"Dahulu ia adalah purnama dari langit daksina yang setia menjadi teman bagi gelapku, sore dan malam yang melingkar. Karena ia adalah cahaya."
Setahun lebih kami menyusun gemintang jadi mimpi, lantas diam-diam ia mulai menghadirkan rupa yang lain dari cerita indah malam kami. Memang aku baru sadar belakangan, terpuruk dan merasakan pahit bagai empedu yang pecah ia meracuni seribu mimpi yang sedang kubangun. “Kupadamkan saja lampunya biar gulita karena aku terlanjur tak percaya lagi pada cahayanya.”
***
“Bumi, kau masih di Jogja?”
Seseorang mengirimkan SMS itu pagi-pagi buta. Tapi hingga siang ini belum sempat kubalas. Aku terlalu sibuk hari ini dengan jadwal konseling hari ini.
“Bumi, kok gak dibalas? Marah yah? Masih di Jogja?”
Pesan itu datang lagi dari nomor yang sama.
Aku lantas memencet nomor tersebut. Rupanya tersambung tapi lama tak diangkat juga.
“Bumi, please. Aku gak siap ditelpon sekarang. Aku hanya mau bilang sekarang ini aku sudah berada di Jogja lagi.
Aku terpekur sejenak. Siapa dia?
Bumi, begitu ia menyebut namaku. Sebuah tanda bergerak di kamar tidurku, jawaban yang samar seperti oksigen yang sedang kuhirup ini menuntun mataku pada sudut dekat lemari tempat sebuah bingkai foto yang kugantung. Ada puluhan potongan foto aku taruh disana. Dulu kau gemuk, yah? Bisik ruang sepi. Sepi yang menuntun setengah sadarku untuk mendekati pigura hitam yang kubeli empat tahun lalu.
Aku sedang melihat masa laluku sendiri. Petualangan memori dengan dua mata pisau, menyakitkan sekaligus mengasyikan.
Di bawah langit Borobudur, aku melihat kita. Kau, aku dan dia. Tertawa lebar menghantar kepergian lampion-lampion pembawa doa menembus malam hiruk pikuk dan puja-puji untuk nirwana.
Mungkin akhirnya pesan itu sampai pada Yang Mutlak dengan cepatnya dan aku yang haus dipertemukan dengan segaramu. Malam yang terus-terusan ketagihan untuk menikmati mata, bibir, dada dan indahmu. Karena akulah malam itu, dan kau cahanya. Ia selalu baik pada Bumi yang polos.
“Matahari yang mengirimu kesini”
“Enak saja. Purnama, bukan Matahari!”
“Tapi cahayamu dari matahari, Lona…”
“Iyah sih..”
“Apa artinya Ilona?”
“Bulan. Luna”
***
Seperti purnama yang menggantung di hari suci Waisak, ia datang memberi harapan kecil bagi salah satu ruang terdalam di hatiku. Efek terbesarnya setelah itu adalah aku rajin bikin puisi. Aku memang sejenis makhluk yang diberi kuasa indera-indera sensitif, yang kadang bisa membuatku kolaps sendiri. Dua hal aneh dalam hidupku, mahir menulis puisi hanya jika sedang jatuh cinta dan sedang terpuruk oleh karena cinta. Lucunya aku selalu merasa bisa menulis dengan indah jika aku sedang bermasalah dengan hati.
“Aku jemput kau siang ini. Perjalanan ke Borobudur akan sangat macet hari ini, sayang.”
Ia selalu mengirimkan sinyal itu, tapi ia sendiri masih tergantung jauh dilangit. Dan selalu ada batas yang samar diantaranya.
“Arya bilang jika pawai besar membawa api abadi sudah mulai bergerak dari Mendut. Ribuan massa tumpah ruah, campuran antara peziarah dan wisatawan. Ia menunggu kita di sebuah penginapan di dekat terminal.”
Sesungguhnya aku tak mencermati semua perkataanya. Aku hanya sedang memikirkan kesungguhan cahayanya. Dan kehadiran Arya diantara kami selalu membuat harapanku tiba-tiba tawar lagi. Harapan untuk memiliki cahayanya.
“Kenapa kita tak melakukan hal ini berdua saja?”
Ia diam.
Dan aku ingin terus merayu agar kita bisa terpisah saja dari rombongan nantinya. Aku ingin meminta kepastian cahayanya.
***
“Aku datang untuk ikut acara Waisak lagi di Borobudur besok. Aku ingin mengirim doa seperti yang pernah kita lakukan dua tahun lalu. Kau mungkin sudah berencana juga kesana, Bumi? Semoga saja kita akan bertemu. Kangen melihat mata elangmu. He-he-he..jangan geer yah”
Pesan pendek berikutnya datang dari nomor yang sama.
“Ini Ilona, yah?”
“Kok tahu?”
