: theresia avilla
/1/
kita adalah saudara tua getir yang
melapisi tubuh pagi:
doa, sarapan,
mandi,
menyetrika
pakaian lusuh yang masih lembab,
omelan nyonya rumah
getarkan mimpi terakhir
setelah rencana
nonton bola gagal.
biarlah koran,
katamu
berharap
yang
mungkin menyembunyikan jawaban
di
balik kolom olah raga
atau kuliner
tentang gelisah juga getir yang
kemarin masih kau sangkal
/2/
di beranda aku menanti sendu
wajahmu
sendiri
dengan segelas kopi tubruk
dan
bakpao mengkerut
serupa wajah kita lima puluh tahun kemudian
(jika kita ditakdirkan bersama selamanya)
kau mungkin menyesali kejadian
semalam
karena
wajah bundar roti tak sempat mulus
sehingga
hal itu merusak rencana kita menonton
aku memikirkan sesal mungkin terbit
dari balik rongga dadamu
sehabis kita menunaikan ibadah cinta
pada altar tersublim
aku memikirkan sesal itu mungkin
terbit di fikirku
setelah
lama menunggu koran yang telat datang hari ini
tentang gelisah
dan getir yang pagi ini juga mulai kusangkal
/3/
siapakah kita?
adakah pertanyaan ini pernah
terbersit juga di langitmu?
katamu:
kita adalah saudara tua getir yang melapisi tubuh pagi
kataku
kita
adalah mimpi pagi buta sehabis nonton bola
yang selalu pasti bikin aku
ketagihan
membayangkan
getir menegangkan urat-urat
selengkanganku
mimpi terakhir.
tapi ketika sadar
aku
menyesal
telah
ikutan gila bersamamu
menyesal
sebab
sudah ribuan kali
aku dan kau betah menjalani hidup
paling seronok
yang
paling sesuai standar kewarasan
langit kita
/4/
kita adalah isi koran hari ini:
gusar
yang berhamburan ketika membaca nasib kita
bahwa sebenarnya sebulan lalu kita
sudah tinggal serumah
kita:
rutinitas
pagi
kau
nyonya
rumah cerewet
pergumulan dini hari di depan
televisi.
delapan jam sebelumnya
aku dan segelas kopi tubruk
menemanimu
mengobrak-abrik kliping resep
dengan mimpimu
dan
tumpahan tepung di bajumu
dan harus berakhir dengan pagutan
tak bernama di atas meja dapur
kita;
valentine di bawah langit yang kita
yakini berwarna biru
kita
dan si tukang koran yang belakangan sering telat
ngantar
koran
(makanya
diam-diam aku rajin memaki)
meski punya waktu juga untuk
menanti sendu wajahmu
menanti berlapis episode getir yang
kita mainkan tanpa lelah
apalagi
kapok!
/5/
Pernahkan kau bertanya siapakah dia
si
peminum kopi tubruk? - maksudnya
aku
pertanyaan wajar sehabis bercinta,
kataku
kau
menertawakan itu
mungkin artinya
mengiyakan
kau bertanya lagi
apa
kita sudah pernah menikah?
aku diam:
kamar
yang muram,
sprei yang berserakan,
tanpa foto pre wedding terintim menggantung di dinding,
ingatan tentang ramalanmu akan rupa
nafsu seks di
galur-galur
telapak tanganku
udara sedang birahi.
/6/
gelisah
getir
adakah
ia bernyawa
mampu
bersuara?
kita:
oke aku duluan,
apa kau mencintaiku?
jawabannya, kita sama-sama
mencintai nafsu kita, ya kan?
dan
diam-diam kita menyesali itu
penyesalan kita berlapis
karena
diawali dengan nikmat yang bikin ketagihan
wajah sendu
bau tubuh
desiran darah
gigitan
dan
setiap inci persetubuhan
adalah fatamorgana
bagi bawah sadarku
ketika usai lelah itu pergi
jadi
gelisah
satir
/7/
gelisah
dan
getir
yang selalu kita sangkal:
adalah puisi
di
kolom seni, koran pagi ini
-Liliba, Maret 2012-
Christian Dicky Senda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...