Rabu, 25 April 2012

Mollo Dari Masa ke Masa (sebuah catatan sejarah)

Prolog:
Berikut adalah sedikit cerita tentang Kapan atau Mollo pada umumnya yang saya gali dari sebuah obrolan panjang bersama orangtua saya, bapatua Ignasius Senda dan mamatua Ferderika Kamlasi. Cerita sejarah berikut ini bukanlah sebuah cerita yang paling benar. Artinya masih ada keterbukaan untuk menambah atau mengoreksi cerita berikut. Ide untuk menulis kembali semua cerita dari mulut orang tua saya, semata hanya karena selama ini saya kesulitan mendapat sumber tertulis yang otentik mengenai Mollo dan masyarakatnya. Mengingat kebiasaan masyarakat kita hanya mengandalkan cerita secara lisan (dengan adanya mafafa atau para penurut dalam stuktur masyarakat Mollo atau  suku Dawan pada umumnya). Dengan tulisan ini, maka diharapkan bahwa generasi penulis dan setelahnya bisa dengan mudah mengetahui sejarah dari sumber tertulis, terutama tulisan yang bisa ditemui dengan muda di dunia maya, di era teknologi seperti sekarang ini (Blog, Google atau Wikipedia). Selamat membaca.


Nama, Tetaplah Punya Arti
Kapan adalah nama ibu kota resmi dari kecamatan Mollo Utara, dan kabupaten Timor Tengah Selatan. Berada di dataran tinggi antara 1000 hingga 1100 mdpl, dengan puncak tertingginya Gunung Mutis.
Sebenarnya ada dua versi nama ibu kota Mollo, Kapan (dari nama Kapan Tunan, sebuah kampung di ujung kampung Cina, sekarang) dan O’besi, yang kini menjadi nama desa di kecamatan Mollo Utara. O’besi sendiri artinya kandang besi. Orang Mollo menyebut kandang besi untuk sebuah penjara besar yang dibangun oleh Belanda di Oe Bobe, sebuah sungai yang membelah kampung Cina kini dengan pasar lama/ kampung Bugis. Oe Bobe adalah sebuah mata air yang pada saat terjadi perang antara Mollo dengan Amanuban, sering dipakai sebagai tempat untuk ‘mencuci darah’ para musuh yang sudah dikalahkan. Konon ceritanya, setelah darahnya dicuci di Oe Bobe, mayatnya kemudian di buang ke Kapan Tunan.
Berbicara mengenai nama-nama kampung yang ada di sekitar Kapan juga menarik.
Misalnya soal Kapan yang notabene berada di dataran tinggi sehingga banyak di temukan pohon kasuasi/pinus/cemara yang disebut masyarakat lokal sebagai pohon ‘Ajaob’. Ajaob inilah yang kemudian dipakai juga sebagai identitas beberapa kampung di Kapan, selain nama kampung dengan awalan Oe (air) atau Fatu (batu)
 Seperti ‘Ajaoana’ dekat Kampung Baru sekarang, artinya adalah pohon ajaob/cemara/kasuari yang kecil atau mini.
Ajaobaki, artinya pohon cemara yang tumbuhnya berbaris rapi membentuk sebuah pagar. Di Ajaobaki kini masih bisa kita temukan sebuah sonaf atau istana raja Mollo.
Ajaobtomas, artinya pohon cemara yang konon menjadi tempat dikuburnya kepala seseorang bernama Thomas yang menjadi korban perang antara Mollo dengan Amanuban waktu itu. Letak Ajaobtomas sekarang adalah area di cabang Netpala hingga di kantor camat Mollo utara sekarang.
Ada juga nama kampung Fatu tasu (batu tacu. Tacu adalah sebutan untuk kuali), meliputi area di sekeliling kantor PLN Kapan, sebab disitu ada sebuah batu besar yang mirip dengan kuali. Dan ada satu lagi kampung yang namanya cukup unik, dekat dengan Fatutasu, yakni Maonsin.  Maonsin sendiri artinya adalah tempat yang di sana terdapat banyak pohon sirihnya (manus).
Berbicara mengenai nama kampung yang unik, ada juga kampung Embun Mollo. Petaknya diantara Fatutasu dan Pasar lama/ kampung Bugis. Embun Mollo sendiri awalnya merujuk kepada sebuah bangunan pesangrahan yang dibangun diatas sebuah bukit, yang dibangun oleh swap raja Mollo setelah kemerdekaan Indonesia, selain gedung SD (kini SD Gmit 01 Kapan, sebelumnya adalah SR, dibangun tahun 1910) dan Kantor Camat (kini beralih fungsi menjadi Puskesmas). Ketiganya merupakan bangunan termegah pada waktu itu (sebab merupakan rumah batu/ rumah yang dibangun dengan semen pertama di Kapan). Dibangun oleh seorang pengusaha keturunan Cina bernama Sia Aging. Sia pula yang membangun sebuah rumah pribadi yang tergolong megah untuk ukuran Kapan pada waktu itu, letaknya di kampung Cina, sempat menjadi kantor polisi ketika rumah tersebut dijual kepada pemerintah, namun kemudian diambil alih menjadi rumah pribadi oleh mantan camat Mollo Utara,  Piet Oematan, hingga kini.
Tentang Embun Mollo, yang menjadi tempat penginapan atau hotel/motel atau apapun itu, adalah sesuatu yang menarik untuk kota kecil semacam Kapan, karena pada akhirnya menjadi hotel pertama dan satu-satunya hingga kini. Meski kondisi sekarang jauh lebih memprihatinkan. Bukan karena bangunannya kini reyot. Tidak. Bangunan sekarang malah jauh lebih baik 2 kali lipat dari dulunya, cuma pemerintah kecamatan kini sebagai pengelola sepertinya tidak tahu harus melakukan apa untuk sebuah tempat penginapan seperti ini! Sayang sekali.
Sejak awal Embun Mollo dibangun pun memang pihak swap raja agak kewalahan mengelola. Tamu yang menginap pada waktu itu belum mendapat fasilitas makan dan minum lansung dari pihak Embun Mollo. Waktu itu masih harus memesan makanan dari warung nasi milik seorang pensiunan tentara KNIL yang beristrikan seorang perempuan Magelang, Soleman Kamlasi dan isrtinya Johana Rajimin-Kamlasi.
Karena kesulitan tersebut, akhirnya Soleman mengusulkan teman baiknya sesama pensiunan KNIL dari Soe, Opa Naatonis yang beristrikan perempuan Semarang untuk mengelola Embun Mollo. Semenjak itu, tercatat bahwa Embun Mollo mengalami perkembangan pesat, dilihat dari makin banyaknya tamu yang menginap. Bahkan dimasa kejayaannya, Embun Mollo menjadi tempat menginap dari keluarga AH Nasution yang kebetulan sedang berkunjung ke Soe. Namun kejayaan itu pun tak lama. Sebab sepeninggal opa Naatonis, pesangrahan ini pun tak terurus lagi hingga berakhir menjadi sebuah rumah tua nan angker. Hingga akhirnya di awal tahun 2000, dipugar kembali oleh pemerintah kecamatan. Hasilnya, aula dan puluhan kamar yang ada dibiarkan kosong.


