(Baca Juga tulisan Part One-nya...)
Tanggal 2 hingga 7 Oktober romo Amanche mengikuti UWRF di Ubud Bali. Sehari kemudian beliau kembali ke Kupang dengan begitu banyak cerita yang ia bagi untuk kami di komunitas. “Ini adalah festival yang tidak main-main. Jelas terlihat kualitas acara-acaranya. Semua dikelola dengan baik dan professional,’’ kenang romo Amache.
Ada banyak ilmu
yang ia bawa pulang dan bagi untuk kami, tentang bagaimana seharusnya sebuah
festival seni, khususnya sastra digarap dengan maksimal. Dan semua kisah itu
sontak melahirkan sedikit kekhawatiran di hari kecil kami, apa bisa Satelite
Event di Kupang berjalan baik dengan segala keterbatasan yang ada? Semestinya
bisa. Jika dimulai dari yang kecil-kecil. Ada banyak nilai-nilai unggul yang
kita punya. Dan sebenarnya sudah dirancang oleh panitia kecil kami sebelum romo
Amanche ke Ubud.
Amanche Frank Oe Ninu dalam sesi Making Sense of Humour, UWRF 2012 | (sumber: www.flickr.com/uwrf) |
Rancangan acara
pertama yang kami pikirkan adalah saat penyambutan di Bandara. Terpikirlah
untuk mengadakan ritus ‘Natoni’ secara sederhana di Bandara karena kebetulan
ada pak Ariyanto Lu, dkk yang bersedia membantu. Kami sudah membayangkan bahwa
ini akan memberi kesan yang baik bagi pihak UWRF dan Mr. Jon Doust yang hadir.
Apalagi bahwa ‘Natoni’ sendiri sebenarnya adalah sebuah bentuk bertutur sastra.
Sayangnya sehari menjelang hari H ide itu tidak bisa diwujudkan karena ada
tugas penting dan mendadak yang akan dilakukan pak Ariyanto di luar kota.
“Tak masalah.
Acara penyambutan tetap dilakukan. Kain-kain tenun khas NTT yang indah punya
kemampuan untuk memberi kesan positif bagi tamu yang datang ke NTT,” begitu
cara romo Amanche menyemangati kami. Beruntunglah disaat yang bersamaan ada
saudara-saudara yang berbaik hati menyumbang ti’ilangga topi khas Rote dan oko
mama atau tempat sirih pinang orang Timor, sehingga acara penyambutan menjadi
lebih bermakna.
Beberapa waktu
lalu kami melakukan rapat di ‘basecamp’
sementara kami Penginapan Keuskupan di jalan Frans Seda, dan menentukan tema acara yakni ‘Memperkuat
Jejaring Sastra Lintas Budaya’ dan akhirnya saya menemukan banyak makna yang
terjadi terkait ‘jejaring’ itu. Misalnya, restoran Twin’s menggratiskan semua
makanannya selama 2 hari untuk tamu karena aci pemilik Twin’s ‘menyukai sastra’
dan salah satu anaknya adalah anak wali romo Amanche di Giovanni. Om Roy
Taebenu alumni SMAK Giovanni yang rupanya sudah bersahabat baik dengan romo
Amanche sehingga beliau mau menghadirkan ‘santigi’nya dengan ‘harga saudara’. Beberapa
wartawan dari media lokal adalah anggota KSDF juga sehingga memudahkan proses
peliputan dan proses penyuburan sastra di lingkup media cetak. Luar biasa. Kami
bekerja dengan personel yang terbatas (panitia kurang dari 10 orang) tetapi
karena ada begitu banyak orang yang membentuk jaringan disekeliling kami
sehingga semua berjalan dengan baik. Tak lupa saya harus berterima kasih juga
untuk adik-adik dari Komunitas Sastra Giovanni (Kontas-G), 10-D anak walinya
romo Amanche dan G-Shot (kelompok
fotografi Giovanni) yang turut meramaikan Satelit Event kali ini.
***
Bagi Komunitas
Sastra Dusun Flobamora (KSDF), menyelenggarakan event hasil kerjasama dengan
Ubud Writers and Readers Festival tentu punya nilai kebanggaan tersendiri.
