Ini oleh-oleh cerita saya saat plesiran ke Flores. Yah, paling gak, ada benernya saya melakukan perjalanan kesana, ada tujuannya, ada hasilnya lebih dari sekedar saya jalan-jalan doang. Ketemu dan bersilahturahmi dengan keluarga jg teman, sudah pasti. Berziarah ke makam leluhur, sudah. Pada akhirnya memang ada begitu banyak cerita, pengalaman dan inspirasi baru yg bisa saya petik, ambil. Mungkin cerita berikut salah satu contoh kecilnya (selain ada sekian banyak cerita laiinya, yg pengen saya tulis, tp entah kapan semangat itu ada, maka saya simpan saja kata kunci sebagai pengingatnya sambil menunggu kapan saya benar-benar ingin menulis dengan hati).
***
Tentang kebudayaan, saya rasa semua orang akan menempatkanya pada posisi terntentu dalam hidup, sebagai junjungan. Ada nilai dan perilaku tertentu di dalamnya yg kemudian akan menjadi sebuah tradisi lestari. Nilai dan perilaku yg positif juga humanis tentunya. Ada banyak nilai dan perilaku manusia yg lahir dari produk kebudayaan yg kemudian dalam perkembangannya mengalami perubahan, pergeseran makna, dll, itu bisa dimaklumi karena jaman jg terus berubah. Manusia pun makin dituntut untuk terbuka dan fleksibel. Ada proses pembaharuan tentunya dengan jalan yg adil, arif dan bijak. Sebagaimana produk kebudayaan itu lahir karena kearifan dan kebijakan makhluk bernama manusia. Oke, kita langsung saja ke intinya…
***
Saya datang dr keluarga yang multikultur: bapak saya dan keluarga besarnya dari Flores, dengan tipikal-karakter dan cara hidup atau nilainya sendiri, mama saya yang komplit dengan kejawennya (kejawaanya) namun bisa kental juga dengan kebudayaan Timor. Semua berpadu, berproses menjadi sebuah inkulturasi baru yang unik. Ada titik dimana, ‘keegoisan’ sebuah tradisi bagian keluarga bisa di’netralisir’, dipadu-padankan dengan nilai tradisi bagian keluarga lainnya menjadi sebuah produk baru, nilau baru yang lebih fair, lebih bijak, bisa masuk kesegala lini tanpa memaksa. Ada proses yang membuat sesuatu nilai yang dianggap kaku menjadi lebih fleksibel, tentunya tanpa harus menghilangkan makna dasarnya. Bukannya mau sombong, tapi itulah poinnya, ketika ada dua atau lebih kebudayaan bisa dipadu-padankan dengan selaras, sesuai kebutuhan jaman tapi jg tidak meninggalkan nilai dasarnya. Saya rasa ini menjadi hal yang kerap dialami semua keluarga manapun di Indonesia. Dan saya punya ceritanya sendiri. Punya anda?
***
Ketika ke kampung bapak saya, tante-tante (saudari kandung bapak saya) banyak mengeluh ke saya. ini terkait masalah gender. Anda taulah. Tante saya yang berusia diatas 50 tahun, bisa saja ‘ditekan’ keponakannya, hanya karena keponakannya adalah anak dari kakak sulungnya, yg kebetulan jg adalaha laki-laki. Waow. Dalam hati kecil saya: gak bisa juga yah, anak tetap anak yang harus respek dan hormat sama tante yg notabene orang tua, jauh lebih umurnya, gak penting dia laki-laki atau dia perempuan. Kembali lagi, pandangan kita beda. Ini karena saya sudah lahir besar di tempat lain, bersekolah, dsb. Andai keluarga saya jg terkurung di kampung itu, mungkin nasibnya akan sama, menekan dan ditekan orang lain dlm wujud adat, tradisi. Oke, ini sudah 2011 dan nilai-nilai saudara-saudara saya di kampung yg belum dialiri listrik itu mungkin spt nilai-nilai kebanyakan org Indonesia di tahun 60 atau 70 kali yah? Entah. Ini baru satu contoh. Oke, ini bukan contoh yang baik. Dan saya memakai contoh keluarga saya. gak apa-apa dr pada saya memakai contoh orang lain. Biarpun saya dicap anak kualat, tapi ini demi perubahan, meski yg bisa saya lakukan kini hanya menulis dan membagikannya untuk kalian, teman-teman baik saya.