Para Pendatang di Mollo
Tentang warga Kapan yang berasal dari Bugis, adalah sisi lain kota Kapan yang menarik.
Disebutkan bahwa mereka sudah menetap di Kapan sejak tahun 1960-an. Ketika itu mereka sudah menghuni los-los yang ada di pasar dengan rumah sederhana. Disebutkan ada tiga orang tokoh Bugis pertama di Kapan, antara lain Paman Bacok (kemudian kembali ke Bugis tahun 1964), paman Salam dan Haji Ramli. Selanjutnya diikuti oleh Haji Yasin dan generasi berikutnya yang kini masih setia di Kapan dengan toko kelontong dan usaha menjangkau semua pasar yang ada di Mollo dengan truk-truk mereka, antara lain ke pasar Eban, Tobu, Fatumnasi, Lilana, dll. Menariknya lagi ereka pun menjadi komunitas yang sangat terbuka dan mau berbaur dengan masyarakat Kapan lainnya.
Suku lainnya yang menambah keunikan Kapan adalah suku Sabu, yang populasinya kini cukup pesat. Tercatat kehadiran mereka sudah ada sejak tahun 1950-an. Saat itu menjadi papalele, sebuah sebutan untuk para pedagang yang datang untuk membeli hasil bumi, dan kebanyakan berasal dari suku Sabu atau Rote. Adalah Ama Kore Tua, Ama Habel Willa dan Ama Ju, yang disebut-sebut sebagai tokoh asli Sabu yang pertama kali datang selanjutnya menetap di Kapan. Disusul kemudian Marten Djara. Pada era Marten Djara inilah yang disebut-sebut, banyak orang Sabu dari Kupang datang dan menetap di Kapan. Hingga kini, kebanyakan dari mereka masih melakukan profesi yang sama, yakni berdagang hasil bumi seperti sayuran, bawang putih, kentang, dsb. Beberapa diantaranya juga sukses sebagai pengusaha angkutan umum (bus dan angkot) serta pengusaha toko kelontong. Generasi berikutnya dari  Habel Willa, yakni Gustav Willa yang kini menjadi kepala desa wilayah O’besi.


