Sabtu, 13 Oktober 2012

Satellite Event Kupang: Memperkuat Jejaring Sastra Lintas Budaya (Part 2)


 (Baca Juga tulisan Part One-nya...)

Tanggal 2 hingga 7 Oktober romo Amanche mengikuti UWRF di Ubud Bali. Sehari kemudian beliau kembali ke Kupang dengan begitu banyak cerita yang ia bagi untuk kami di komunitas. “Ini adalah festival yang tidak main-main. Jelas terlihat kualitas acara-acaranya. Semua dikelola dengan baik dan professional,’’ kenang romo Amache.
Ada banyak ilmu yang ia bawa pulang dan bagi untuk kami, tentang bagaimana seharusnya sebuah festival seni, khususnya sastra digarap dengan maksimal. Dan semua kisah itu sontak melahirkan sedikit kekhawatiran di hari kecil kami, apa bisa Satelite Event di Kupang berjalan baik dengan segala keterbatasan yang ada? Semestinya bisa. Jika dimulai dari yang kecil-kecil. Ada banyak nilai-nilai unggul yang kita punya. Dan sebenarnya sudah dirancang oleh panitia kecil kami sebelum romo Amanche ke Ubud.
Amanche Frank Oe Ninu dalam sesi Making Sense of Humour, UWRF 2012  (sumber: www.flickr.com/uwrf)

Rancangan acara pertama yang kami pikirkan adalah saat penyambutan di Bandara. Terpikirlah untuk mengadakan ritus ‘Natoni’ secara sederhana di Bandara karena kebetulan ada pak Ariyanto Lu, dkk yang bersedia membantu. Kami sudah membayangkan bahwa ini akan memberi kesan yang baik bagi pihak UWRF dan Mr. Jon Doust yang hadir. Apalagi bahwa ‘Natoni’ sendiri sebenarnya adalah sebuah bentuk bertutur sastra. Sayangnya sehari menjelang hari H ide itu tidak bisa diwujudkan karena ada tugas penting dan mendadak yang akan dilakukan pak Ariyanto di luar kota.

“Tak masalah. Acara penyambutan tetap dilakukan. Kain-kain tenun khas NTT yang indah punya kemampuan untuk memberi kesan positif bagi tamu yang datang ke NTT,” begitu cara romo Amanche menyemangati kami. Beruntunglah disaat yang bersamaan ada saudara-saudara yang berbaik hati menyumbang ti’ilangga topi khas Rote dan oko mama atau tempat sirih pinang orang Timor, sehingga acara penyambutan menjadi lebih bermakna.
Beberapa waktu lalu kami melakukan rapat di ‘basecamp’ sementara kami Penginapan Keuskupan di jalan Frans Seda, dan  menentukan tema acara yakni ‘Memperkuat Jejaring Sastra Lintas Budaya’ dan akhirnya saya menemukan banyak makna yang terjadi terkait ‘jejaring’ itu. Misalnya, restoran Twin’s menggratiskan semua makanannya selama 2 hari untuk tamu karena aci pemilik Twin’s ‘menyukai sastra’ dan salah satu anaknya adalah anak wali romo Amanche di Giovanni. Om Roy Taebenu alumni SMAK Giovanni yang rupanya sudah bersahabat baik dengan romo Amanche sehingga beliau mau menghadirkan ‘santigi’nya dengan ‘harga saudara’. Beberapa wartawan dari media lokal adalah anggota KSDF juga sehingga memudahkan proses peliputan dan proses penyuburan sastra di lingkup media cetak. Luar biasa. Kami bekerja dengan personel yang terbatas (panitia kurang dari 10 orang) tetapi karena ada begitu banyak orang yang membentuk jaringan disekeliling kami sehingga semua berjalan dengan baik. Tak lupa saya harus berterima kasih juga untuk adik-adik dari Komunitas Sastra Giovanni (Kontas-G), 10-D anak walinya romo Amanche  dan G-Shot (kelompok fotografi Giovanni) yang turut meramaikan Satelit Event kali ini.

