Disaat sedang nganggur atau
tepatnya sedang menunggu surat-surat lamaran saya direspon, saya mengisi
hari-hari dengan beberapa kegiatan yang selalu saya katakana ke diri saya
sendiri, ‘semoga apa yang saya lakukan sekarang, yang saya yakini baik, semoga
nantinya juga akan membawa efek positif’
Artinya sekarang hingga kelak
nanti, harapannya tidak akan ada kata menyesal terlontar dari diri saya
sendiri. Bahwa apapun yang kemarin dan hari ini saya lakukan sama sekali bukan
sebuah kesia-siaan.
Pertama, saya bersyukur bahwa saya
dikelilingi oleh orang-orang hebat. Sehingga pada saat saya punya banyak waktu
luang dan kebanjiran ide yang tuing-tuing silih berganti datangnya, oke,
semuanya tidak sia-sia sebab paling gak, ada kawan-kawan saya yang bisa jadi
tempat saya menimpahkan ide-ide tersebut. Mungkin juga bukan ide brilian. Tapi
entah kenapa, saya lagi suka berdialog. Saya lagi suka mendialogkan ide-ide
saya dengan teman-teman baik saya. Ada juga yang idenya bukan saja dari saya
tapi dari teman-teman yang lain. Yang pada posisi yang sama mereka juga butuh
untuk dibagi, didialogkan. Maka kloplah.
Di mulai dari dialog yang terus saya
gencarkan dengan kawan-kawan Blogger NTT, dengan kawan-kawan MudaersNTT yang
kebetulan sedang menggarap sebuah novel yang ditulis estafet dan rencana bikin publisher/ penerbit independent di Kupang dengan bro Gerald Fori (tim kreatifnya sih oke, cuma belum ketemu percetakan di Kupang yang kualitasnya baik). Pengennya untuk strart proyek publisher ini dimulai dengan menerbitkan buku antologi cerita Syuradikara, selanjutnya buku-buku antologi cerpen, puisi dan novel anggota kelompok menulis kreatif MudaersNTT.
Sempat juga
dengan kawan-kawan di Soe, menuangkan ide dengan pak Tetty Loelan soal system
pendidikan yang ideal di Soe. Dengan Joce Estrella soal rencana bikin les
privat bahasa Inggris untuk anak-anak sekolah di Soe. Dengan kawan-kawan muda
Soe akhirnya berhasil juga bikin komunitas Uno. Sebuah kelompok yang awalnya
dari sebuah arisan antar sesama teman se-SD, se-SMP, bla…bla..dan bolehlah kami
mengkonsepkan ide kami yang kelak tidak cuma ‘arisan doang’, tapi ada hal lain
yang membuat komunitas ini berbeda dengan kelompok geng motor, misalnya, yang
ada di Soe. Akhirnya lahirlah beberapa agenda kegiatan social. Wow…itu keren
kawan-kawan. Pada saat yang sama, saya dan teman blogger saya, Sandra Frans
pelan-pelan menularkan virus ngeblog kami dan virus menulis bagi teman mudaers
Soe lainnya.
Ketika harus resign dari tempat
bekerja di Soe, saya berpikir bahwa saya harus ke Kupang. Tapi bukan juga mau
melupakan kawan-kawan di SOE dengan Uno yang barusan dirintis ini. Di Kupang,
sambil menunggu aplikasi saya direspon, saya bertemu banyak orang hebat. Dengan
kak Sandro Dandara yang sudah banyak pengalamannya di dunia broadcast, dengan
kae Gusti Brewon dan akademi berbagi Kupang, dengan kak Olkes, dkk di FAN, waw,
paling gak melecutkan lagi mimpi yang masih tertunda, ‘sekolah lagi!’.
