Berikut adalah sedikit cerita tentang Kapan atau Mollo pada umumnya yang saya gali
dari sebuah obrolan panjang bersama orangtua saya, bapatua Ignasius Senda dan
mamatua Ferderika Kamlasi. Cerita sejarah berikut ini bukanlah sebuah cerita
yang paling benar. Artinya masih ada keterbukaan untuk menambah atau mengoreksi
cerita berikut. Ide untuk menulis kembali semua cerita dari mulut orang tua
saya, semata hanya karena selama ini saya kesulitan mendapat sumber tertulis
yang otentik mengenai Mollo dan masyarakatnya. Mengingat kebiasaan masyarakat
kita hanya mengandalkan cerita secara lisan (dengan adanya mafafa atau para penurut dalam stuktur masyarakat Mollo atau suku Dawan pada umumnya). Dengan tulisan ini,
maka diharapkan bahwa generasi penulis dan setelahnya bisa dengan mudah
mengetahui sejarah dari sumber tertulis, terutama tulisan yang bisa ditemui
dengan muda di dunia maya, di era teknologi seperti sekarang ini (Blog, Google
atau Wikipedia). Selamat membaca.
Nama, Tetaplah Punya Arti
Kapan
adalah nama ibu kota resmi dari kecamatan Mollo Utara, dan kabupaten Timor
Tengah Selatan. Berada di dataran tinggi antara 1000 hingga 1100 mdpl, dengan
puncak tertingginya Gunung Mutis.
Sebenarnya
ada dua versi nama ibu kota Mollo, Kapan (dari nama Kapan Tunan, sebuah kampung
di ujung kampung Cina, sekarang) dan O’besi, yang kini menjadi nama desa di
kecamatan Mollo Utara. O’besi sendiri artinya kandang besi. Orang Mollo
menyebut kandang besi untuk sebuah penjara besar yang dibangun oleh Belanda di
Oe Bobe, sebuah sungai yang membelah kampung Cina kini dengan pasar lama/
kampung Bugis. Oe Bobe adalah sebuah mata air yang pada saat terjadi perang
antara Mollo dengan Amanuban, sering dipakai sebagai tempat untuk ‘mencuci
darah’ para musuh yang sudah dikalahkan. Konon ceritanya, setelah darahnya
dicuci di Oe Bobe, mayatnya kemudian di buang ke Kapan Tunan.
Berbicara
mengenai nama-nama kampung yang ada di sekitar Kapan juga menarik.
Misalnya
soal Kapan yang notabene berada di dataran tinggi sehingga banyak di temukan
pohon kasuasi/pinus/cemara yang disebut masyarakat lokal sebagai pohon ‘Ajaob’. Ajaob inilah yang kemudian
dipakai juga sebagai identitas beberapa kampung di Kapan, selain nama kampung
dengan awalan Oe (air) atau Fatu (batu)
Seperti ‘Ajaoana’ dekat Kampung Baru sekarang,
artinya adalah pohon ajaob/cemara/kasuari yang kecil atau mini.
Ajaobaki,
artinya pohon cemara yang tumbuhnya berbaris rapi membentuk sebuah pagar. Di Ajaobaki
kini masih bisa kita temukan sebuah sonaf atau istana raja Mollo.
Ajaobtomas,
artinya pohon cemara yang konon menjadi tempat dikuburnya kepala seseorang
bernama Thomas yang menjadi korban perang antara Mollo dengan Amanuban waktu
itu. Letak Ajaobtomas sekarang adalah area di cabang Netpala hingga di kantor
camat Mollo utara sekarang.
Ada
juga nama kampung Fatu tasu (batu tacu. Tacu adalah sebutan untuk kuali),
meliputi area di sekeliling kantor PLN Kapan, sebab disitu ada sebuah batu
besar yang mirip dengan kuali. Dan ada satu lagi kampung yang namanya cukup
unik, dekat dengan Fatutasu, yakni Maonsin. Maonsin sendiri artinya adalah tempat yang di sana
terdapat banyak pohon sirihnya (manus).
Berbicara
mengenai nama kampung yang unik, ada juga kampung Embun Mollo. Petaknya diantara
Fatutasu dan Pasar lama/ kampung Bugis. Embun Mollo sendiri awalnya merujuk
kepada sebuah bangunan pesangrahan yang dibangun diatas sebuah bukit, yang dibangun
oleh swap raja Mollo setelah kemerdekaan Indonesia, selain gedung SD (kini SD
Gmit 01 Kapan, sebelumnya adalah SR, dibangun tahun 1910) dan Kantor Camat
(kini beralih fungsi menjadi Puskesmas). Ketiganya merupakan bangunan termegah pada
waktu itu (sebab merupakan rumah batu/ rumah yang dibangun dengan semen pertama
di Kapan). Dibangun oleh seorang pengusaha keturunan Cina bernama Sia Aging.
