Senin, 07 Februari 2011

Tentang Sebuah Pertautan Rasa


: Untuk Soe Hok Gie

Dua jam sudah aku mengenalmu.
Mungkin cuma sedikit
Tapi cukuplah untuk kutuliskan sesuatu untukmu.
Mencoba mengawinkan rasa rasamu, rasaku, rasa kita

***
Lima tahun lalu, seseorang yang kukenal baik
merangkai gambar hidup tentangmu
Yang kulihat tanpa kupahami. Butuh lima tahun untuk sampai
pada momen dua jam yang lalu, masih dengan
gambarmu yang sama. Tak pernah berubah


Rasanya seperti disebuah lembah asing, aku sedang
kesakitan dan mega-mega senja sedang bermain warna.
Dua hal yang sama kunikmati dengan cara, kebiasaan dan kebisaanku
Sebagaimana kau pun gemilang memaknai jiwamu:

suatu siang ketika aroma pergolakan mulai menyeruak ke
seantero kota dan sempat menyelinap pula ke dalam rumahmu,
pada sebuah lemari usang milik ayahmu. Bagaimana
sebuah perang batin hanya mampu ditumpahkan dalam
sebuah buku merah. Itu yang kau curi dan kau baca diam-diam
diatas genteng yang berlatar senja dan menara masjid yang
hadir berkali-kali, seolah memaksa mata hatiku untuk jujur.
Entah untuk siapa dan pada siapa.’

Soe, persis ketika kau melewati lorong dan
mengambil dua helai daun kering dan menitipkannya
pada tanah, pada akar, bolehlah kemudian kubaca
ulang kalimatmu itu: ‘lebih baik diasingkan daripada
menyerah pada kemunafikan’ seperti menggema di lorong sebelah
tapi dengan sigap pula selalu disumpal penguasa hitam

Kuulangi lagi.
Rasanya seperti di sebuah lembah asing, kau
menumpahkan gelora batinmu
Dan kuresapi baik-baik,
asap dan sepi. Hutan dan gunung.
Edelweis dan gelora jiwa yang menyatu dengan asap,
membumbung menyentuh sepi yang dalam dan kau
terus menulis.
Seolah pada saat yang sama memoriku menari diantara
suaramu yang mendesir ramai seperti di hutan bambu,
Atau riuh hatimu yang bergelora diatas tuts-tuts
mesin tik: keadilan dan kesejahteraan hidup adalah
hak semua orang, kesewenangan pemimpin haruslah dilawan!


***
Soe, hanya darimu,
Cakrawala berpikir yang luas tak terbatas yang
mampu memerdekakan jiwa
Seperti caramu, atau caraku ketika menulis
sepotong perasaan ini
Kita takkan menanam apa-apa,
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa,

***
Kita takkan pernah bertemu
Tapi kita layak memerdekakan jiwa kita

***


(ketika anjing hitam di rumahmu takkan lagi
mencium jejak kedatanganmu
Hanya karena semua hal yang memerdekakan
jiwa telah menetas kedalam partikel-partikel di
segala sudut mahameru
Hari ini aku melihat gambarmu dan menulis
ulang tentang sebuah pertautan rasa kita,
Aku hanya kembali harus merasa bahwa hingga
66 tahun merdekapun semua keresahanmu masih
jadi keresahanku dan kenyataan-kenyataan pahit!)

***
Soe, bagaimana dengan cinta?

Jogjakarta, 5 Februari 2011
(hanya ingin menulis apa yang bisa ditulis setelah nonton film Gie, by Riri Riza. Itu saja!)


gambar Soe Hok Gie dari www.dedehsh.wordpress.com 

2 komentar:

  1. menurut saya(meski tak perlu mengatakannya), tulisan ini sangat bagus,
    aku bisa merasakan kata-katanya bermetamorfosis menjadi jalan setapak ke lembaran-lembaran catatan Soe,

    BalasHapus
  2. terima kasih mbak untuk komentarnya...salam kenal.

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...