Sebuah lompatan besar ketika akhirnya teman-teman KSDF menerima tugas
penyelenggaraan event ini dari pihak UWRF (Yayasan Mudra Swari Saraswati, red)
dan berhasil menyelenggarakannya. Meski bekerja mempersiapkan acara di waktu
yang mepet tetapi toh teman-teman di KSDF berhasil memwujudkan acara ini
menjadi lebih menarik dan memberi warna baru bagi perkembangan kebudayaan NTT.
Saya sendiri yang
dipercaya menjadi ketua panitia pun awalnya sempat berniat mengundurkan diri
karena di masa persiapan banyak jadwal rapat yang berbenturan dengan pekerjaan
saya di sekolah (jadwal home visit, rekoleksi, dan pendidikan karakter). Untunglah
teman-teman se-tim punya semangat dan dedikasi yang besar untuk saling membantu
sehingga acara bisa terlaksana dengan baik.
Tanggal 9 Oktober
pukul 11 siang, saya menghadap suster kepala sekolah untuk meminta ijin. Tak
lama kemudian romo Amanche sudah menelpon saya lagi, sekedar memastikan bahwa
saya pun harus ikut ke bandara El Tari untuk menjemput rombongan UWRF. Pesawat
Garuda Indonesia yang membawa mereka dari Bali dijadwalkan akan mendarat pada
pukul 12.45 WITA. Kim, teman baik kami, yang menyewakan mobil Innovanya dengan
harga bersahabat rupanya telah menjemput saya di halaman Giovanni. Kami lantas
menuju ke rumahnya Santi di Oeba, salah satu siswi kelas 10-D yang disiapkan
dengan pakaian adat NTT untuk memberi pengalungan selendang kepada ketiga tamu
kami. Rupanya romo Amanche sudah menunggu kami di sana. Beliau nampak cerah
dengan kaos putih ‘Voices of The Archipelago-UWRF 2012-nya’. Pukul 12.10 WITA
kami langsung bergerak menuju Bandara El Tari.
Sesampainya di El
Tari kami langsung mencari tempat parkir dan menentukan lokasi yang sedikit
longgar di depan pintu kedatangan untuk prosesi pengalungan selendang. Pesawat
mendarat tepat waktu dan tak lama kemudian, wullaaaaaa…. Telah berdiri di
hadapan kami tiga sosok baru yang menampakkan senyum lebar mereka, mas I Wayan
Juniartha (Indonesian Program Coordinator), mbak Kadek Purnami (Community
Development Manager) dan Jon Doust (penulis novel Boy On A Wire dan In The
Highlands asal Albany, Western Australia). Sambil menunggu seluruh bagasi dimasukan ke
mobil, kami manfaatkan dengan saling bertegur sapa dan berfoto bersama. Mbak
Kadek menanyakan beberapa hal mengenai motif selendang Timor dan Mr. Jon yang
selalu mengeluarkan joke-joke renyahnya secara spontan. Saya langsung ingat, 5
jam sebelumnya ketika membaca profilnya di Wikipedia, rupanya ada bukti kalau
beliau itu juga seorang ‘stand up
komedian’ yang sering tampil di beberapa festival komedi di Australia.
Pantaaaas.
Kesan pertama yang
menyenangkan.
Dari bandara kami
langsung menuju Hotel Romyta (hotel yang mensponsori kegiatan Satellite kami),
meletakkan barang-barang lalu kami berpisah sejenak. Romo Amanche bersama Kim,
Mr, Jon, Mbak Kadek, dan Mas Jun menuju ke Twin’s Resto untuk makan siang,
sedangkan saya harus kembali mengantar pulang kedua siswi Giovanni (Santi dan
temannya) pulang ke rumah di Oeba.
Pukul 20.00 WITA,
masih di tanggal 9 Oktober 2012, romo Amanche menelpon saya untuk segera menuju
ke pelataran SMA Giovanni. Rupanya teman-teman komunitas (Mario Lawi, Diakon
Arkhy Manek, Pion Ratulolly, Djo Izmail) sudah menunggu di sana. Om Roy dkk
sedang menggarap dekorasi panggung, sedangkan kami memantapkan lagi
agenda-agenda besoknya. Malam itu kami tidur di SMA Giovanni.
