Kamis, 18 Juli 2013

Nona, Pake Hati di Facebook Do

Ada cerita yang terjadi kemarin dan saya anggap perlu kita cermati secara serius. Dan menjadi tamparan buat saya juga yang mungkin kadang masih bersikap kurang empati di media sosial. Kejadiannya menimpa teman blogger saya, kak Tuteh.
Di akun Facebook, kak Tuteh menulis status demikian,  

“Untuk daerah Ende. Butuh darah A, secepatnya. Hubungi: Vincent (081339477xxx)”

Tak lama kemudian berkomentarlah dua orang teman Facebook kak Tuteh, dengan nama akun Nonaa Ann S*ba dan Oeno R*e.
Komentarnya seperti ini:

Nonaa: “Ada ne sy pux babi butuh darah”
Oeno: “Penjual darah atau donator ni”

Singkat cerita dua komentar di atas langsung menauai kecaman dari teman FB kak Tuteh. Terutama komentar pertama.
Saya sendiri kaget ketika membaca komentar tersebut. Saya langsung menelusuri akun Facebook keduanya dan mulai beropini berdasar komentar dan isi kronologis/timeline mereka (status, komentar dan foto). Karena paling tidak apa yang mereka bicarakan di timeline adalah representasi dari kepribadian mereka.
Komentar pertama. Ini agak sadis menurut saya. Selera humornya nggak banget. Sensivitas dan rasa empatinya miniiiim. Oke, ketika saya cek, Nonaa kelahiran tahun 1995. Artinya sudah berusia 18 tahun, mungkin mahasiswa tingkat awal dan tergolong usia dewasa awal. Saya cek lagi isi timelinenya. Komentar saya, Nonaa agak alay atau ababil (abg labil) kayaknya. Kenapa? Dari cara ia menulis status: huruf-huruf yang membentuk kata ditulis besar kecil tak karuan. Saya bisa menyimpulkan, Nonaa tipe orang yang belum bisa diajak serius atau belum bisa menempatkan diri, kapan harus bicara serius kapan dan di mana boleh bercanda. Dalam hal ini kita akan berbicara tentang kematangan moral yang bersangkutan.  Jika dilihat dari usia tapi kok tidak sesuai, berarti kan ada masalah di sini. Ada keterlambatan atau belum terpenuhinya ia dalam tahap tertentu terkait perkembangan mental dan moral.
Dugaan pertama saya, ada yang bermasalah dengan hasil pendidikannya. Sonde tahu apakah Nona sedang kuliah atau cuma tamat SMA. Tapi setahu saya, usia 18 tahun, perkembangan moral seseorang harusnya sudah baik. Sudah bisa memilih dan memilah mana yang baik, yang pantas, dan yang kurang baik atau kurang pantas untuk diucapkan, untuk ditulis (dan itu sudah dididik orang tua dan guru sejak kecil). Artinya ini bukan soal empati (kematangan moral) saja, tetapi juga kematangan kognitifnya, nalarnya.
 “Oh, donor darah, wah artinya urgen, dibutuhkan segera. Pakai pencantuman nomor hape segala. Pastinya sangat sangat dibutuhkan. Bla bla bla... “
Kalau seseorang bisa bernalar dengan baik, ia tentu akan turut berusaha untuk menyebarluaskan informasi tersebut atau berpikir apa mungkin saya, atau saudara saya, orang tua saya, tetangga saya yang punya golongan darah sejenis dan bisa bantu mendonor.  
Harusnya sih seperti itu. Sekali lagi sudah 18 tahun, harusnya sudah mampu berlaku seperti itu. Pendidikan rupanya gagal membentuk Nonaa menjadi pribadi yang punya empati.
Coba simak penuturannya, “Ada ni...” artinya ia menjawab pernyataan kak Tuteh sebelumnya, “butuh darah.” Tapi yang kontradiktif, kalimat selanjutnya, “(tapi) saya punya babi butuh darah.” Artinya Nonaa mau bilang, ia punya darah tapi mau ia donorkan ke babinya. Di sini, kita bisa menilai bahwa ada masalah dalam perkembangan moral dan nalarnya! Mana mungkin darah manusia didonorkan ke tubuh babi? Apa hanya ingin menciptakan sebuah lelucon? Tetap saja salah, tidak bermoral, tidak berempati.
