Saya merasa begitu beruntung bisa hadir dalam
sebuah festival sastra yang tumbuh di kawasan Indonesia Timur, berskala
internasional dan digarap oleh orang-orang hebat yang melakukan itu sebagai
sebuah gerakan pulang kampung, untuk menjadikan kotanya menjadi lebih berbudaya.
Makassar International Writers Festival 2013 (#MIWF2013) adalah yang saya
maksudkan, yang baru saja dilaksanakan 25-29 Juni 2013 di Fort Rotterdam,
Makassar.
Tema tahun ini adalah My City My Literature, yang hendak menjadikan kota sebagai pusat
kebudayaan, seni dan sastra di samping pusat ekonomi dan politik. Makassar yang
baru pertama kali saya kunjungi adalah sebuah kota besar (boleh dibilang
metropolis) di kawasan Indonesia Timur. Kota yang bertumbuh dengan pesat
sebagai pusat bisnis dan perdagangan. Dan ketika #MIWF2013 berlangsung, saya
melihat sendiri bagaimana upaya tersebut tidak berhenti sampai pada tahap
menulis tema saja, namun benar-benar diwujudkan. Saya kira, orang-orang dari
luar Makassar sudah terlalu jauh menilai bahwa kota ini identik dengan
kekerasan dan demo anarkis mahasiswa selain bahwa kota ini adalah pusat
perdagangan yang sibuk. Jangan-jangan pemikiran kita itu telah dibentuk oleh
kotak kaca 14 inci bernama Televisi! Dan ada benarnya juga, ketika saya ke
Makassar, mengikuti event sastra yang besar ini, berinteraksi dengan banyak
mahasiswa atau orang muda kebanyakan, pergi ke kampus Unhas mengikuti kuliah
umum Sapardi Djoko Damono atau keliling kota menikmati kuliner khas yang ada,
saya menemukan hal yang sebaliknya.
Di kampus FIB Unhas, saya mencoba mengamati
papan publikasi dan luar biasa, ada banyak kegiatan kreatvitas dan seni yang
terjadi setiap minggunya, dari pentas teater hingga pemutaran film, baca puisi
hingga musik akustik (dan saya langsung ingat Jogja, kota pendidikan yang juga
punya sebarek kegiatan seni dan kebudayaan khusus bagi orang muda). Hal yang
bagi saya jarang ada di kampus-kampus di Kupang. Saya lihat sendiri, kuliah
umumnya SDD penuh oleh mahasiswa. Sebaliknya, saya pernah ikut Pertemuan
Penyair Indonesia yang diadakan di kampus Unwira Kupang, dan yang meramaikan
adalah murid-murid yang ‘terpaksa’ dibawa Romo Amanche dari SMA Giovanni. Sama
rasakan juga saat pemutaran film The Mangoes karya bang Tony Trimarsanto di
Unwira Kupang, sepi. Saya kira daya interes mahasiswa terhadap seni dan sastra
bisa menjadi ukuran taraf kebudayaannya. Sayangnya karena TV sudah terlalu
mengidentikkan Makassar dengan demo mahasiswa, sehingga sekecil dan setenang
apapun mahasiswa Makassar berdemo, maka berita yang keluar adalah bentrok dan
bentrok. Terkait hal ini secara iseng saya tanya ke seorang sopir taksi,
katanya, “demo sih sering, tapi kadang TV terlalu lebay (berlebihan, red) mendeskripsikannya...”.
Nah!
Kembali lagi ke #MIWF2013, tentang bagaimana
anak-anak muda Makassar mengapresiasi betul sebuah festival sastra di kota
mereka. Menurut panitia #MIWF2013, tahun lalu tercatat 3000 pengunjung yang
hadir, tahun ini ditargetkan akan ada sekitar 5000 pengunjung hadir di 40
program yang disiapkan panitia. Dan apakah itu hanya angka statistik rekaan
panitia semata? Saya kira tidak. Di malam pembukaan dan penutupan saja, saya
kaget dengan tumpah ruahnya anak muda Makassar di kompleks Fort Rotterdam.
Mereka rela lesehan berjam-jam di atas rumput benteng untuk menikmati setiap
sajian acara. Selama 5 hari festival, panitia #MIWF2013 mengadakan Community
Event pada pukul 18.30 hingga 22.00, baik komunitas-komunitas di Makassar, maupun
penulis yang diundang boleh membacakan atau menyanyikan puisinya di panggung
utama. Sambutannya luar biasa. Dulu, sebelum temu sastra bulanan di larang
diadakan di Taman Nostalgia Kupang, antusiasme terhadap sastra dan seni
pertunjukan ya begitu deh, yang hadir jugaa anggota dari komunitas itu sendiri.
Lebih hebatnya lagi, setiap malam saat commnunity event digelar, saya melihat
anak-anak muda Makassar tampil di panggung menyanyikan puisi-puisi Sapardi
Djoko Damono hingga Charil Anwar. Ya, mereka menginterpretasi bait demi baik
puisi Sapardi atau Chairil, dengan melodi yang mereka ciptakan sendiri.
Hasilnya, puisi Hujan Bulan Juni –nya Sapardi, misalnya, jadi lebih nge-pop dan easy listening dan dengan mudah disukai anak-anak muda Makassar. Tak
berlebihan saya bilang ini pencapaian luar biasa, bagaimana MIWF telah
mewujudkan tema My City My Literature
menjadi sebuah keniscayaan besar.