Sia pula yang membangun sebuah rumah pribadi yang tergolong megah untuk ukuran
Kapan pada waktu itu, letaknya di kampung Cina, sempat menjadi kantor polisi
ketika rumah tersebut dijual kepada pemerintah, namun kemudian diambil alih
menjadi rumah pribadi oleh mantan camat Mollo Utara, Piet Oematan, hingga kini.
Tentang
Embun Mollo, yang menjadi tempat penginapan atau hotel/motel atau apapun itu, adalah
sesuatu yang menarik untuk kota kecil semacam Kapan, karena pada akhirnya
menjadi hotel pertama dan satu-satunya hingga kini. Meski kondisi sekarang jauh
lebih memprihatinkan. Bukan karena bangunannya kini reyot. Tidak. Bangunan
sekarang malah jauh lebih baik 2 kali lipat dari dulunya, cuma pemerintah
kecamatan kini sebagai pengelola sepertinya tidak tahu harus melakukan apa
untuk sebuah tempat penginapan seperti ini! Sayang sekali.
Sejak
awal Embun Mollo dibangun pun memang pihak swap raja agak kewalahan mengelola. Tamu
yang menginap pada waktu itu belum mendapat fasilitas makan dan minum lansung
dari pihak Embun Mollo. Waktu itu masih harus memesan makanan dari warung nasi
milik seorang pensiunan tentara KNIL yang beristrikan seorang perempuan
Magelang, Soleman Kamlasi dan isrtinya Johana Rajimin-Kamlasi.
Karena
kesulitan tersebut, akhirnya Soleman mengusulkan teman baiknya sesama pensiunan
KNIL dari Soe, Opa Naatonis yang beristrikan perempuan Semarang untuk mengelola
Embun Mollo. Semenjak itu, tercatat bahwa Embun Mollo mengalami perkembangan
pesat, dilihat dari makin banyaknya tamu yang menginap. Bahkan dimasa
kejayaannya, Embun Mollo menjadi tempat menginap dari keluarga AH Nasution yang
kebetulan sedang berkunjung ke Soe. Namun kejayaan itu pun tak lama. Sebab sepeninggal
opa Naatonis, pesangrahan ini pun tak terurus lagi hingga berakhir menjadi
sebuah rumah tua nan angker. Hingga akhirnya di awal tahun 2000, dipugar
kembali oleh pemerintah kecamatan. Hasilnya, aula dan puluhan kamar yang ada
dibiarkan kosong.
Para Pendatang di
Mollo
Tentang
warga Kapan yang berasal dari Bugis, adalah sisi lain kota Kapan yang menarik.
Disebutkan
bahwa mereka sudah menetap di Kapan sejak tahun 1960-an. Ketika itu mereka
sudah menghuni los-los yang ada di pasar dengan rumah sederhana. Disebutkan ada
tiga orang tokoh Bugis pertama di Kapan, antara lain Paman Bacok (kemudian
kembali ke Bugis tahun 1964), paman Salam dan Haji Ramli. Selanjutnya diikuti
oleh Haji Yasin dan generasi berikutnya yang kini masih setia di Kapan dengan toko
kelontong dan usaha menjangkau semua pasar yang ada di Mollo dengan truk-truk
mereka, antara lain ke pasar Eban, Tobu, Fatumnasi, Lilana, dll. Menariknya
lagi ereka pun menjadi komunitas yang sangat terbuka dan mau berbaur dengan
masyarakat Kapan lainnya.
Suku
lainnya yang menambah keunikan Kapan adalah suku Sabu, yang populasinya kini
cukup pesat. Tercatat kehadiran mereka sudah ada sejak tahun 1950-an. Saat itu
menjadi papalele, sebuah sebutan
untuk para pedagang yang datang untuk membeli hasil bumi, dan kebanyakan
berasal dari suku Sabu atau Rote. Adalah Ama Kore Tua, Ama Habel Willa dan Ama
Ju, yang disebut-sebut sebagai tokoh asli Sabu yang pertama kali datang
selanjutnya menetap di Kapan. Disusul kemudian Marten Djara. Pada era Marten
Djara inilah yang disebut-sebut, banyak orang Sabu dari Kupang datang dan
menetap di Kapan. Hingga kini, kebanyakan dari mereka masih melakukan profesi
yang sama, yakni berdagang hasil bumi seperti sayuran, bawang putih, kentang,
dsb. Beberapa diantaranya juga sukses sebagai pengusaha angkutan umum (bus dan
angkot) serta pengusaha toko kelontong. Generasi berikutnya dari Habel Willa, yakni Gustav Willa yang kini
menjadi kepala desa wilayah O’besi.
