Bagi saya yang sudah lebih dari 4 tahun belajar ilmu psikologi lalu menonton film ini rasanya seperti sedang di awal semester dan sedang mempelajari psikologi perkembangan anak via ‘kitab wajib’ seperti life span developmentnya pak Santrock atau versinya ibu Hurlock. Menonton ataupun mempelajari teori psikologi perkembangan anak sama menariknya. Terutama bagaimana ilmu psikologi yang universal dan humanis merangkum rentang perkembangan anak di berbagai lingkungan fisik dan budaya yang beragam akan menghasilkan keunikan fisik dan psikologis anak yang berpadu menjadi sebuah karakter yang unik dari seorang anak.
Babies berhasil memotret perkembangan 4 anak dari 4 negara berbeda, mulai dari masa kehamilan ibu, melahirkan, hingga pola asuh di masa bayi. Bagaimana pula lingkungan fisik, kebudayaan atau adat istiadat, dsb, turut mempengaruhi perkembangan seorang anak. Meski sebenarnya ada satu benang merah besar yang digambarkan, misalnya kesamaan dalam hal tugas perkembangan anak- seperti kapan anak mengoceh, kapan anak merangkak, kapan anak berjalan, dsb. Tapi lebih dari itu, sungguh luar biasa bahwa lingkungan dan sosial budaya bergitu besar pengaruhnya bagi perkembangan anak itu sendiri.
Menarik ketika kita diajak mengenal kehidupan anak di salah satu suku terunik di Namimbia, Afrika. Anda pasti bisa membayangkan sendiri kehidupan orang Afrika yang bukan saja kuat tradisinya tapi juga dengan kondisi alam Afrika yang tentu saja akan menjadi tantangan tersendiri bagi seorang anak yang lahir disana. Lantas digambarkan bergantian, potret seorang anak di sebuah peternakan di dataran tinggi Mongolia yang kondisinya serba terbatas tapi lebih mendingan ketimbang di Namimbia. Misalnya saja, digambarkan tokoh ibu dari anak Mongolia ini masih mendapat akses memeriksakan diri sekaligus melahirkan dengan bantuan tenaga medis.
Kemudian potret anak di lingkungan yang lebih modern seperti di Tokyo, Jepang dan di California Amerika. Bukan saja akses kesehatan yang lebih baik, digambarkan pula keduanya bisa juga mendapat akses pendidikan yang lebih baik (seperti disekolahkan di playgroup misalnya). Begitulah potret keempat anak ini digambarkan dengan cara yang paling alamiah, karena film ini sendiri digarap dengan teknik dokumeneter yang memungkinkan menangkap banyak wajah anak yang alamiah, polos dan penuh spontanitas. Rasanya membutuhkan waktu produksi yang cukup lama dengan dana yang besar. Bayangkan saja tim produksi harus mengambil gambar sejak ibunya hamil hingga sang anak berusia setahun. Karena ini dunia batita, yang pasti situasinya gak bisa dikontrol dan dimanipulasi, saya rasa kamera sang sutradara akan dinyalakan setiap waktu sambil menunggu keajaiban-keajaiban bermunculan dengan sendirinya.
Mungkin ada banyak gambar menarik, tapi yah namanya ini film yang punya batasan durasi, semua harus dipilah-pilih yg terbaik. Editor film ini bagi saya telah sukses menyambungkan 4 keping cerita dari 4 tokoh berbeda, dengan benang merah yang pas merahnya sehingga asyiik banget buat ditonton. Rasanya pengen lebih dan lebih. Pengalaman saya berikut mungkin adalah sedikit jawabannya: gak seperti biasanya saya nonton bioskop dan hampir 90 persen penontonnya gak beranjak dari tempat duduknya hingga credit titlenya berakhir. Ini hanya karena kehebatan sutradara(Thomas Balmès) menyertakan potongan gambar yang mungkin dianggap ‘ah sayang kalau dibuang’ meski posisinya cuma di ending dan beriringan dengan credit tittlenya. Momen seperti ini pun pernah saya alami ketika nonton film dokumenter Perancis tentang global warming yang juga memotret salah satu dampaknya di hutan Kalimantan.
Pada akhirnya, ada satu gambaran besar dan menarik dari sekian banyak yang menarik dari film ini, yakni bagaimana kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan psikoligis anak. Jelas sekali anak Namimbia dan Mongolia, yg notabene berada di lingkungan fisik (alam) berikut tradisi budayanya yang ‘keras’ turut mempengaruhi mental anak yang lebih ‘tahan banting’, yang lebih strong, cepat lolos dalam ‘seleksi alamiah’ mereka. Misalnya, keseringan melakukan trial and eror secara
mandiri yang bagi saya justru banyak memperkaya (baca: menstimulasi psikis dan fisik mereka) ketimbang anak perkotaan (Tokyo dan California), yg selalu ditemani main dan dijaga dengan hati-hati. Hasilnya, jelas bahwa anak Namimbia dan Mongol jauh lebih adaptif dan lincah. Misalnya saja anak Namimbia yang selalu telanjang dan sering dikerubuti lalat tapi gak pernah sakit, aktif mencoba apapun yang ada disekitarnya bahkan cenderung mendapatkan insight dan problem solvingnya secara mandiri. Atau anak Mongol yang aktif bereksperimen dengan tisu, kucing, anjing, sepeda butut, dll. Jelas terlihat anak pedalaman sejak kecil karena keterbatasan yang ada menjadikan mereka bolang sesungguhnya. Melakukan serangkaian trial and eror sampai menemukan kebenaran atau kesalahannya secara mandiri. Sungguh sebuah petualang dalam hidup yang menyenangkan.
Entah bagaimana selanjutnya hidup mereka kini dan kedepannya. Rasanya menarik jika seandainya ini menjadi sebuah proyek riset yang panjang, bukan saja hingga usia setahun tapi hingga remaja misalnya, untuk melihat keajaiban-keajaiban hidup lebih lanjut. Pasti akan sangat menarik tapi tentu saja mahal dan gak pasaran banget krn akan lebih cocok di tonton dlm ruang kuliah daripada di gedung bioskop. Sama ketika Babies ini diputar di jaringan Empire Cineplex Jogja, banyak sekali kursi kosongnya. Waktu itu cuma saya dan sekitar 12 penonton lain yang setia menertawakan hampir semua perilaku bocah eksotik dari Namimbia, Panijao.
Selamat menonton (berburu DVDnya)!
(gambar:www.sarahmorrsi.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...