Jumat, 05 Juli 2013

Menemukan Semangat 'My City My Literature' di Makassar



Saya merasa begitu beruntung bisa hadir dalam sebuah festival sastra yang tumbuh di kawasan Indonesia Timur, berskala internasional dan digarap oleh orang-orang hebat yang melakukan itu sebagai sebuah gerakan pulang kampung, untuk menjadikan kotanya menjadi lebih berbudaya. Makassar International Writers Festival 2013 (#MIWF2013) adalah yang saya maksudkan, yang baru saja dilaksanakan 25-29 Juni 2013 di Fort Rotterdam, Makassar. 

Tema tahun ini adalah My City My Literature, yang hendak menjadikan kota sebagai pusat kebudayaan, seni dan sastra di samping pusat ekonomi dan politik. Makassar yang baru pertama kali saya kunjungi adalah sebuah kota besar (boleh dibilang metropolis) di kawasan Indonesia Timur. Kota yang bertumbuh dengan pesat sebagai pusat bisnis dan perdagangan. Dan ketika #MIWF2013 berlangsung, saya melihat sendiri bagaimana upaya tersebut tidak berhenti sampai pada tahap menulis tema saja, namun benar-benar diwujudkan. Saya kira, orang-orang dari luar Makassar sudah terlalu jauh menilai bahwa kota ini identik dengan kekerasan dan demo anarkis mahasiswa selain bahwa kota ini adalah pusat perdagangan yang sibuk. Jangan-jangan pemikiran kita itu telah dibentuk oleh kotak kaca 14 inci bernama Televisi! Dan ada benarnya juga, ketika saya ke Makassar, mengikuti event sastra yang besar ini, berinteraksi dengan banyak mahasiswa atau orang muda kebanyakan, pergi ke kampus Unhas mengikuti kuliah umum Sapardi Djoko Damono atau keliling kota menikmati kuliner khas yang ada, saya menemukan hal yang sebaliknya.
Di kampus FIB Unhas, saya mencoba mengamati papan publikasi dan luar biasa, ada banyak kegiatan kreatvitas dan seni yang terjadi setiap minggunya, dari pentas teater hingga pemutaran film, baca puisi hingga musik akustik (dan saya langsung ingat Jogja, kota pendidikan yang juga punya sebarek kegiatan seni dan kebudayaan khusus bagi orang muda). Hal yang bagi saya jarang ada di kampus-kampus di Kupang. Saya lihat sendiri, kuliah umumnya SDD penuh oleh mahasiswa. Sebaliknya, saya pernah ikut Pertemuan Penyair Indonesia yang diadakan di kampus Unwira Kupang, dan yang meramaikan adalah murid-murid yang ‘terpaksa’ dibawa Romo Amanche dari SMA Giovanni. Sama rasakan juga saat pemutaran film The Mangoes karya bang Tony Trimarsanto di Unwira Kupang, sepi. Saya kira daya interes mahasiswa terhadap seni dan sastra bisa menjadi ukuran taraf kebudayaannya. Sayangnya karena TV sudah terlalu mengidentikkan Makassar dengan demo mahasiswa, sehingga sekecil dan setenang apapun mahasiswa Makassar berdemo, maka berita yang keluar adalah bentrok dan bentrok. Terkait hal ini secara iseng saya tanya ke seorang sopir taksi, katanya, “demo sih sering, tapi kadang TV terlalu lebay (berlebihan, red) mendeskripsikannya...”. Nah!
Kembali lagi ke #MIWF2013, tentang bagaimana anak-anak muda Makassar mengapresiasi betul sebuah festival sastra di kota mereka. Menurut panitia #MIWF2013, tahun lalu tercatat 3000 pengunjung yang hadir, tahun ini ditargetkan akan ada sekitar 5000 pengunjung hadir di 40 program yang disiapkan panitia. Dan apakah itu hanya angka statistik rekaan panitia semata? Saya kira tidak. Di malam pembukaan dan penutupan saja, saya kaget dengan tumpah ruahnya anak muda Makassar di kompleks Fort Rotterdam. Mereka rela lesehan berjam-jam di atas rumput benteng untuk menikmati setiap sajian acara. Selama 5 hari festival, panitia #MIWF2013 mengadakan Community Event pada pukul 18.30 hingga 22.00, baik komunitas-komunitas di Makassar, maupun penulis yang diundang boleh membacakan atau menyanyikan puisinya di panggung utama. Sambutannya luar biasa. Dulu, sebelum temu sastra bulanan di larang diadakan di Taman Nostalgia Kupang, antusiasme terhadap sastra dan seni pertunjukan ya begitu deh, yang hadir jugaa anggota dari komunitas itu sendiri.
Lebih hebatnya lagi, setiap malam saat commnunity event digelar, saya melihat anak-anak muda Makassar tampil di panggung menyanyikan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono hingga Charil Anwar. Ya, mereka menginterpretasi bait demi baik puisi Sapardi atau Chairil, dengan melodi yang mereka ciptakan sendiri. Hasilnya, puisi Hujan Bulan Juni –nya Sapardi, misalnya,  jadi lebih nge-pop dan easy listening dan dengan mudah disukai anak-anak muda Makassar. Tak berlebihan saya bilang ini pencapaian luar biasa, bagaimana MIWF telah mewujudkan tema My City My Literature menjadi sebuah keniscayaan besar.
Saya rasa iklim itu sudah jauh lebih baik di Makassar, sehingga tahun 2010 lalu ketika Rumata’ art space sebuah rumah budaya yang didirikan oleh Lily Yulianti Farid dan Riri Riza, kemudian melahirkan MIWF di bidang sastra dan SEA Screen di bidang sinema. Secara mental mereka siap, termasuk juga dukungan pemerintah, komunitas orang muda, juga publik space yang representatif. Ya, yang paling penting adalah khalayak penikmat seni itu sendiri. 

