Kamis, 19 Mei 2011

Mencinta Indonesia Tanpa Batas

Sore ini di sebuah studio tamaram ketika film baru saja dimulai, tiba-tiba saja saya berpikir, saya cinta Indonesia. Tak muluk-muluk. Meski mencinta dengan sedih.

***
Pada akhirnya saya harus berpisah dari teman-teman yang lebih memilih film Source Code hari ini ketimbang film Batas produksi anak negeri sendiri. Tak mengapa. Belakangan ini ditengah keranjingan saya menonton sinema-sinema Perancis dan Jepang, toh saya pun gak lupa untuk terus mengapresiasi pencapaian yang sudah, sedang dan terus digalakkan segelintir sineas tanah air yang selalu hadir dengan idealisme, kreativitas dan sedikit sensitivitas akan nilai pluralisme dan kebangsaan yang cukup mumpuni. Sedikit saja golongan sineas macam ini makanya harus saya dukung kuat-kuat. Sebisa mungkin saya akan menjadi orang pertama di hari perdana pemutarannya, lima belas ribu rupiah untuk mendukung film yang benar-benar Indonesia dan berkualitas.

Seperti sore ini di salah satu studio bioskop jaringan dua puluh satu, saya menikmati Batas. Saya tak salah pilih. Okelah bahwa dari sekian puluh produksi film per tahunnya di negeri ini sebagian besar memang sejenis film gak penting dan sedikit saja film yang penting, film yang benar-benar menghibur, mendidik, mencerahkan, film yang tak meninggalkan jatidiri bangsa. Mungkin benar kata pepatah, biarlah yang gak penting itu ada supaya yang penting tetaplah menjadi penting. Dan bahwasannya Batas sore ini membuat saya berpikir karena film yang baik adalah film yang membuat orang berpikir setelah menontonnya. Saya suka film yang selalu bisa membuat saya berpikir, seperti Batas ini.

Puji Tuhan bahwa hingga detik ini Indonesia masih gak kehabisan film-film penting tadi. Seperti yang saya lihat sore tadi di ruang tunggu 21, ada tiga film yang penting disana, diantara dua film gak penting yang diputar hari ini. Ada film Tanda Tanya (?) tentang plurasilme dan harmoni antar agama, tentang Indonesia yang sesungguhnya.  Ada juga film The Mirror Never Lies, tentang Wakatobi surga laut  Timur Indonesia yang terlupakan, dengan wajah indah suku Bajo, satu dari sekian ribu suku bangsa yang mewarnai peradaban Bangsa ini. Dan Batas yang saya tonton hari ini melengkapi rasa cinta saya akan Indonesia paling tidak sebulan belakangan ini.
Jika ingin berpaling kebelakang untuk melihat betapa sinema-sinema Indonesia sudah memperkaya hati dan wawasan kebangsaan saya, maka saya tak akan lupa dengan serial Anak Seribu Pulau (1996) yang pernah digagas seorang Garin Nugroho. Dulu saya begitu mencintai serial itu dan rela menumpang nonton di rumah tetangga karena saya tak punya televisi waktu itu. Dari sebuah kecamatan terpencil di pedalaman Timor, hati kecil saya waktu itu begitu antusias melihat kehidupan anak-anak lain seusia saya dari berbagai pelosok negeri ini. Siapa sangka ada anak dusun dari Timor seperti saya ini sejak SD sudah begitu ngefans berat sama Garin Nugroho. Saya ingat betapa Garin begitu mendekatkan hati saya pada Sumba di film ‘Surat Dari Bidadari”, meski sebenarnya Sumba terlampau dekat dengan Timor, ketimbang dengan rumah Garin di Jogja, misalnya. Semua film yang ia buat tak ada yang tak Indonesia, semuanya punya akar Indonesia. Ia punya Opera Jawa, ia menggambarkan Bali di Under The Tree atau mengukir Papua di film ‘Izinka Aku Menciummu Sekali Saja”.

Dari sineas-sineas PENTING selain Garin, ada nama Riri Riza yang mengenalkan Belitong pada kita lewat Laskar Pelangi, ada Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen yang membawa kita berpetualang ke Papua (Denias), ke Timor (Tanah Air Beta) dan sebenatar lagi ke Sumbawa (Serdadu Kumbang). Atau ada nama Rayya Makarim dengan produksi Jermal, tentang anak-anak nelayan yang hidup di tengah lautan lepas Sumatera. Ada banyak sekali hingga yang terakhir ini, cerita dari Kalimantan yang coba dilirik sineas Rudi Sudjarwo dan Marcela Zalianty.

Akhirnya, Kalimantan! Pekik saya dalam hati. Isu yang diangkat kali ini gak tanggung-tanggung, menyoal kelompok saudara kita yang di pedalaman Kalimantan yang sebenarnya seperti terasing di negerinya sendiri. Fakta hari ini mengatakan bahwa mereka seolah lebih mendapat penghidupan dari negeri tetangga ketimbang dari negeri sendiri. Film ini dibuka dengan kalimat yang membuat saya berpikir dalam.

Jaleswari: “kenapa hutan di depan sana banyak yang gundul?”
Sopir: “akan dijadikan perkebunan”
Jaleswari: “pantesan, makin panas saja disini. Perkebunannya siapa?”
Sopir: “punya orang kotalah, mau siapa lagi kalau bukan miliknya orang-orang dari Jakarta sana.”
Jaleswari: “(mengumpat) dasar, rakus!”

