(ijinkanlah
saya memuji diri)
Dapur. Saya
punya pengalaman baik dan positif tentang dapur sejak kecil. Dan saya kecil
terbiasa menemani nenek berkutat di dapur. Konon katanya, nenek saya adalah
orang Jawa pertama yang bikin warung makan di Kapan (ibu kota kecamatan Mollo
Utara, dulu ibukota Zuid Midden Timor pada jaman Belanda).
Otomatis segala
resep dan tatacara memasak yang baik menurun ke anak semata wayangnya, ibu
saya, mamatua. Mamatua adalah perempuan hebat dalam urusan kuliner, paling
tidak berlaku bagi ketujuh putra-putrinya dan suami tercintanya, Bapatua.
Kami punya dapur
yang dihubungkan langsung dengan ruang makan yang sederhana namun luas. Kerena
tergolong keluarga besar dan perjamuan makan bersama di dapur adalah kebiasaan
baik yang sudah ditanamkan bapatua dan mamatua sejak kami kecil. Apapun
makanannya, meski dalam situasi tanggal tua, sehingga cuma lauk ikan teri dan
labu jepang, karena dinikmati besama rasanya enak-enak saja. Tapi memang
dasarnya mamatua jago masak, jadi meski bahannya sederhana, rasanya pasti tak
sederhana di lidah. Oke, saya harus fair mengakui bahwa pada kenyataanya mama
saya hebat.
Ruang keluarga
kami ya dapur sekalian ruang makan itu. Waktu makan bisa berjam-jam lamanya
(jika memang tak sibuk) karena diselingi dengan aktivitas bercerita yang akrab.
Secara Mamatua dan Bapatua adalah pencerita yang baik. Segala kisah masa lalu
yang keluar dari mulut mereka tak peduli sudah diceritakan berkali-kali, pasti
selalu menarik. Ini menurut saya, tak tahu dengan keenam kakak saya. Tapi
faktanya dalam situasi apapun dapur memang tempat yang ramai oleh keriuhan
anak, cucu, menantu. Para tetangga sudah tahu itu. Hehehe.
Pengalaman
menyenangkan itu yang membuat peristiwa makan bersama menjadi seru dan
berkesan. Membuat kita dekat dengan dapur dan segala aktivitasnya sama sekali
bukanlah hal yang asing dan aneh bagi kami. Tak ada diskriminasi gender di
sana. Dapur itu milik semua orang rumah tak mengenal jenis kelamin tertentu
saja.
Kami bertujuh
semuanya suka makan dan bisa masak. Tentu dengan cara dan selera masing-masing.
Momen berkumpul saat Natal, Paskah, atau ultah Bapatua/Mamatua, adalah saat
kami berkumpul dan merayakan perjamuan makan besama keluarga Senda yang
sesungguhnya. Cieeh. Tak bermaksud lebay. Ini cuma perwakilan perasaan yang
dituangkan dalam kata-kata.
Kalau mamatua
sudah jelas. Seluruh gaya dan citarasa memasaknya sangat dipengaruhi Nenek saya
yang notabene orang Jawa dan pernah menjadi tukang masak di sebuah keluarga
Belanda di Semarang dulu. Masakan mamatua itu sangat kejawaan sekali. Rasa
manis dan sedikit pedas paling menonjol. Kue-kue tradisional/jajanan pasar
apalagi. Beliau jagonya.
Bapatua bisa
masak. Tapi jarang. Biasanya bapatua turun ke dapur pada saat keadaan darurat
(mungkin dipengaruhi pengalamannya saat aktif di kepolisian), misalnya mama
lagi ke luar kota, sakit atau memang lagi malas memasak. Biasanya bapatua akan
turun tangan. Gaya memasaknya simpel, tak neko-neko soal bumbu dan menyukai
masakan yang berkuah atau yang direbus. Suatu kali bapatua bilang ke saya,
“Saya ini akhirnya bisa memasak karena dulu saat jadi polisi dan masih bujang,
banyak berteman dengan kawan polisi asal Bali yang notabene jago memasak.” Di
rumah, bapatualah yang kerap menjadi komentator soal rasa bagi siapapun yang
masak. Luar biasa bapak saya.