Saya rasa iklim itu sudah jauh lebih baik di
Makassar, sehingga tahun 2010 lalu ketika Rumata’ art space sebuah rumah budaya yang didirikan oleh Lily Yulianti
Farid dan Riri Riza, kemudian melahirkan MIWF di bidang sastra dan SEA Screen di bidang sinema. Secara
mental mereka siap, termasuk juga dukungan pemerintah, komunitas orang muda,
juga publik space yang representatif. Ya, yang paling penting adalah khalayak
penikmat seni itu sendiri.
sesi mas Joko Pinurbo dipandu M. Aan Mansyur |
(Di Makassar ada SMK khusus seni pertunjukan
yang salah satunya melahirkan seorang penyair dan performer keren seperti
Khrisna Pabichara, sayang di NTT belum ada. Unwira punya Prodi Sendratasik, tapi
silahkan cek kegiatan seni apa yang mereka ciptakan setiap bulan?).
***
Dari Makassar, usaha untuk memajukan
kebudayaan Indonesia Timur sudah dimulai. #MIWF2013 memang punya misi untuk
melahirkan penulis-penulis potensial dari Indonesia Timur, untuk maju ke dalam
kancah nasional yang selama ini hanya didominasi oleh penulis dari belahan
Indonesia Barat. Joko Pinurbo dalam sebuah obrolan santai di hotel Losari
tempat seluruh writers undangan
menginap, mengungkapkan hal yang sama. Beliau ingin ada kesegaran baru dalam
kesusasteraan Indonesia, yang tidak melulu datang dari Jawa dan Sumatera.
Saya harus berterima kasih untuk kak Lily
Yulianti Farid, Riri Riza, M. Aan Mansyur, Aslan Abidin, Muhary Wahyu Nurba,
Anwar Jimpe Rahman, Shinta Febriany, Khrisna Pabhicara, Ita Ibnu, Abdy Karya,
dan banyaaak lagi orang muda asal Makassar yang punya keinginan besar
menggalakan ‘gerakan pulang kampung’ untuk berbuat sesuatu bagi kota tercinta
Makassar, termasuk bagi Indonesia Timur secara umum.
Semoga semangat membangun kampung halaman,
membangun Indonesia Timur, yang sudah dimulai dari Makassar akan berlanjut ke
Kupang, Gorontalo, Kendari, Manado, Ternate, Ambon, Jayapura hingga Merauke. Tahun
berikutnya semoga makin banyak anak muda dari Indonesia Timur yang hadir ke
MIWF, atau melakukan pameran di Rumata’ atau ikut menunjukkan karya sinemanya di SEA
Screen.
Ini gerakan yang luar biasa, kawan.... Terima
kasih #MIWF2013 untuk kesempatan berharga ini.
Christian
Dicky Senda. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora Kupang. Diundang ke
MIWF2013 untuk memperkenalkan karya sastranya dalam Indonesian Program:
Literature From The East. Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan Kanuku Leon
(segera terbit). Saat ini bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.
Catatan
tambahan:
Hampir 12
jam setelah saya menulis catatan di atas, saya teringat dialog saya dengan
seorang teman baik saya saat SMA, Jura Lake, kini bekerja sebagai dosen sastra
Inggris, tentang kenapa sastra kurang begitu diapresiasi dengan baik di NTT. Katanya,
pertama soal tingkat pendidikan yang kebanyakan masih rendah sehingga aktivitas
membaca dan menulis menjadi terhambat. Kedua, alasan ekonomi, bahwa dengan
kondisi yang serba susah, waktu orang tersita untuk bekerja sepanjang hari,
berpikir sepanjang waktu agar bisa hidup sejahtera, buru-buru ia bisa
meluangkan waktu untuk membaca sebuah karya sastra aau menulis sesuatu. Di
Makassar, kondisinya memang berbeda. Pendidikan dan perekonomian masyarakat
juga sudah lebih baik. Orang bisa menyisihkan waktu dan uang untuk pergi ke
toko buku, menonton teater, menonton film di bioskop, membeli buku-buku dan
jurnal. Orang-orang bisa membayar untuk
mengikuti workshop menulis, misalnya. Atau mampu mengeluarkan uang untuk
membeli tiket pertunjukan teater. Dan disaat bersamaan, lingkungan memberi
ruang dan kesempatan juga bagi mereka
untuk berkreasi. Muncullah public space yang representatif, reading room yang
nyaman, gallery bermunculan, orang-orang yang merasa ‘senasib-sepenanggungan’
kemudian membentuk komunitas, kampus-kampus memutar film dan menciptakan ruang
diskusi. Semua elemen saling sinergi. Dari sana, kebudayaan itu bertumbuh.
Solusinya?
Sastra tidak bisa berjalan sendiri. Sastra perlu bersinergi dengan kelompok
seni lain, misalnya lukis, teater, tari, musik, dll. Karena bisa jadi, orang
akan lebih mudah menikmati sastra bukan sebagai sastra yang murni tertulis,
tetapi sastra yang sudah terkolaborasi dan muncul dalam musikalisasi, dalam
teater atau dalam tarian. Sehingga orang bisa menikmati sastra tanpa terlalu
lama berkutat dengan tulisan di buku, tetapi cukup melihat dan mendengar
performansi yang ada. Mungkin itu gerakan awal yang cocok di formulasikan di
NTT, lanjut Lake.
Saya kira
memang begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...