***

Bagi Komunitas Sastra Dusun Flobamora (KSDF), menyelenggarakan event hasil kerjasama dengan Ubud Writers and Readers Festival tentu punya nilai kebanggaan tersendiri. Sebuah lompatan besar ketika akhirnya teman-teman KSDF menerima tugas penyelenggaraan event ini dari pihak UWRF (Yayasan Mudra Swari Saraswati, red) dan berhasil menyelenggarakannya. Meski bekerja mempersiapkan acara di waktu yang mepet tetapi toh teman-teman di KSDF berhasil memwujudkan acara ini menjadi lebih menarik dan memberi warna baru bagi perkembangan kebudayaan NTT.
Saya sendiri yang dipercaya menjadi ketua panitia pun awalnya sempat berniat mengundurkan diri karena di masa persiapan banyak jadwal rapat yang berbenturan dengan pekerjaan saya di sekolah (jadwal home visit, rekoleksi, dan pendidikan karakter). Untunglah teman-teman se-tim punya semangat dan dedikasi yang besar untuk saling membantu sehingga acara bisa terlaksana dengan baik.
Tanggal 9 Oktober pukul 11 siang, saya menghadap suster kepala sekolah untuk meminta ijin. Tak lama kemudian romo Amanche sudah menelpon saya lagi, sekedar memastikan bahwa saya pun harus ikut ke bandara El Tari untuk menjemput rombongan UWRF. Pesawat Garuda Indonesia yang membawa mereka dari Bali dijadwalkan akan mendarat pada pukul 12.45 WITA. Kim, teman baik kami, yang menyewakan mobil Innovanya dengan harga bersahabat rupanya telah menjemput saya di halaman Giovanni. Kami lantas menuju ke rumahnya Santi di Oeba, salah satu siswi kelas 10-D yang disiapkan dengan pakaian adat NTT untuk memberi pengalungan selendang kepada ketiga tamu kami. Rupanya romo Amanche sudah menunggu kami di sana. Beliau nampak cerah dengan kaos putih ‘Voices of The Archipelago-UWRF 2012-nya’. Pukul 12.10 WITA kami langsung bergerak menuju Bandara El Tari.
Sesampainya di El Tari kami langsung mencari tempat parkir dan menentukan lokasi yang sedikit longgar di depan pintu kedatangan untuk prosesi pengalungan selendang. Pesawat mendarat tepat waktu dan tak lama kemudian, wullaaaaaa…. Telah berdiri di hadapan kami tiga sosok baru yang menampakkan senyum lebar mereka, mas I Wayan Juniartha (Indonesian Program Coordinator), mbak Kadek Purnami (Community Development Manager) dan Jon Doust (penulis novel Boy On A Wire dan In The Highlands asal Albany, Western Australia).  Sambil menunggu seluruh bagasi dimasukan ke mobil, kami manfaatkan dengan saling bertegur sapa dan berfoto bersama. Mbak Kadek menanyakan beberapa hal mengenai motif selendang Timor dan Mr. Jon yang selalu mengeluarkan joke-joke renyahnya secara spontan. Saya langsung ingat, 5 jam sebelumnya ketika membaca profilnya di Wikipedia, rupanya ada bukti kalau beliau itu juga seorang  ‘stand up komedian’ yang sering tampil di beberapa festival komedi di Australia. Pantaaaas.
Kesan pertama yang menyenangkan.
Dari bandara kami langsung menuju Hotel Romyta (hotel yang mensponsori kegiatan Satellite kami), meletakkan barang-barang lalu kami berpisah sejenak. Romo Amanche bersama Kim, Mr, Jon, Mbak Kadek, dan Mas Jun menuju ke Twin’s Resto untuk makan siang, sedangkan saya harus kembali mengantar pulang kedua siswi Giovanni (Santi dan temannya) pulang ke rumah di Oeba.
Pukul 20.00 WITA, masih di tanggal 9 Oktober 2012, romo Amanche menelpon saya untuk segera menuju ke pelataran SMA Giovanni. Rupanya teman-teman komunitas (Mario Lawi, Diakon Arkhy Manek, Pion Ratulolly, Djo Izmail) sudah menunggu di sana. Om Roy dkk sedang menggarap dekorasi panggung, sedangkan kami memantapkan lagi agenda-agenda besoknya. Malam itu kami tidur di SMA Giovanni.
Paginya kami bubar. Romo Amanche akan menghadiri misa bersama Bapa Uskup di Katedral, Mario akan kuliah, hanya saya dan Djho yang punya waktu kosong sepanjang hari ini sehingga bisa menemami Mr.Jon, dkk keliling Kupang sebelum melakukan jumpa pers di redaksi Timor Ekspress jam 12 siangnya.
Tepat pukul 9 pagi saya dan Djho menuju ke Hotel Romyta. 10 menit kemudian Kim datang dan kami langsung menuju ke arah Barat kota Kupang. Mas Jun ingin melihat Santarang alias Sabana Lontar Karang yang bisa ditemui di sepanjang Namosain menuju ke Pelabuhan Tenau.