Bukankah itu fakta sekaligus lagu ironi hari ini? Boro-boro mikirin bahwa tanah Borneo adalah paru-parunya dunia! Boro-boro mikirin disana itu rumahnya orang utan. Apalagi mau mikirin orang-orang asli Kalimantan yang kian tersisih di tanah mereka sendiri. Mungkin film ini mau bilang kalau “Jakarta’ menjadi simbol orang-orang yang gak tahu apa-apa tapi bisanya menindas. Tempatnya segelintir orang yang rakus berada, tempat segelintir (atau banyak?) orang yang sibuk ngurusin diri sendiri dan mungkin gak tahu ketika ditanya:
“Tau Entikong gak?”
“Gak tahu. Yang bau banget di mulut kan?”.
“Itu mah jigong mas. Dasar, geblek!”

Mungkin karena sudah kepenuhan gedung pencakar langit makanya makin budeg dan egois kali? Ho ho ho, jangan lupa di Jakarta mau dibangun tempat kerja DPR ratusan milyar tapi lupa bahwa di Entikong anak-anak gak sekolah. Percayalah ada Entikong-Entikong lain yang gak terjamah di negara ini. Tapi saya juga percaya bahwa gak semua orang Jakarta begitu, salah satunya tokoh Jaleswari dalam film Batas ini.

Tiba-tiba saya ingat adegan ketika Kepala Suku (diperankan dengan apik oleh aktor Piet Pagau) menohok habis hati Jaleswari sebagai ‘orang Jakarta’ yang awalnya berlaku tak sopan saat si ketua kampung yang digambarkan asli suku Dayak sedang ‘berkomunikasi’ dengan sang Pencipta lewat pohon besar yang akan diambil kulitnya untuk dijadikan obat tapi Jaleswari malah asyik memotret.

“Jika anda tak bisa menghargai kami dan alam semesta ini, maka silahkan  pergi jauh dari sini..”
Suatu kritik yang hampir mirip dengan yang  pernah dilontarkan oleh Ayu Utami di novelnya Bilangan Fu.

Film Batas memang bukan film yang sempurna. Ada beberapa kekurangan dalam hal teknis (misalnya soal tata suara dan teknik kamera handheld). Tapi harus saya akui dan apresiasi usaha yang sudah mereka lakukan. Marcela Zalianty makin mencuri hati saya he-he-he. Ia sempat ingin membuat film Lastri tapi keburu ditolak karena dituduh berbau PKI! Kadang saya berpikir, yang membuat kita gak maju dan makin terpuruk itu bukan dari luar lho, dari sesama warga sendiri malah. Saya paham bahwa otak mereka mungkin sudah kadung kotor karena keseringan dicecoki pemahaman yang keliru terkait PKI oleh rezim sebelumnya. Yang akhirnya hanya mampu memahami sesuatu secara sepotong-sepotong, filmnya belum dibikin sudah keburu dicekal. Kapan kita dewasa????

Film ini menjadi menarik karena sepertinya ada usaha keras aktris Jajang C Noor dan aktor Piet Pagau dalam berbahasa Dayak dan berhasil. Seperti keberhasilan berbahasa Bajo yang ditunjukkan juga oleh aktris Atiqah Hasiholan di film The Mirror Never Lies. Di Batas kita pun bisa melihat akting Arifin Putra dan Micell Dommits yang mukanya sangat familiar, bagi anda yang pernah melihat iklan kopi tora bika, mungkin akan familiar dengan kalimat ini “sayang, yang spesial yah?" *Sambil mengangkat dua jempolnya*

Salah satu adegan yang menurut saya adalah klimaks dari film Batas adalah ketika mata indah Jaleswari yang putus asa karena baru saja diteror, berkaca-kaca dipundak Borneo kecil, tiba-tiba lagu ‘Batas Tak Terbatas dari suara emas Iwan Fals mengalun seolah menawarkan kembali semangat perjuangan Jaleswari. Wuih, sontak saya merinding. Melodinya mantap juga liriknya yang ditulis aktor Slamet Rahardjo. Lagu ini jadi ruh buat film Batas.

Sendiri menanti pagi
Setitik embun bergantung di ujung daun
Sang dara melamun
Mimpi menelan matahari

Reff :
Suci embun segar perawan
Bergaun cahaya
Melintas batas
Ambisi dan kenyataan
Melambung tinggi, jauh
Ke alam impian

Bridge :

Dimana sungai dan pepohonan
Berkelindan menganyam kehidupan

****

Apapun itu, Batas sudah mengajarkan saya untuk lebih mencintai Indonesia yang luas dan beraneka ragam. Dari Batas, saya bisa melihat kehidupan sesama warga Indonesia di belahan barat Kalimantan. Terima kasih buat sedikit sineas yang bikin film bertema Nasionalis seperti ini menjadi PENTING. Saya percaya (lagi-lagi) bahwa ada film yang gak penting dibuat agar nama Garin Nugroho atau Marcela atau Riri Riza atau Joko Anwar atau Nia Dinata atau Lola Amaria, dll menjadi tetap PENTING dalam kancah perfilman tanah air.

Indonesia, yg masih saya cinta dengan sedih, karena kasus korupsi gak ada habis-habis juga....

Jogja, 19 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...