“Tak ada yang pernah menyebutku si mata elang, selain kamu, Lona. Apa kabar?” Apa kabar? Mungkin rohnya akan sama saja dengan ‘siapa kau, aku tak mengenalmu lagi’. Kebencian. Sebab aku pun sudah memadamkan cahaya itu. Atau menelannya bulat-bulat seperti yang dilakukan Batara Kala pada Batara Candra.
“Kabarku baik. Secerah udara Jogja pagi ini. Kau gak menikmati malam seribu lampion di Borobudur besok?”
Ahh, Lona. Aku hanya trauma melihat purnama. Seperti gigil angin selatan ia menusuk sum-sum memoriku. Mengingat kepergianmu yang tiba-tiba dengan seorang yang tak kuduga rasanya ingin membuatku menghadang saja sinar matahari itu agar tak sampai ke bulan dan tak jadi purnama. Aku ingin menciptakan gerhana agar aku tabah dalam kekecewaan yang dalam.
“Gak, Lona. Besok aku terlalu sibuk.”
Tiba-tiba aku ingin pergi ke Borobudur besok. Entah dengan maksud apa. Bawah sadarku secepat kilat menawarkan hal tersebut dan kuterima saja sebagai keputusan awal meski belum final betul. Aku membayangkan rencana ini sebagai sebuah proses rekonsiliasi antara diriku dengan masa lalu. Namun aneh hati ini masih selalu malu mengakuinya.
***
Pada akhirnya kami melakukan semuanya dengan sadar dan cinta di malam itu juga setelah seribu cahaya yang berpendar perlahan mulai tertelan sang malam. Aku adalah Bumi sang pemilik malam dan ia adalah Ilona sang cahaya. Kami dipersatukan oleh doa yang diterbangkan bersama lampion pada Tuhan. Dan Ia mengijinkan pertemuan rahasia kami berlanjut hingga keesokan paginya, dimana kami adalah dua tubuh yang telah meleburkan kemurnian masing-masing ke dalam satu roh. Sungguh tak pernah kusesali itu.
Aku memang sulit untuk jatuh cinta tapi ketika dekat dengannya semua menjadi mudah maka mungkin itulah jawabannya kenapa aku harus percaya pada kata hatiku. Pikirku waktu itu. Tapi nyatanya hal itu hanya kesenangan sesaat. Ada kala bumi terlihat hampir segaris dengan matahari dan bulan lalu menciptakan keindahan malam, sebuah purnama. Tapi karena ia lahir dari sebuah musim maka manusia pun harus mengijinkannya untuk saatnya berubah menjadi malam buruk dengan sabit tajam yang menggantung. Bumi memang selalu terbiasa menanggung kepahitan dari langit dan dari kerak bumi, atau pasang surut dari gaya tarik Bulan. Mungkin itulah tandanya bahwa Bumi tak akan lama memiliki Bulan. Secepat musim pancaroba yang datang, secepat itulah ia pergi meninggalkanku.
Aku kenal baik Aria. Dan aku mencintai Ilona. Ia tahu itu tapi kurang menyambut baik. Mungkin demi menjaga perasaan Aria. Aku mencintai Ilona sejak pertama kali kami berpapasan dalam sebuah kelas bahasa Indonesia di kampus. Ia dan beberapa teman dari Jerman memang mengambil sebuah program khusus yang diadakan kampus UGM. Singkatnya kami jadi sangat akrab. Menghabiskan akhir pekan di gedung bioskop atau melahap habis buku-buku di Café Bel Piatoo ditemani bergelas-gelas kopi juga menu cerita dan tawa renyahnya. Aku menikmati kedekatan kita. Kupikir hanya aku yang berhak atas cintanya. Tapi tak mampu meraba berbagai kemungkinan rahasia yang kau simpan atas nama Aria.
“Apa ini yang pertama dalam hidupmu?”
Aku mengiyakan. Lalu ia menusuk mataku dengan tatapan manjanya yang lagi-lagi membuatku ingin menghujani seribu kecupan baginya. Mata elang sesungguhnya selalu akan luluh dibawah purnama. Esoknya ketika kesadaranku pulih, aku membatin, tak ada Aria disini. Kamar hotel Agoda ini adalah jawabannya bahwa Ilona lebih memilih aku.
Kelak aku salah dan kalah, tapi tak punya waktu untuk meralat. Aku yang dikhianati dan keburu sekarat.
***
“Bumi, mau gak besok malam aku ajak nonton tarian Flamenco bersama Angela Lopez di Lembaga Indonesis Perancis? Jam 18.00 dibawah purnama. Kau mungkin menyukainya.”
Sebuah pesan dari Mariana teman kantorku.
“Oke. Dengan senang hati, Mar. aku jemput jam 17.00 yah?”
Besok malam, tak ada lampion yang memagut langit Borobudur. Tak ada yang mencuri hati purnama. Tak ada lagi pertemuan dengan Ilona.
Gang Wora-Wari, 21 Mei 2011
______________________________
Daksina: timur (Sansekerta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...