Hingga pada akhirnya saya diajak
gabung dengan kawan-kawan di komunitas dusun flobamora: Amanche franck oe ninu,
Mario f lawi, januario Gonzaga, abdul m djou, pion ratuloly, djho izmail,
donnys dali, banyaak sekali orang-orang muda dengan semangat memperkaya
khazanah sastra flobamora yang tak terkira besarnya. Saya belajar banyak, saya
juga ikut mendialogkan ide. Ketika akhirnya Santarang sebuah jurnal sastra
tercetuskan, makin terbakarlah semangat itu.
Sungguh gejolak idealisnya
berkomunitas yang sempat pudar saya dapatkan lagi disini. Persis ketika saat di
Jogja, boleh meleluasakan pikiran saya tertaut dengan pemikiran-pemikiran
kreatif kawan-kawan saya soal film, psikologi, film, dan psikologi hehehe. Bukan
di sebuah belantara kompleks UGM, atau di sudut mall besar, atau di kafe
–bermodalkan segelas kopi, kentang goreng dan gemericik sungai Gajah Wong, kita
bisa mengobrol berjam-jam lamanya atau di ujung Mangkubumi-Tugu yang sibuk kita
lesehan di angkringan sambil membicarakan Christoph Nolan-Memento dan
psikoanalisis. Tapi kini di Kupang, sungguh tak kalah nikmatnya.
Di bawah pohon lontar di tengah
taman Nostalgia dengan langit Kupang yang gak kikir memberikan sejuta
bintangnya, kami boleh lesehan hingga jam 3 pagi (jam 3 pagi! Ingat bukan
contoh yang baik. Seniman haruslah berpikir untuk umur panjang, yah! Hahahaha).
Mengobrak abrik semua file di rak
memori kita: filsafat, sastra, film, budaya, bla…bla…bla…
Semua pengalaman antar kita kaya
makna, maka berdialoglah sepuasnya. Dialog: dia, loe, gue, satu dalam sebuah
scenario besar yang diciptakan Tuhan, melibatkan alam semesta dan kita manusia
yang untunglah sudah dikasih rasio dan kebijaksanaan. Dialog adalah juga
membiarkan semua mimpi dan harap terucap agar didengar kawan, alam semesta dan
semua hal yang memungkinkan untuk terwujud nyata. Yah, saya percaya itu.
Makanya ketika saya berdialog dengan siapa saja, saya percaya bahwa pasti kelak
semenit, sehari, sebulan, setahun, sepuluh tahun kemudian akan memberikan
dampak positif untuk saya.
Ketika pulang untuk merayakan
paskah di rumah saya di Kapan, ternyata ada dialog menarik yang tanpa sengaja
terjadi antara saya dan kawan baik saya, Charles Tanesib. Bermula dari sebuah
obrolan basa basi, saya sendiri kaget bahwa diam-diam Cha sudah melakukan
sebuah langkah besar. Padahal ide yang sama, pada saya masih sebatas ide di
kepala. Tapi Cha sudah mewujudnyatakan itu jauh lebih baik dari saya. Sama
sekali tidak iri, tapi justru berujar, ‘ini dia partner saya! Nah, ketemu deh.’
Kami punya mimpi yang sama, Cuma
yang berbeda adalah kami bergerak dari sudut yang sedikit berbeda. Tapi
tujuannya sama. Kami sama-sama mencintai Mollo dan semua produk budaya juga
kekayaan alam yang Mollo miliiki. Sama-sama punya cita-cita agar bagaimana
potensi itu gak hilang misalnya kok sekarag pun kok sudah yang menelusuri
warisan bahasa dan adat istiadat Mollo yang otentik sebab Mollo tak mengenal
tradisi tulisan. Yang ada Cuma para mafafa,
sang juru bicara yang pelan-pelan rantainya hampir putus. Karena sulit di jaman
sekarang ini cuma mau mengandalkan tradisi lisan tok. Harus ada yang ditulis. Karena saya dan Cha
sebagai generasi muda Mollo, susah sekali menemukan catatan sejarah dan budaya/
tradisi orang Mollo, misalnya di Google atau Wikipedia. Kalaupun ada, paling
cuma berdebu di rak-rak buku perpusda Soe. Tidak ada versi digitalnya
juga.