***
Ada cerita, 2 orang saudari sepupu saya, karena memilih untuk menikah dengan orang sekampung dan menetap di kampung yang sama, maka bisa dipastikan mereka akan kesulitan untuk berkembang/mengembangkan diri. Saya prihatin. Tapi itu pilihan mereka. Tantangan berat memang utk hari ini memilih tinggal di kampung, saya kira, entah di flores, di sumba, di timor, dimanapun, ada banyak tradisi kaku dan kolot yang kadang sudah gak logis untuk ukuran abad ini. Dua sepupu saya itu puluhan tahun hidup tanpa kasih sayang dan dukungan materi dari ayahnya yg kabur merantau ke Malaysia lantas menikah lagi disana. Tapi, ketika ayahnya meninggal dunia, ada tradisi yang mengharuskan dua sepupu saya ini membayar sejumlah uang ke om-nya (pihak laki-laki dong). Uangnya gak sedikit. Dan itu berat bagi dua sepupu sy yang notabene petani. Dan ‘si Om’ ini, yah karena duit, dikasih tanpa harus ngapa-ngapain, siapa yang gak mau sih? Saya jadi ingat, tante-tante saya selalu protes karena nasib miskin mereka kini, karena dulu mereka tidak diijinkan sekolah, yang boleh cuman saudara laki-lakinya saja. Seorang tante saya protes, ‘itulah kenapa bapakmu jadi Polisi. Coba dulu saya sekolah, mungkin jg bisa jadi guru!’. Oke, mereka sudah merasakan pahitnya, dulu. Tapi kini, tahun 2011, anak-anak perempuan mereka juga masih saja merasakan nasib yang sama seperti mereka. Betapa tradisi itu sudah mengakar. Maka, dua sepupu saya tadi akhirnya ngutang! Om-nya senang, dapet duit buat modal merantau ke Kalimantan.
***
Karena bapak saya sudah lama merantau ke Timor, menikah dgn mama saya, tentu ada banyak nilai yang sebelumnya kaku bisa jd fleksibel dan ketika melihat problem2 tente saya, sedikit ada pembandingnya. Bapak saya bilang, dulu beliau sudah membawa banyak saudara (anak kakanya atau adiknya) untuk tinggal dan bersekolah di Timor, dengan harapan ada wawasan baru, pola pikir baru, kalau bisa sekolah dan dapat kerja juga dapat jodoh. Itu akan memperluas wawasan dan mengembangkan diri ketimbang pulang ke kampung dan terkungkung dengan tradisi yang ada. Kalaupun sudah sukses dan ingin pulang kampung, paling tidak sudah ada wawasan baru yang bisa dicontohkan ke saudara lainnya di kampung supaya berubah. Kenyataanya banyak yang sesuai impian bapak saya. Menikah dari suku berbeda, atau sesuku tapi beda kampung. Tapi gak sedikit juga yang lebih suka pulkam dan membiarkan tradisi tadi menekan seolah itu sudah ‘takdir hidupnya’. Apalagi jika anda anak perempuan. Mendadak mata om, bapak besar (pakde), dan saudara laki-lakinya spt gambar duit. Sangat materialistik. Ada banyak ‘aturan’ menempatkan orang sebagai budak uang, ternak, kain tenun ikat, gading, dll. Dan lebih banyak yang ditekan dgn posisi ini adalah perempuan.