sesi mas Joko Pinurbo dipandu M. Aan Mansyur
(Di Makassar ada SMK khusus seni pertunjukan yang salah satunya melahirkan seorang penyair dan performer keren seperti Khrisna Pabichara, sayang di NTT belum ada. Unwira punya Prodi Sendratasik, tapi silahkan cek kegiatan seni apa yang mereka ciptakan setiap bulan?). 

***

Dari Makassar, usaha untuk memajukan kebudayaan Indonesia Timur sudah dimulai. #MIWF2013 memang punya misi untuk melahirkan penulis-penulis potensial dari Indonesia Timur, untuk maju ke dalam kancah nasional yang selama ini hanya didominasi oleh penulis dari belahan Indonesia Barat. Joko Pinurbo dalam sebuah obrolan santai di hotel Losari tempat seluruh writers undangan menginap, mengungkapkan hal yang sama. Beliau ingin ada kesegaran baru dalam kesusasteraan Indonesia, yang tidak melulu datang dari Jawa dan Sumatera.
Saya harus berterima kasih untuk kak Lily Yulianti Farid, Riri Riza, M. Aan Mansyur, Aslan Abidin, Muhary Wahyu Nurba, Anwar Jimpe Rahman, Shinta Febriany, Khrisna Pabhicara, Ita Ibnu, Abdy Karya, dan banyaaak lagi orang muda asal Makassar yang punya keinginan besar menggalakan ‘gerakan pulang kampung’ untuk berbuat sesuatu bagi kota tercinta Makassar, termasuk bagi Indonesia Timur secara umum.
Semoga semangat membangun kampung halaman, membangun Indonesia Timur, yang sudah dimulai dari Makassar akan berlanjut ke Kupang, Gorontalo, Kendari, Manado, Ternate, Ambon, Jayapura hingga Merauke. Tahun berikutnya semoga makin banyak anak muda dari Indonesia Timur yang hadir ke MIWF, atau melakukan pameran di Rumata’ atau ikut menunjukkan karya sinemanya di SEA Screen.
Ini gerakan yang luar biasa, kawan.... Terima kasih #MIWF2013 untuk kesempatan berharga ini.

Christian Dicky Senda. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora Kupang. Diundang ke MIWF2013 untuk memperkenalkan karya sastranya dalam Indonesian Program: Literature From The East. Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan Kanuku Leon (segera terbit). Saat ini bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.

Catatan tambahan:
Hampir 12 jam setelah saya menulis catatan di atas, saya teringat dialog saya dengan seorang teman baik saya saat SMA, Jura Lake, kini bekerja sebagai dosen sastra Inggris, tentang kenapa sastra kurang begitu diapresiasi dengan baik di NTT. Katanya, pertama soal tingkat pendidikan yang kebanyakan masih rendah sehingga aktivitas membaca dan menulis menjadi terhambat. Kedua, alasan ekonomi, bahwa dengan kondisi yang serba susah, waktu orang tersita untuk bekerja sepanjang hari, berpikir sepanjang waktu agar bisa hidup sejahtera, buru-buru ia bisa meluangkan waktu untuk membaca sebuah karya sastra aau menulis sesuatu. Di Makassar, kondisinya memang berbeda. Pendidikan dan perekonomian masyarakat juga sudah lebih baik. Orang bisa menyisihkan waktu dan uang untuk pergi ke toko buku, menonton teater, menonton film di bioskop, membeli buku-buku dan jurnal.  Orang-orang bisa membayar untuk mengikuti workshop menulis, misalnya. Atau mampu mengeluarkan uang untuk membeli tiket pertunjukan teater. Dan disaat bersamaan, lingkungan memberi ruang dan kesempatan juga bagi  mereka untuk berkreasi. Muncullah public space yang representatif, reading room yang nyaman, gallery bermunculan, orang-orang yang merasa ‘senasib-sepenanggungan’ kemudian membentuk komunitas, kampus-kampus memutar film dan menciptakan ruang diskusi. Semua elemen saling sinergi. Dari sana, kebudayaan itu bertumbuh.
Solusinya? Sastra tidak bisa berjalan sendiri. Sastra perlu bersinergi dengan kelompok seni lain, misalnya lukis, teater, tari, musik, dll. Karena bisa jadi, orang akan lebih mudah menikmati sastra bukan sebagai sastra yang murni tertulis, tetapi sastra yang sudah terkolaborasi dan muncul dalam musikalisasi, dalam teater atau dalam tarian. Sehingga orang bisa menikmati sastra tanpa terlalu lama berkutat dengan tulisan di buku, tetapi cukup melihat dan mendengar performansi yang ada. Mungkin itu gerakan awal yang cocok di formulasikan di NTT, lanjut Lake.
Saya kira memang begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...