonor darah apalagi tahu bahwa kondisi bank darah di RS pada kondisi
tertentu bisa sangat urgennya luaaaaar biasa. Sehingga kita sebagai sesama
manusia juga punya andil dan tanggungjawab juga untuk segera menginformasikan
ke siapapun untuk segera menolong. Pada prinsipnya, saya rasa jika berkaitan
dengan darah yang sangat penting bagi kehidupan manusia, kita sudah tak akan
peduli lagi apakah yang bersangkutan saya kenal atau tidak. Tapi saya toh mau
saja untuk sejenak meneruskan SMS atau status di sosial media saya agar semakin
banyak yang tahu, bantuan juga akan cepat sampai. Itu saja.
Simak deh, ketika Oeno menulis “penjual darah”, bisa jadi yang
bersangkutan masih berpikir bahwa ketika kak Tuteh bikin status butuh darah
adalah bagian dari sebuah ‘bisnis’ jual beli darah yang dijalani kak Tuteh. Serius.
Bisa jadi ya. Beliau ini harus kita giring untuk berkenalan dengan komunitas Blood4Life deh. Supaya ia melihat, di
luar sana, orang-orang berjuang bersama menyebarluaskan info kebutuhan darah
secara sukarela tanpa imbalan apapun hanya atas dasar kemanusiaan.
Secara serius saya ingin melihat hal yang
mungkin anda anggap serius tapi ya sudahlaaah. Kebetulan saya seorang guru BK,
dan sering juga menghadapi persoalan sejenis terjadi pada murid-murid saya.
Saya merasa punya tanggungjawab untuk meluruskan. Pertama dari soal kematangan
moral dan nalar, kasihan. Kondisi ini bisa berakibat buruk dan fatal ketika
orang tersebut dihadapkan pada pesatnya kemajuan lingkungan sekitar (teknologi,
dll). Karena tidak seimbang antara kematangan diri/mental/psikologi seseorang
dengan lingkungan yang perkembangannya super cepat. Lalu apa yang terjadi? Bisa
kita lihat pada potret generasi remaja di sekitar kita, yang memakai teknologi
canggih tapi sebenarnya kapasitas mentalnya belum sebanding. Hasilnya? Di media
sosial kita kelihatan sangat kekanak-kanakan, kehilangan rasa empati, gagap―kesulitan
bersikap kapan harus serius kapan harus santai. Gagap bukan saja pada kemapuan
kita menggunakan teknologi, tetapi tentang bagaimana kita seharusnya bersikap
terhadap teknologi tersebut. Seperti saat kita nonton (misalnya) acara TV
Perbukers di ANTV, ada yang disiksa dengan dilempari tepung, didorong,
dijambak, dihina fisiknya, lalu semua ramai-ramai menertawakannya hingga
terpingkal-pingkal tanpa sedikitpun merasa sungkan, kasihan atau tak enak hati.
Nurani kita dimana?
Ketika obrolan tentang apa yang dialami teman
blogger saya di atas, kami para blogger akhirnya seperti dikasih tanggungjawab
untuk ‘meluruskan’ kembali jalan Nonaa dan Nonaa lainnya di luar sana, yang
aktif menggunakan sosial media (facebook, twitter) tanpa tahu batasan, tanpa
mengerti norma dan etika ber-socmed
yang santun tanpa menyinggung pihak manapun. Memang tugas blogger adalah untuk
mensosialisasikan etika-etika berinternet. Saya melihat banyak orang yang masih
salah duga, dikiranya internet atau socmed
cuma benda/alat bukan manusia, jadi kita bisa seenaknya bersikap bahkan yang
buruk sekalipun.
Kembali ke nurani. Olahraga itu baik, tapi
olah pikir dan olah rasa itu juga sama baik dan penting. Saya sih ngeri, kalau
satu dua dekade nanti hidup bersama dengan sebuah generasi yang sonde ada rasa
empatinya, yang terhambat perkembangan moralnya. Bisa kacau. Ayok, lebih
beradab dan manusiawilah di sosial media.
****
Christian
Dicky Senda. Penikmat sastra, film, psikologi dan kuliner. Bekerja sebagai
konselor di SMPK St. Theresia Kupang
Setuju kak. Ababil sekarang mmg sembarangan kalo posting status/komentar di socmed.
BalasHapus