Paginya kami
bubar. Romo Amanche akan menghadiri misa bersama Bapa Uskup di Katedral, Mario
akan kuliah, hanya saya dan Djho yang punya waktu kosong sepanjang hari ini
sehingga bisa menemami Mr.Jon, dkk keliling Kupang sebelum melakukan jumpa pers
di redaksi Timor Ekspress jam 12 siangnya.
Tepat pukul 9 pagi
saya dan Djho menuju ke Hotel Romyta. 10 menit kemudian Kim datang dan kami
langsung menuju ke arah Barat kota Kupang. Mas Jun ingin melihat Santarang
alias Sabana Lontar Karang yang bisa ditemui di sepanjang Namosain menuju ke
Pelabuhan Tenau.
Di perjalanan mas
Jun berkomentar, “Cuma ada di Kupang, saya bisa melihat langit pagi yang biru
bersih tanpa setitik awan pun..” Kami menuju ke pelabuhan, memotret sekitar 10
menit lalu kembali ke Namosain. Mbak Kadek tak henti-hentinya memotret menggunakan
Samsung Galaxy tab-nya, mengeditnya di Instagram lalu mengirimkannya ke
Twitter.
Saya sendiri
diam-diam mengagumi Namosain. Sebab baru kali ini saya ke Namosain secara dekat
dan berlama-lama di antara rimbunan lontar, sabana dan karang juga laut biru.
Biasanya cuma numpang lewat jika ingin ke pelabuhan. Kami mampir ke lokasi yang
sama ketika Mira Lesmana dan Riri Riza menggarap film Atambua 39 ⁰ C dan
meminta ijin untuk masuk ke lokasi megaproyek Imperial World. Lokasinya keren
dan indah kalo dibiarkan alami, namun sayang sebentar lagi akan berubah menjadi
perumahan mewah nan ekslusif yang mungkin hanya bisa dinikmati orang kaya. Saya
mungkin tak akan lagi melihat karang, laut, sabana dan lontar berkawan dengan
alamiah lagi. Saya mungkin akan melihat banyak kepalsuan yang dibuat di sana.
Paling tidak sudah mulai kelihatan dari bentuk rumah marketing office-nya yang
bergaya arsitektur bak vila-vila di Bali. Tak ada kesan Flobamoranya disana.
Komentar yang sama keluar dari mulut mas Jun.
Hampir sejam kami
mengagumi keindahan Namosain, Mr. Jon meminta saya untuk mengajarinya berbahasa
Dawan. Rupanya semalam romo Amanche sudah mengajarinya berbicara, ‘On
Me?—Leko-leko’ (kira-kira maknanya, ‘how are you? –fine’). Saya kemudian
mengajarinya, “ho moe sa – what are you doing?’ , ho mnao bi me- where are you
going?’ dan cara mengekspresikan raga kaget dengan kata ‘wow’ tapi biar lebih
bernuansa Kupang, saya ganti dengan ‘Awiiii’, dan beliau begitu terkesan sampai
mengulang-ulang kata ‘awiii’ dengan ekspresi yang lucu. Yah, jelas Mr. Jon
memang comedian sejati, bukan saja novelis sejati.
Di Namosainlah
saya berkesempatan berbicara dengannya lebih lama dan dekat. Prinsip saya, pede
saja berbahasa Inggris dan terbukti bisa nyambung. Beliau menjadi lebih terbuka
dan kami mengobrol banyak hal. Ia bercerita mengenai keluarganya, kehidupan
perkawinannya selama 35 tahun bersama sang istri, situasi kota Albany (salah
satu kota pelabuhan di barat Australia, 2 jam menggunakan pesawat dari Perth).
Ia bercerita tentang pengalamannya mengikuti berbagai festival stand up comedy,
pengalamannya sebagai pelatih public speaking, pengalaman menulis novel, dll.
“Jika saya ingin
menulis novel, saya bangun jam 7 pagi, lalu sarapan dan menulis selama 2 jam,
lalu saya berjalan-jalan ke pantai (jaraknya 2 menit berjalan kaki) untuk
memancing, berenang atau bermain kayak, lalu menulis lagi selama 2 jam, saya
memasak dan makan lalu menulis lagi 2 jam, saya tidur lalu bangun dan menulis
lagi selama 2 jam. ..”.