***
Kita langsung menuju ke sumber masalah besar lainnya, materi.
Ketika mampir ke rumah pakde saya di Geliting-Maumere, bude beserta dua anaknya mengeluhkan ke saya, spt ini: kebetulan dua bulan yang lalu di kampung itu ada banyak acara pesta komuni pertama jg keluarga yang menikah. Ada tradisi, yang diundang akan menyumbangkan materi ke tuan pesta (materinya bisa berupa uang, kain tenun-yang harganya diatas 2 ratusan ribu, ternak-kuda, babi, sapi, atau kerbau). Akan dicatat oleh tuan pesta, sehingga kelak saya yang pernah diundang bikin pesta, mereka akan menyumbang balik dengan nilai yang setara atau lebih. Jika lebih maka kali berikutnya saya harus ‘memaksa’ diri untuk mencapai kelebihan itu. Begitu terus. Kata kakak saya, dua bulan lalu ada pesta nikahan dan komuni pertama keluarga, dia kehabisan duit 3 jutaan (sebenarnya modal bikin rumah) plus 7 lembar kain tenun dan beras! Katanya, tahun sebelumnya saat bikin pesta, ada yang nyumbang sejuta (dan dia mengaku gak bisa nolak), nah kini saat si penyumbang dulu bikin pesta, mau gak mau dia harus nyumbang minimal sama dengan sumbangan dulu, sejuta. Begitulah ‘transaksi’ ini berjalan, berputar, dan semakin tinggi nilai nominalnya. Tapi pada kenyataan yang sama kondisi perekonomian keluarga gak sebegitu meningkat. Malah bisa dikatakan stagnan! Yah, misalkan saja saya PNS yang gajinya 2 juta sebulan untuk seabrek kebutuhan keluarga, eh disisi lain, nilai transaksi/sumbang menyumbang antar keluarga sudah berkali-kali lipat naiknya. Gak heran yang ada utang piutang terus.
***
Hmm. Ada banyak nilai luhur dan positif di masyarakat kita, tapi makin kesini, dua problem diatas makin memprihatikan juga, terutama soal materialisme td. Sebenarnya hal yang sama mirip saya lihat di Jawa kok, yang nyumbang akan didata. Yang kemudian berkembang hingga kini, gratifikasi di kalangan politikus atau pejabat pemerintah atau swasta. Itu juga, kenapa ada aturan parcel Natal dan Lebaran dikalangan tertentu dilarang. Entah di daerah lain. Tapi saya kok menduga, mungkin inilah jawabannya kenapa kita ini miskin terus. Upah dari kerja gak sebanding dengan pengeluaran untuk tetek bengek ‘tradisi’ tadi. Jalan keluar lainnya kalo gak ngutang ya curi, korupsi. Yah kita bangsa yang tinggi angka korupsinya.
***
Ada yang lucu dengan cerita teman kakak saya yang kebetulan orang luar Bajawa dan bertugas di Bajawa, dulu dia sempat kaget. Saat kerabat teman kantornya meninggal, dia datang dan menyumbang (yang murni utk membantu, gak maksud didata lalu dibalas). Eh, pas hendak pulang sudah ada yang pengantar yang membawa potongan daging gede banget. Dia kaget dan menolak tapi ditepis, ‘ini adatnya’. Yah sudah. Begitulah pola-pola seperti itu berlaku. Entah pada peristiwa pernikaha, kelahiran, kematian, komuni pertama, dll, sama saja maksud, tujuan dan proses tetek bengeknya. Ujung-ujungnya: MATERI adalah segalanya.
***
Tradisi-tradisi spt ini yang bagi saya seharusnya bisa lebih realistis, gak kaku tapi fleksibel. Artinya mempertimbangkan juga sikonnya. Arif dan bijak dalam menyikapi perubahan zaman versus nilai tradisi leluhur itu sendiri. (Christian Diky Senda)
Kapan, 6 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...