Gereja Katolik di
MOLLO
Dicerikan
sejak tahun 1930-an, di Kapan, sudah ada sepasang keluarga Katolik, yakni
Abraham Seran yang berasal dari Atambua, yang datang ke Mollo karena menikah
dengan seorang perempuan Mollo bermarga Tapatab. Karena satu-satunya keluarga
yang Katolik, akhirnya mereka pun melakukan ritual agama Katolik hanya sebatas
di rumah saja. Baru sekitar tahun 1950-an, ketika Alexander Fransiskus Karel
Oematan, seorang klerk atau pegawai pemerintahan bagian keuangan yang beragama
Katolik datang bersama keluarganya dari Maumere dan menetap di Kapan. Suatu ketika,
seorang anak dari Abraham Seran tak sengaja mendengar ada ritual doa di rumah AFK Oematan yang dirasa mirip
dengan apa yang mereka lakukan selama ini di rumah. Lalu si anak pergi dan menyampaikan itu ke Bapaknya. Kata Abraham, ‘Oh baek sudah, itu
dia, kita pung orang….’’, artinya, yah mereka itu orang Katolik sama seperti kita. Maka dari
situlah hubungan berlanjut. Ketika kemudian AFK Oematan pindah dari Pasar Lama
ke Kampung Baru, lalu membangun sebuah kapela kecil persis di bawah pohon
beringin di depan gedung paroki Kapan sekarang ini berdiri.
Ketika itu, pastor (Vincent
Lecco, berkebangsaan Ceko) dari Soe baru akan berkunjung ketika ada upacara
pembaptisan, selain itu ibadah mingguan dipimpin sendiri oleh AFK Oematan. Selanjutnya
bergabungnya beberapa anggota gereja baru keturunan Tionghoa, misalnya keluarga
Oma Tjeap dan Oma Monika Tanjung.
Tahun
1967, barulah orang-orang katolik di Kapan dilayani sepenuhnya oleh seorang
pastor asal Jerman, Pater Erick Brunning, yang pada saat itu juga baru saja
tiba dari Eropa tiga bulan sebelumnya. Setahun kemudian, Pater Erick memberikan
sakramen perkawinan pertama untuk pasangan suami istri Ignasius Senda dan
Ferderika Elizabeth Kamlasi. Pater Erick kemudian membangun rumah pastor (kemudian
dipugar tahun 2005) dan poliklinik, yang kondisi kini masih kokoh, terawat dan
masih dapat digunakan oleh para suster CIJ (yang hadir di Kapan tahun 1974)
dalam melayani umat yang sakit.
Pastor-pastor
yang tercatat pernah bertugas di Kapan setelah Pater Erick, antara lain Pater
Theodorus asal Chili, kemudian Pater Vinsen Besi, pastor pribumi pertama di
Kapan (kemudian pindah dan mengajar di seminari Lalian, Atambua). Disusul kemudian
pater Blasisus Fernandes, Pater Wilem Laga, Pater Yustinus Tegu Wona, Romo Agus
Parera, Romo Dominikus Juan Faot (alm), Romo Alo Lake dan Romo Tony Duka
(2008-sekarang).
Kapan,
26 April 2012
Seperti yang diceritakan
oleh Ignasius Senda dan Ferderika Elizabeth Kamlas, kepada
Christian Dicky Senda
Tulisan yang lugas, mengalir dan sangat menyenangkan untuk di baca, salut buat adek Dicky..sudah berani memulai menulis buat kita, sekaligus untuk mengabadikan kebesaran budaya kita yg jarang ditulis.. ...
BalasHapusSaran buat Dicky Kamlasi..
Perlu diperluas lagi kalau bisa, sehingga tidak sentral tentang kota Kapan aja, tapi seluruh Mollo..
Trims Jesus Bless You..
iya kak Us...tulisan ini dibuat utk melengkapi riset kecil yang saya dan kawan2 muda di kapan lakukan, tujuannya selain menjadikan semua kisah sejarah di medium tulisan, juga jadi bagian untuk proyek buku cerpen saya, Kanuku Leon, yg ditulis untuk orang2 Mollo. akan ada cerita lengkapnya dr berbagai sisi, masih terus kami gali, kak. tunggu sa kelanjutannya...salam
BalasHapus