Minggu, 28 April 2013

Menyimak Kriteria Pemimpin di Mata Ben Mboi

Catatan Orasi Ilmiah Ben Mboi, penerima Lifetime Achievement 2012 dari Forum Academia NTT


Jumat  19 April 2013, saya berkesempatan hadir di acara orasi ilmiah pak Ben Mboi, mantan gubernur NTT era 1978-1988 di aula rektorat Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Orasi ilmiah pak Ben kali ini sebenarnya terkait dengan rangkaian acara NTT Academia Award 2012 lalu, dimana salah satu penerima awardnya adalah pak Ben Mboi di kategori Lifetime Achievement.
Pak Ben dalam memori saya hanyalah sebatas mantan gubernut NTT, orang Manggarai, istrinya menjabat sebagai menteri kesehatan saat ini, itu saja. Saya memaafkan diri sendiri. Sebab harusnya saya telah mengetahui banyak tentang beliau orang hebat yang pernah dimiliki NTT. Oke, mari kita gugling semua informasi tentang beliau.Misalnya info singkat tengan Ben Mboi di Wikipedia ini.
Ben Mboi (sumbe: Doddy Doohan)
Acara sore itu berlangsung jam 16.00, yang diawali dengan nyanyian Usi Apakaet dari PSM UKAW. Dilajutkan dengan prolog oleh kak Elcid Li, selanjutkan kurang lebih 2 jam, pak Ben dengan gaya dan semangatnya mulai berorasi. Saya masih bisa melihat jejak semangat itu, meski kini beliau agak tertatih berjalan. Semangatnya luar biasa. Kapasitas intelektualitasnya sungguh masih bernyala-nyala.
Tema orasi kali itu berkaitan dengan ‘Pemimpin ideal NTT’ dan pak Ben selalu melandasi setiap perspektifnya tentang kepemimpinan dengan pengalamannya sebagai gubernur selama 10 tahun. Saya percaya pembicaraanya, saya percaya dedikasinya, sebab sejarah telah menulis itu dengan tinta emasnya sendiri. Atau adakah yang masih meragukan ini?
Pak Ben memilai orasi dengan pertanyaan sederhana, kapan seorang pemimpin dapat kita percaya?  Menurut beliau, ada dua jawaban sederhana, pertama ketika pemimpin itu punya kredibilitas. Dan yang kedua pemimpin itu punya keberanian. 

Pemimpin dan Kredibilitas

Seorang pemimpin yang kredibel, harusnya adalah juga pemimpin yang mampu mendengar. Terkait ini, beliau sedikit curhat, ketika sehari setelah pelantikan yang beliau lakukan adalah menemui semua bupati dan kepala dinas secara personal. “Saya dilantik hari Sabtu tanggal 1 Juli 1978. Tanggal 2 Juli, syukuran di Naikoten dan tanggal 4 Juli saya mulai ‘sekolah’.” Rupanya ‘sekolah’ yang beliau maksudkan adalah menimba informasi sebanyak mungkin dari pada bupati dan kepala dinas tadi. “Tiap hari saya ketemu mereka, 2 orang kadis setiap hati. Saya tanya semua informasi penting terkait dinas yang dipimpinnya.” Menarik, bahwa secara sederhana sekali beliau tidak menempatkan diri sebagai sang sok tau, tetapi orang yang belum tahu dan ingin tahu banyak.
Dari poin itulah beliau mulai menyusun kerangka kepemimpinannya sendiri. “Pemipin itu harus akrab dengan realita. Kedua, kredibel. Kalau omong A yang lakukan A, jangan omong lain perilakunya lain”
Menurut pak Ben, seorang pemimpin juga harus bisa membedakan mana yang penting dan yang tidak penting. Menurutnya, masalah tak boleh diserahkan kepada waktu untuk ‘diselesaikan.’ Untuk itu jangan bertele-tele dan menunda-nunda sesuatu.
Namun ide pak Ben tentang ‘Nation’ menjadi sangat menarik jika ditilik dari realita masyarakat NTT saat ini. Ia mengkritik kenapa pemimpin NTT sekarang sangat abai terhadap paham ‘kebangsaan’ orang NTT: Flobamora yang awalnya dicetuskan oleh El Tari. Menurutnya fungsi gubernur adalah membangun Flobamora yang beragam ini.
Kenapa menjelang pilkada NTT ini ada aroma primordialisme tercium. “Bangkitlah Timor, Hantam Flores! Hantam Katolik!” begitulah kalimat-kalimat yang menurut pak Ben beredar di kalangan masyarakat NTT di Jakarta. Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa demokrasi di NTT, adalah memilih siapa yang saya kenal dan saya suka, bukan siapa yang mampu. Atau pilih siapa yang kasih saya uang .
Tentang ide Flobamora, beliau bercerita bahwa ketika El Tari menyampaikan ide tersebut setelah melakukan perjalanan panjang dengan naik kuda dari Alor hingga Manggarai Barat. Kemudian lahirlah paham nation building itu: Flobamora.
Kepada para pemimpin dan calong pemimpin NTT, pak Ben mengajukan 3 pertanyaan mendasar:
1.      Bagaimana membangun NTT yang harmonis?
2.      Apa prinsip yang dipakai agar terjamin kehidupan yang harmonis dan setara dalam kondiri Flobamora yang bergama tadi? ß unsur fairness
3.      Bagaimana caranya menjadikan NTT layak bagi pluralitas.  Dan anda sebagai pemimpin loyak tidak kepada partai saja tetapi juga loyal dan setia kepada rakyat?

Pemimpin dan Keberanian

Kepada pemimpin dan calon pemimpin, pak Ben menitipkan pertanyaan-pertanyaan, yang lagi-lagi nampak sederhana tapi kaya makna.
1.      Apakah Anda orang yang berani?
2.      Apakah Anda orang yang memiliki integritas?
3.      Apakah Anda orang yang mampu berdedikasi?

Selamat bertanya kepada diri kita sendiri, dan merenunglah.

Saya bangga akhirnya bisa ketemu dan mendengar langsung orasi Pak Ben Mboi. Pemimpin yang memang dipilih karena punya kemampuan, punya integritas dan semangat untuk melayani rakyat bukan untuk partai.  Berhubung akan ada putaran kedua Pilkada, tulisan ini semoga bermakna buat kita. Meski agak sangsi juga apa kedua calon di putaran kedua memenuhi kriteria dan pertanyaan kritis pak Ben di atas?



Christian Dicky Senda. Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Saat ini bergiat di Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community) dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan sedang menyiapkan usaha penerbitan buku kumpulan cerpen Kanuku Leon berbasis crowd-funding.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...