Di perjalanan mas Jun berkomentar, “Cuma ada di Kupang, saya bisa melihat langit pagi yang biru bersih tanpa setitik awan pun..” Kami menuju ke pelabuhan, memotret sekitar 10 menit lalu kembali ke Namosain. Mbak Kadek tak henti-hentinya memotret menggunakan Samsung Galaxy tab-nya, mengeditnya di Instagram lalu mengirimkannya ke Twitter.
Saya sendiri diam-diam mengagumi Namosain. Sebab baru kali ini saya ke Namosain secara dekat dan berlama-lama di antara rimbunan lontar, sabana dan karang juga laut biru. Biasanya cuma numpang lewat jika ingin ke pelabuhan. Kami mampir ke lokasi yang sama ketika Mira Lesmana dan Riri Riza menggarap film Atambua 39 ⁰ C dan meminta ijin untuk masuk ke lokasi megaproyek Imperial World. Lokasinya keren dan indah kalo dibiarkan alami, namun sayang sebentar lagi akan berubah menjadi perumahan mewah nan ekslusif yang mungkin hanya bisa dinikmati orang kaya. Saya mungkin tak akan lagi melihat karang, laut, sabana dan lontar berkawan dengan alamiah lagi. Saya mungkin akan melihat banyak kepalsuan yang dibuat di sana. Paling tidak sudah mulai kelihatan dari bentuk rumah marketing office-nya yang bergaya arsitektur bak vila-vila di Bali. Tak ada kesan Flobamoranya disana. Komentar yang sama keluar dari mulut mas Jun.
Hampir sejam kami mengagumi keindahan Namosain, Mr. Jon meminta saya untuk mengajarinya berbahasa Dawan. Rupanya semalam romo Amanche sudah mengajarinya berbicara, ‘On Me?—Leko-leko’ (kira-kira maknanya, ‘how are you? –fine’). Saya kemudian mengajarinya, “ho moe sa – what are you doing?’ , ho mnao bi me- where are you going?’ dan cara mengekspresikan raga kaget dengan kata ‘wow’ tapi biar lebih bernuansa Kupang, saya ganti dengan ‘Awiiii’, dan beliau begitu terkesan sampai mengulang-ulang kata ‘awiii’ dengan ekspresi yang lucu. Yah, jelas Mr. Jon memang comedian sejati, bukan saja novelis sejati.
Di Namosainlah saya berkesempatan berbicara dengannya lebih lama dan dekat. Prinsip saya, pede saja berbahasa Inggris dan terbukti bisa nyambung. Beliau menjadi lebih terbuka dan kami mengobrol banyak hal. Ia bercerita mengenai keluarganya, kehidupan perkawinannya selama 35 tahun bersama sang istri, situasi kota Albany (salah satu kota pelabuhan di barat Australia, 2 jam menggunakan pesawat dari Perth). Ia bercerita tentang pengalamannya mengikuti berbagai festival stand up comedy, pengalamannya sebagai pelatih public speaking, pengalaman menulis novel, dll.
“Jika saya ingin menulis novel, saya bangun jam 7 pagi, lalu sarapan dan menulis selama 2 jam, lalu saya berjalan-jalan ke pantai (jaraknya 2 menit berjalan kaki) untuk memancing, berenang atau bermain kayak, lalu menulis lagi selama 2 jam, saya memasak dan makan lalu menulis lagi 2 jam, saya tidur lalu bangun dan menulis lagi selama 2 jam. ..”.
Rupanya Jon mengetahui betul kondisi dirinya ketika menulis. 2 jam baginya adalah waktu yang efektif untuk menulis tanpa henti, tanpa gangguan, lalu melakukan aktivitas yang rileks kemudian melanjutkan menulis lagi. Dia tahu betul cara untuk menjaga mood menulisnya tetap hidup. Ia tahu cara agar inspirasi di kepalanya tidak kering tetapi selalu segar dan terisi penuh.
Kedua, ilmu yang saya dapatkan adalah, bebaskan pikiranmu dan tulislah apapun yang bisa kau tulis, tanpa dibatasi pikiran oh ini salah, ini benar, baik-buruk…
Beliau selalu mengulang kalimat itu, sambil menekankan nama saya, “Deeckyyy…ingat itu Deeckyyy. Tapi… oh Deeckyy ikan di sini segar-segar. Walaaah..” ucapnya sambil mengerucutkan kelima jari kananya ke arah bibirnya.
Begitulah Jon. Ia selalu bisa mencarikan suasana. Meskipun punya nama besar di Australia tapi ia sama sekali tidak sombong kepada siapapun. Tebukti ketika Satellite Event berlangsung tanggal 10 Oktober di Giovanni, dengan ramah ia menyapa satu per satu hadirin, selalu melempar joke-joke segar ketika ingin berfoto bersama siapapun. Ia selalu melayani pertanyaan-pertanyaan tak penting saya dalam bahasa Inggris yang kacau dengan senyum lebar dan memelototkan mata biru-kehijauannya dengan penuh girang.
Semua yang hadir tentu ingat, bagaimana ia dengan bersemangat share teknik menulis dan mengakhirinya dengan, “makan apel yang banyak. Itu baik untuk otakmu. Dan… juga ikan. Uhh, ikan-ikan disini segar dan lezat, saya suka itu!”