Keenam kakak
saya umumnya suka makan dan punya keahlian di jenis masakan tertentu. Sampai
saat ini kami masih heran dan takjub, kenapa yang lain gagal bikin bolu kukus
yang mekar menggoda tetapi kakak saya Jemmy yang Brimob itu selalu bikin bolu
kukus buat istrinya dan mekar, gak bantet. Atau kakak sulung saya, Henny,
seorang guru yang paling piawai bikin puding dengan segala variasi tekstur dan
rasa. Kalau Hengky, yang seorang PolPP paling bisa diandalkan untuk menu
bakar-bakar (berbeque). Dan kak Yati, selain bidan desa yang tangguh, kue
asin/kiri-kiri beliau itu paling juara. Sekarang ini lagi ketagihan eksperimen
cake dan rol gulung. Duileeeh. Bisa dibayangkan kalo semuanya kumpul di rumah.
Dan yang paling
ekspert dari semua mungkin cuma kakak saya, Vivi. Sehari-hari ia memang bekerja
sebagai tukang masak di salah satu wisma/penginapan milik keuskupan di Atambua.
Ia fulltime mengabdikan dirinya pada dunia masak memasak. Dia itu tipikalnya
nenek saya. Perangai hingga cara memasaknya.
Lalu
saya? Saya belakangan ini memang lagi gemar dengan masakan italia. Lebih dari
itu, saya memang suka berekperimen di dapur. Suatu saat jika ada jalan, pengen
sekali belajar masak secara profesional dan membuka usaha cafe/restoran. Salah
satu mimpi besar saya yang lain. Mungkin itu bisa saya lakukan di masa pensiun
saya. Hahaha, mimpi jangka panjang.
***
Minggu Paskah
kali lalu, sehari setelah lahirnya Forum
Soe Peduli (FSP) di rumahnya Sandra
Olivia Frans, saya mengundang teman-teman FSP untuk plesir ke rumah saya di
Kapan. Sudah saya siapkan menu andalan yang saya masak sendiri (setelah melewati
belasan kali eksperimen), Pizza.
Sejak di Jogja
saya memang menggemari masakan Italia, meksipun perbendaharaan italian food
saya tak sekaya kakak saya Romo Sipri
Senda yang pernah menetap 3 tahun di Roma. Tapi saya selalu bangga dengan
hasil kreasi saya. Dalam banyak hal saya tak malu-malu untuk mengakui bahwa
saya penikmat kuliner yang juga doyan bereksperimen di dapur.
Dan
rupanya hasil olahan Pizza, menurut ‘terjemahan’ saya dibilang enak dan
tampilannya tak kalah meyakinkan dengan pizza di restoran. Wah, makasih
kawan-kawan.
Siang itu hadir,
Josua Natanael, Sandra Olivia Frans, Nike Frans dan Angel Marlin. Menyusul
kemudian Vonny, Aris, dkk yang mampir setelah berburu foto.
Kebetulan saya
juga baru panen lakoat (buah biwah), nangka salak di belakang rumah pas
ranumnya dan mamatua juga baru bikin kue jajanan pasar andalannya, kue solo
(cucur). Mantap sudah. Teman-teman menyantap dengan lahap, sambil bercerita dan
main kartu.
Mungkin dengan
ini saya belajar cara melayani tamu dengan baik, sebelum nantinya saya buka
cafe/restoran? Amin, sodara!
Yang manis itu
berawal dari dapur.
***
Christian
Dicky Senda. Blogger, penikmat, sastra, film dan kuliner. Konselor di SMPK St.
Theresia Kupang. Lagi mencari sponsor untuk penerbitan buku kumpulan cerpen
Kanuku Leon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...