Maka dari itu saya memulai dengan
mimpi melahirkan Kanuku Leon, sebuah kumpulan cerpen dan prosa pendek saya,
yang pengennya semua isinya punya ruh Mollo! Sudah saya garap 45%! Idenya sih
kebanyakan dari pengamatan saya yang lahir besar di Mollo, cerita yang tiada
habisnya ditumpahin bapak dan mama saya, dari kakek nenek saya dulu yang juga
masih saya ingat betul.
Kanuku Leon sendiri berasal dari
syair kuno orang Wehali, kini kabupaten Belu, yang kira-kira artinya sebuah
naungan dari pohon besar (beringin). Bisa bermakna pemimpin yang mengayomi,
bisa artinya sebuah kekuatan besar. Itu sebabnya pohon beringin dalam situasi
tertentu juga sangat disakralkan. Dan hubungannya dengan Mollo, bahwa di situ
ada gunung besar yang disakralkan, tempat pemujaan seluruh daratan Timor,
tempat datangnya keberkahan yang melimpah dalam wujud air yang tak hentinya
mengalir. Artinya bahwa Mollo bukan saja sebuah batu besar, tapi juga adalah
pohon besar, tempat segala yang hidup bermula dan yang mati akan kembali. Dulu
saya juga sempat menulis tentang silsilah keluarga mama saya, Kamlasi, yang
juga aslinya adalah warga pendatang di Mollo.
Bagaimana dengan Cha?
Kawan saya ini bergerak dari latar
belakang pariwisata. Diam-diam dia sudah merangkum banyak temuan cerita yang sebenarnya juga hampir punah. Misalnya tradisi tato bagi orang
Mollo. Atau ‘pintu-pintu masuk’ menuju sang gunung besar, Mutis, yang
dikeramatkan . pelan tapi pasti Cha sudah mengungjungi sonaf Ajaobaki dan
berbincang dengan om Son Oematan alias raja terakhir Mollo. Jiaaah, saya malu
deh. Karena sudah 25 tahun hidup di Kapan, malah tidak pernah sekalipun masuk
ke dalam sonaf/ istana raja Oematan.
Dari dialog kami malam itu,
ketemulah benang merahnya. Lahirlah banyak ide kedepannya. Cha sendiri dari
hasil riset kecilnya itu, kepengen bikin paket wisata. Karena kebetulan ada kawannya
di Kupang yang punya usaha tour and travel. Cha sendiri kepengen, ada banyak
alternatif wisata ke Mollo.
Saya pun akhirnya berjanji dengan
Cha agar dialog ini bisa diteruskan nanti. Niat saya, harus pertemukan beberapa
kawan muda dari Kapan, termasuk juga anaknya Om Son, Adel Oematan teman
seangkatan saya juga. Semakin banyak anak muda Mollo yang diajak berdialog,
pastinya akan seru. Intinya jangan sampai, cerita tentang Mollo itu berakhir
setelah kematian para juru bicara aka mafafa itu. Makin sedikit lho. Setahu
saya di Kapan, cuma ada pak Sipa dan dua orang yang cukup ahli dalam natoni (om
Mikael Seran dan om Pa’i.) Niat saya dan Cha, ritus natoni itu yang hasurnya
dituliskan, biar gak hilang.
Sedih yah, ketika di Jawa,
kurikulum bahasa Jawa sudah ada bahkan di kelas 1 SD, tapi kok di Timor sini
tidak ada? Misalnya pelajaran muatan localnya adalah siswa ‘Belajar Bahasa
Dawan!’, atau praktek Natoni untuk anak SMP dan SMA!
Suatu saat nanti om Pai dan om
Seran akan berpulang, trus siapa penerusnya, hei orang Mollo?! *nunjuk diri
saya sendiri juga!*
Saya sendiri sedih lho, setua ini
tidak bisa berbahasa Dawan.
Semoga yang saya dan Cha lakukan
ini gak terlambat.
Mari dialog. Siapa mau ikut, hei anak Mollo???
Liliba, April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...