****
Dari Namosain kami kembali ke Kupang, dan langsung menuju ke toko souvenir  khas Kupang, C&A di bilangan Oeba. Di sana ketiga tamu itu membeli banyak oleh-oleh. Mas Jun membeli selembar kain tenunan TTS, mbak Kadek juga membeli selendang Timor dan setengah kilo se’I sapi. Mr. Jon membeli kopiah Manggarai dan sebungkus kue rambut dari Alor (ia begitu heran dengan namanya. Dan berjanji akan mengerjai istrinya bahwa di Kupang ia sudah makan ‘rambut yang dibuat menjadi semacam cookies’ katanya sambil tertawa lebar. Ah, om Jon ni aneh-aneh sa…).
Selesai belanja kami langsung menuju ke redaksi Timor Express. Romo Amanche sudah selesai misa dan sedang menunggu kami di sana. Akan ada jumpa pers sekalian dialog dengan pemred Timex.
Selanjutnya kami langsung menuju ke Twin’s untuk makan siang. Rupanya mereka bertiga sudah jatuh cinta dengan kuah asam dan ikan bakar di Twin’s. dan memang rasanya lezat. Sehingga 4 kali makan di Twins, ikan bakar dan sup ikan juga tumis bunga papaya selalu ada di dalam daftar pemesanan.
(bersambung)

membaca Pesona Flobamora di UWRF 2012 (sumber: Olin Monteiro)
Romo Amanche bersama I Wayan Juniartha (salah satu programer UWRF)
penonton yang hadir di sesi Makin Sense of Humor, salah satu pembicaranya Romo Amanche (sumber: www.flickr.com/uwrf)

Amanche, Saut Poltak Tambunan dan Luca Lesson di Ubud (sumber: Olin Monteiro)


Jon memberikan trik-trik menulisnya di Satellite Event Kupang (sumber: Patris Allegro)

mas Jun dan Mr Jon keren dengan topi Ti'ilangganya...sumber: Patris Allegro

Dialog dengan Jon dipandu pak Willem Berybe (guru bahasa Inggris Giovanni) sumber: Patris Allegro

Cerah Hati with Voice of the Archipelago..yihaaa (sumber; Patris Allegro)
ffr

1 komentar:

  1. Huaaaa kakaka, mupeng saia, astaga keren abiss, moga lain kesempatan bisa ikut ka, jiaaahhh keren2..
    #teriak2gila dikamar :D

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...