Kami datang dengan berbagai ekspresi, cerita dan mimpi.
Saling berbicara, tapi diam-diam menduga-duga isi kepala orang-orang di depannya. Melemaskan kejang otot dengan derai tawa.
Hari sudah larut malam ketika akhirnya tuan rumah mempersilahkan kami menyantap hidangan yang
sudah tertata rapi di atas meja marmer bundar. Semangkuk opor ayam yang masih
panas bertemankan tumisan paria dan segelas mungil es buah. Nikmat.
Di luar sana, kabut seutuhnya sudah membungkus kota, bahkan
turun menyentuh bebatangan bougenvile
ungu milik nyonya rumah. Namun dingin
tak punya kuasa untuk masuk ke dalam ruang bercat berwarna pucuk teh.
Kami saling melempar canda dan menghadiahi ujung percakapan
dengan tawa cekikan yang makin menarik-narik otot perut. Tapi diam-diam akulah
yang paling rajin menduga-duga isi kepala lawan bicara. Seolah diriku sendiri
senang menjebakkan diri dalam sebuah portal dimensi, di mana hanya melalui
imajinasi aku sendiri dapat membangun persona yang baru, yang paling ideal dan
sempurna. Atau mingkin ini namanya tersesat dalam sebuah labirin angan orang
lain, dan aku sendiri adalah si gila yang gandrung bermimpi?
Kini, aku sepenuhnya adalah yang nyata tertawa, mengobrol
dan larut dalam oksigen yang sedang kau hirup. Mengobrol di lorong antara bawah
sadarmu dan bawah sadarku.
Apa artinya hidup bersama, kawan? Kau melempar pertanyaan
rahasia itu lewat udara.
Apa artinya tertawa bersama, kawan? Seorang lainnya
menghembuskan itu di dinding sepi yang nampak masih menyekat hati beberapa
diantaranya. Aku kaget, sebab tak kuperkirakan kehadirannya sebelumnya.
Apa artinya tersenyum pada wajah baru teman yang baru kau
kenali? Kau bertanya lagi.
Aku masih percaya pada angin, pada gigil malam yang sayup-sayup
menembusi kulit ariku. Percaya pada cahayamu.
Kau menangkap semua yang bisa disentuh indera: Ekspresi
wajah, suara, sentuhan, rasa senyum yang kau hirup, aku. Manis.
Satu sama lain saling melempar pandangan. Kau mengirim kode:
Aku mencintaimu, kawan.
Seorang lainnya mengirim kode kedua: Aku mendukung
semangatmu!
Ia membalas dengan kode ketiga: Aku percaya punya banyak
teman akan membesarkan jiwa
Kode keempat, dikirm sang tuan rumah: Ayo tambah, opornya
enak…
“Aku suka caramu mengolah rahasia udara, ketika indra semua
yang hadir mengangkap cahayamu.” Kode kelima kurasa. Aku yang melempar itu.
Kode keenam?
Dikocok sekali, keluarlah namamu:
Arsan.
-Taubneno, Maret 2012-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...