Pada komentar kedua (oleh seorang yang lahir tahun 1979), saya rasa ini juga komentar konyol (mungkin niatnya untuk lelucon) tapi tidak tepat guna, tidak tepat sasaran. “Penjual darah atau donator ni?” Nah, ini saya rasa soal wawasan kita saja. Kayaknya beliau mungkin belum terlalu paham dengan sistem dalam donor mendonor darah apalagi tahu bahwa kondisi bank darah di RS pada kondisi tertentu bisa sangat urgennya luaaaaar biasa. Sehingga kita sebagai sesama manusia juga punya andil dan tanggungjawab juga untuk segera menginformasikan ke siapapun untuk segera menolong. Pada prinsipnya, saya rasa jika berkaitan dengan darah yang sangat penting bagi kehidupan manusia, kita sudah tak akan peduli lagi apakah yang bersangkutan saya kenal atau tidak. Tapi saya toh mau saja untuk sejenak meneruskan SMS atau status di sosial media saya agar semakin banyak yang tahu, bantuan juga akan cepat sampai. Itu saja.
Simak deh, ketika Oeno menulis “penjual darah”, bisa jadi yang bersangkutan masih berpikir bahwa ketika kak Tuteh bikin status butuh darah adalah bagian dari sebuah ‘bisnis’ jual beli darah yang dijalani kak Tuteh. Serius. Bisa jadi ya. Beliau ini harus kita giring untuk berkenalan dengan komunitas Blood4Life deh. Supaya ia melihat, di luar sana, orang-orang berjuang bersama menyebarluaskan info kebutuhan darah secara sukarela tanpa imbalan apapun hanya atas dasar kemanusiaan.  
Secara serius saya ingin melihat hal yang mungkin anda anggap serius tapi ya sudahlaaah. Kebetulan saya seorang guru BK, dan sering juga menghadapi persoalan sejenis terjadi pada murid-murid saya. Saya merasa punya tanggungjawab untuk meluruskan. Pertama dari soal kematangan moral dan nalar, kasihan. Kondisi ini bisa berakibat buruk dan fatal ketika orang tersebut dihadapkan pada pesatnya kemajuan lingkungan sekitar (teknologi, dll). Karena tidak seimbang antara kematangan diri/mental/psikologi seseorang dengan lingkungan yang perkembangannya super cepat. Lalu apa yang terjadi? Bisa kita lihat pada potret generasi remaja di sekitar kita, yang memakai teknologi canggih tapi sebenarnya kapasitas mentalnya belum sebanding. Hasilnya? Di media sosial kita kelihatan sangat kekanak-kanakan, kehilangan rasa empati, gagap―kesulitan bersikap kapan harus serius kapan harus santai. Gagap bukan saja pada kemapuan kita menggunakan teknologi, tetapi tentang bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap teknologi tersebut. Seperti saat kita nonton (misalnya) acara TV Perbukers di ANTV, ada yang disiksa dengan dilempari tepung, didorong, dijambak, dihina fisiknya, lalu semua ramai-ramai menertawakannya hingga terpingkal-pingkal tanpa sedikitpun merasa sungkan, kasihan atau tak enak hati. Nurani kita dimana?
Ketika obrolan tentang apa yang dialami teman blogger saya di atas, kami para blogger akhirnya seperti dikasih tanggungjawab untuk ‘meluruskan’ kembali jalan Nonaa dan Nonaa lainnya di luar sana, yang aktif menggunakan sosial media (facebook, twitter) tanpa tahu batasan, tanpa mengerti norma dan etika ber-socmed yang santun tanpa menyinggung pihak manapun. Memang tugas blogger adalah untuk mensosialisasikan etika-etika berinternet. Saya melihat banyak orang yang masih salah duga, dikiranya internet atau socmed cuma benda/alat bukan manusia, jadi kita bisa seenaknya bersikap bahkan yang buruk sekalipun.
Kembali ke nurani. Olahraga itu baik, tapi olah pikir dan olah rasa itu juga sama baik dan penting. Saya sih ngeri, kalau satu dua dekade nanti hidup bersama dengan sebuah generasi yang sonde ada rasa empatinya, yang terhambat perkembangan moralnya. Bisa kacau. Ayok, lebih beradab dan manusiawilah di sosial media.

****

Christian Dicky Senda. Penikmat sastra, film, psikologi dan kuliner. Bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang

1 komentar:

  1. Setuju kak. Ababil sekarang mmg sembarangan kalo posting status/komentar di socmed.

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...