Kamis, 11 April 2013

Dapur Keluarga


(ijinkanlah saya memuji diri)


Dapur. Saya punya pengalaman baik dan positif tentang dapur sejak kecil. Dan saya kecil terbiasa menemani nenek berkutat di dapur. Konon katanya, nenek saya adalah orang Jawa pertama yang bikin warung makan di Kapan (ibu kota kecamatan Mollo Utara, dulu ibukota Zuid Midden Timor pada jaman Belanda).
Otomatis segala resep dan tatacara memasak yang baik menurun ke anak semata wayangnya, ibu saya, mamatua. Mamatua adalah perempuan hebat dalam urusan kuliner, paling tidak berlaku bagi ketujuh putra-putrinya dan suami tercintanya, Bapatua.
Kami punya dapur yang dihubungkan langsung dengan ruang makan yang sederhana namun luas. Kerena tergolong keluarga besar dan perjamuan makan bersama di dapur adalah kebiasaan baik yang sudah ditanamkan bapatua dan mamatua sejak kami kecil. Apapun makanannya, meski dalam situasi tanggal tua, sehingga cuma lauk ikan teri dan labu jepang, karena dinikmati besama rasanya enak-enak saja. Tapi memang dasarnya mamatua jago masak, jadi meski bahannya sederhana, rasanya pasti tak sederhana di lidah. Oke, saya harus fair mengakui bahwa pada kenyataanya mama saya hebat.
Ruang keluarga kami ya dapur sekalian ruang makan itu. Waktu makan bisa berjam-jam lamanya (jika memang tak sibuk) karena diselingi dengan aktivitas bercerita yang akrab. Secara Mamatua dan Bapatua adalah pencerita yang baik. Segala kisah masa lalu yang keluar dari mulut mereka tak peduli sudah diceritakan berkali-kali, pasti selalu menarik. Ini menurut saya, tak tahu dengan keenam kakak saya. Tapi faktanya dalam situasi apapun dapur memang tempat yang ramai oleh keriuhan anak, cucu, menantu. Para tetangga sudah tahu itu. Hehehe.
Pengalaman menyenangkan itu yang membuat peristiwa makan bersama menjadi seru dan berkesan. Membuat kita dekat dengan dapur dan segala aktivitasnya sama sekali bukanlah hal yang asing dan aneh bagi kami. Tak ada diskriminasi gender di sana. Dapur itu milik semua orang rumah tak mengenal jenis kelamin tertentu saja.
Kami bertujuh semuanya suka makan dan bisa masak. Tentu dengan cara dan selera masing-masing. Momen berkumpul saat Natal, Paskah, atau ultah Bapatua/Mamatua, adalah saat kami berkumpul dan merayakan perjamuan makan besama keluarga Senda yang sesungguhnya. Cieeh. Tak bermaksud lebay. Ini cuma perwakilan perasaan yang dituangkan dalam kata-kata.
Kalau mamatua sudah jelas. Seluruh gaya dan citarasa memasaknya sangat dipengaruhi Nenek saya yang notabene orang Jawa dan pernah menjadi tukang masak di sebuah keluarga Belanda di Semarang dulu. Masakan mamatua itu sangat kejawaan sekali. Rasa manis dan sedikit pedas paling menonjol. Kue-kue tradisional/jajanan pasar apalagi. Beliau jagonya.
Bapatua bisa masak. Tapi jarang. Biasanya bapatua turun ke dapur pada saat keadaan darurat (mungkin dipengaruhi pengalamannya saat aktif di kepolisian), misalnya mama lagi ke luar kota, sakit atau memang lagi malas memasak. Biasanya bapatua akan turun tangan. Gaya memasaknya simpel, tak neko-neko soal bumbu dan menyukai masakan yang berkuah atau yang direbus. Suatu kali bapatua bilang ke saya, “Saya ini akhirnya bisa memasak karena dulu saat jadi polisi dan masih bujang, banyak berteman dengan kawan polisi asal Bali yang notabene jago memasak.” Di rumah, bapatualah yang kerap menjadi komentator soal rasa bagi siapapun yang masak. Luar biasa bapak saya.
Keenam kakak saya umumnya suka makan dan punya keahlian di jenis masakan tertentu. Sampai saat ini kami masih heran dan takjub, kenapa yang lain gagal bikin bolu kukus yang mekar menggoda tetapi kakak saya Jemmy yang Brimob itu selalu bikin bolu kukus buat istrinya dan mekar, gak bantet. Atau kakak sulung saya, Henny, seorang guru yang paling piawai bikin puding dengan segala variasi tekstur dan rasa. Kalau Hengky, yang seorang PolPP paling bisa diandalkan untuk menu bakar-bakar (berbeque). Dan kak Yati, selain bidan desa yang tangguh, kue asin/kiri-kiri beliau itu paling juara. Sekarang ini lagi ketagihan eksperimen cake dan rol gulung. Duileeeh. Bisa dibayangkan kalo semuanya kumpul di rumah.
Dan yang paling ekspert dari semua mungkin cuma kakak saya, Vivi. Sehari-hari ia memang bekerja sebagai tukang masak di salah satu wisma/penginapan milik keuskupan di Atambua. Ia fulltime mengabdikan dirinya pada dunia masak memasak. Dia itu tipikalnya nenek saya. Perangai hingga cara memasaknya.
            Lalu saya? Saya belakangan ini memang lagi gemar dengan masakan italia. Lebih dari itu, saya memang suka berekperimen di dapur. Suatu saat jika ada jalan, pengen sekali belajar masak secara profesional dan membuka usaha cafe/restoran. Salah satu mimpi besar saya yang lain. Mungkin itu bisa saya lakukan di masa pensiun saya. Hahaha, mimpi jangka panjang.
***
Minggu Paskah kali lalu, sehari setelah lahirnya Forum Soe Peduli (FSP) di rumahnya Sandra Olivia Frans, saya mengundang teman-teman FSP untuk plesir ke rumah saya di Kapan. Sudah saya siapkan menu andalan yang saya masak sendiri (setelah melewati belasan kali eksperimen), Pizza.
Sejak di Jogja saya memang menggemari masakan Italia, meksipun perbendaharaan italian food saya tak sekaya kakak saya Romo Sipri Senda yang pernah menetap 3 tahun di Roma. Tapi saya selalu bangga dengan hasil kreasi saya. Dalam banyak hal saya tak malu-malu untuk mengakui bahwa saya penikmat kuliner yang juga doyan bereksperimen di dapur.
            Dan rupanya hasil olahan Pizza, menurut ‘terjemahan’ saya dibilang enak dan tampilannya tak kalah meyakinkan dengan pizza di restoran. Wah, makasih kawan-kawan.
Siang itu hadir, Josua Natanael, Sandra Olivia Frans, Nike Frans dan Angel Marlin. Menyusul kemudian Vonny, Aris, dkk yang mampir setelah berburu foto.
Kebetulan saya juga baru panen lakoat (buah biwah), nangka salak di belakang rumah pas ranumnya dan mamatua juga baru bikin kue jajanan pasar andalannya, kue solo (cucur). Mantap sudah. Teman-teman menyantap dengan lahap, sambil bercerita dan main kartu.
Mungkin dengan ini saya belajar cara melayani tamu dengan baik, sebelum nantinya saya buka cafe/restoran? Amin, sodara!
Yang manis itu berawal dari dapur.




***
Christian Dicky Senda. Blogger, penikmat, sastra, film dan kuliner. Konselor di SMPK St. Theresia Kupang. Lagi mencari sponsor untuk penerbitan buku kumpulan cerpen Kanuku Leon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...