Rupanya Jon
mengetahui betul kondisi dirinya ketika menulis. 2 jam baginya adalah waktu
yang efektif untuk menulis tanpa henti, tanpa gangguan, lalu melakukan
aktivitas yang rileks kemudian melanjutkan menulis lagi. Dia tahu betul cara
untuk menjaga mood menulisnya tetap hidup. Ia tahu cara agar inspirasi di
kepalanya tidak kering tetapi selalu segar dan terisi penuh.
Kedua, ilmu yang
saya dapatkan adalah, bebaskan pikiranmu dan tulislah apapun yang bisa kau
tulis, tanpa dibatasi pikiran oh ini salah, ini benar, baik-buruk…
Beliau selalu
mengulang kalimat itu, sambil menekankan nama saya, “Deeckyyy…ingat itu
Deeckyyy. Tapi… oh Deeckyy ikan di sini segar-segar. Walaaah..” ucapnya sambil
mengerucutkan kelima jari kananya ke arah bibirnya.
Begitulah Jon. Ia
selalu bisa mencarikan suasana. Meskipun punya nama besar di Australia tapi ia
sama sekali tidak sombong kepada siapapun. Tebukti ketika Satellite Event
berlangsung tanggal 10 Oktober di Giovanni, dengan ramah ia menyapa satu per
satu hadirin, selalu melempar joke-joke segar ketika ingin berfoto bersama
siapapun. Ia selalu melayani pertanyaan-pertanyaan tak penting saya dalam
bahasa Inggris yang kacau dengan senyum lebar dan memelototkan mata
biru-kehijauannya dengan penuh girang.
Semua yang hadir
tentu ingat, bagaimana ia dengan bersemangat share teknik menulis dan
mengakhirinya dengan, “makan apel yang banyak. Itu baik untuk otakmu. Dan… juga
ikan. Uhh, ikan-ikan disini segar dan lezat, saya suka itu!”
****
Dari Namosain kami
kembali ke Kupang, dan langsung menuju ke toko souvenir khas Kupang, C&A di bilangan Oeba. Di
sana ketiga tamu itu membeli banyak oleh-oleh. Mas Jun membeli selembar kain
tenunan TTS, mbak Kadek juga membeli selendang Timor dan setengah kilo se’I
sapi. Mr. Jon membeli kopiah Manggarai dan sebungkus kue rambut dari Alor (ia
begitu heran dengan namanya. Dan berjanji akan mengerjai istrinya bahwa di
Kupang ia sudah makan ‘rambut yang dibuat menjadi semacam cookies’ katanya
sambil tertawa lebar. Ah, om Jon ni aneh-aneh sa…).
Selesai belanja
kami langsung menuju ke redaksi Timor Express. Romo Amanche sudah selesai misa
dan sedang menunggu kami di sana. Akan ada jumpa pers sekalian dialog dengan
pemred Timex.
Selanjutnya kami
langsung menuju ke Twin’s untuk makan siang. Rupanya mereka bertiga sudah jatuh
cinta dengan kuah asam dan ikan bakar di Twin’s. dan memang rasanya lezat.
Sehingga 4 kali makan di Twins, ikan bakar dan sup ikan juga tumis bunga papaya
selalu ada di dalam daftar pemesanan.
(bersambung)
membaca Pesona Flobamora di UWRF 2012 (sumber: Olin Monteiro) |
penonton yang hadir di sesi Makin Sense of Humor, salah satu pembicaranya Romo Amanche (sumber: www.flickr.com/uwrf) |
Amanche, Saut Poltak Tambunan dan Luca Lesson di Ubud (sumber: Olin Monteiro) |
Jon memberikan trik-trik menulisnya di Satellite Event Kupang (sumber: Patris Allegro) |
mas Jun dan Mr Jon keren dengan topi Ti'ilangganya...sumber: Patris Allegro |
Dialog dengan Jon dipandu pak Willem Berybe (guru bahasa Inggris Giovanni) sumber: Patris Allegro |
Cerah Hati with Voice of the Archipelago..yihaaa (sumber; Patris Allegro) |
Huaaaa kakaka, mupeng saia, astaga keren abiss, moga lain kesempatan bisa ikut ka, jiaaahhh keren2..
BalasHapus#teriak2gila dikamar :D