Gereja Katolik di MOLLO
Dicerikan sejak tahun 1930-an, di Kapan, sudah ada sepasang keluarga Katolik, yakni Abraham Seran yang berasal dari Atambua, yang datang ke Mollo karena menikah dengan seorang perempuan Mollo bermarga Tapatab. Karena satu-satunya keluarga yang Katolik, akhirnya mereka pun melakukan ritual agama Katolik hanya sebatas di rumah saja. Baru sekitar tahun 1950-an, ketika Alexander Fransiskus Karel Oematan, seorang klerk atau pegawai pemerintahan bagian keuangan yang beragama Katolik datang bersama keluarganya dari Maumere dan menetap di Kapan. Suatu ketika, seorang anak dari Abraham Seran tak sengaja mendengar ada ritual doa di rumah AFK Oematan yang dirasa mirip dengan apa yang mereka lakukan selama ini di rumah. Lalu si anak pergi dan menyampaikan itu ke Bapaknya. Kata Abraham, ‘Oh baek sudah, itu dia, kita pung orang….’’, artinya, yah mereka itu orang Katolik sama seperti kita. Maka dari situlah hubungan berlanjut. Ketika kemudian AFK Oematan pindah dari Pasar Lama ke Kampung Baru, lalu membangun sebuah kapela kecil persis di bawah pohon beringin di depan gedung paroki Kapan sekarang ini berdiri.
Ketika itu, pastor (Vincent Lecco, berkebangsaan Ceko) dari Soe baru akan berkunjung ketika ada upacara pembaptisan, selain itu ibadah mingguan dipimpin sendiri oleh AFK Oematan. Selanjutnya bergabungnya beberapa anggota gereja baru keturunan Tionghoa, misalnya keluarga Oma Tjeap dan Oma Monika Tanjung.
Tahun 1967, barulah orang-orang katolik di Kapan dilayani sepenuhnya oleh seorang pastor asal Jerman, Pater Erick Brunning, yang pada saat itu juga baru saja tiba dari Eropa tiga bulan sebelumnya. Setahun kemudian, Pater Erick memberikan sakramen perkawinan pertama untuk pasangan suami istri Ignasius Senda dan Ferderika Elizabeth Kamlasi. Pater Erick kemudian membangun rumah pastor (kemudian dipugar tahun 2005) dan poliklinik, yang kondisi kini masih kokoh, terawat dan masih dapat digunakan oleh para suster CIJ (yang hadir di Kapan tahun 1974) dalam melayani umat yang sakit.
Pastor-pastor yang tercatat pernah bertugas di Kapan setelah Pater Erick, antara lain Pater Theodorus asal Chili, kemudian Pater Vinsen Besi, pastor pribumi pertama di Kapan (kemudian pindah dan mengajar di seminari Lalian, Atambua). Disusul kemudian pater Blasisus Fernandes, Pater Wilem Laga, Pater Yustinus Tegu Wona, Romo Agus Parera, Romo Dominikus Juan Faot (alm), Romo Alo Lake dan Romo Tony Duka (2008-sekarang).


Kapan, 26 April 2012

Seperti yang diceritakan oleh Ignasius Senda dan Ferderika Elizabeth Kamlas, kepada
Christian Dicky Senda

2 komentar:

  1. Tulisan yang lugas, mengalir dan sangat menyenangkan untuk di baca, salut buat adek Dicky..sudah berani memulai menulis buat kita, sekaligus untuk mengabadikan kebesaran budaya kita yg jarang ditulis.. ...
    Saran buat Dicky Kamlasi..
    Perlu diperluas lagi kalau bisa, sehingga tidak sentral tentang kota Kapan aja, tapi seluruh Mollo..
    Trims Jesus Bless You..

    BalasHapus
  2. iya kak Us...tulisan ini dibuat utk melengkapi riset kecil yang saya dan kawan2 muda di kapan lakukan, tujuannya selain menjadikan semua kisah sejarah di medium tulisan, juga jadi bagian untuk proyek buku cerpen saya, Kanuku Leon, yg ditulis untuk orang2 Mollo. akan ada cerita lengkapnya dr berbagai sisi, masih terus kami gali, kak. tunggu sa kelanjutannya...salam

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...