Selasa, 15 Desember 2009

Cerita Ayah Tentang Marga Ibuku, Kamlasi...

Perkenalkan namaku orang asing. Seorang yang ibarat baru jatuh dari langit dan lupa akan sejarah masa lalunya. Aku hanya ingat bahwa di dunia baruku, aku adalah berbeda. Aku adalah orang asing. Aku si kulit putih, seorang kolonial Belanda yang pada suatu siang terik terdampar sendirian di pasir putih laut selatan Timor. Aku masih ingat bahwa aku terdampari disana bukan karena terjatuh dari ‘pesawat’nya alien melainkan aku baru saja mengalami kecelakaan laut, bersama keluarga dan rekan kerjaku, saat ekspansi ke laut Timor baru dimulai.

***
Pasir putih yang panas ini benar-benar membangunkanku dari tidur yang panjang dengan perut yang penuh dengan air garam. Ini membuat lemas dan pening. Aku dimana?
Seperih apapun hidup kini aku harus bangun, mencari pertolongan. Aku ingin memuntahkan air garam yang memenuhi rongga perutku lalu mengisinya dengan air putih, sirup atau wine? Ah air kelapa saja. Ada beratus-ratus pohon kelapa di depanku.

***
Suatu malam ayah dengan lancar menceritakan sejarah nenek moyang ibuku. Sungguh aku takjub betapa ayah begitu fasih menjelaskan. Aku juga tahu ibu pun selalu fasih menceritakan sejarah leluhur ayah. Saat itu aku masih kelas 4 SD dan kami baru saja mengalami kedukaan karena kematian ayah dari ibuku, kakek kandungku. Soleman Kamlasi, si pensiunan tentara KNIL yang memperistrikan seorang wanita Magelang.

Ayah bercerita bahwa leluhur ibu mempunyai tetesan darah Belanda. Tidak ada kepastian yang jelas namun kemungkinan ibuku adalah generasi ke-enam dari marga (orang Timor mengenalnya dengan kata ‘fam’) Kamlasi. Yah, Kamlasi perdana yang konon adalah seorang Eropa, berkulit putih, bermata biru, tinggi semampai dan berambut emas. Seorang yang bernama ‘orang asing’ saat ditemukan telanjang di atas pohon kelapa milik salah satu suku di wilayah Amanatun, di pesisir selatan Pulau Timor. Konon si orang asing yang ditemukan warga di atas pohon kelapa hanya mampu berteriak, ‘komen..komen…hulp ja’ (mari-mari…tolong saya).

Singkat cerita si orang asing dibawa ke ketua suku dan melewatkan sebuah sidang. Sidang untuk orang asing yang ketangkap basah mencuri kelapa warga. Manusia bertinggi lebih dari 180 cm yang mempunyai kulit dan rambut yang sangat kontras dengan kulit dan rambut semua warga.
Dia, si orang asing inilah yang kemudian dinamai Kamlasi, diterima dengan baik dalam kampung itu lalu akhirnya dinikahkan dengan seorang dara Timor asli. Kamlasi yang kemudian diangkat menjadi panglima perang, melahirkan Kamlasi baru yang tak kalah tangguhnya. Makal jadilah generasi Kamlasi yang dipercayakan kerajaan Amanatun sebagai panglima perang. Keturunan Kamlasi yang terkenal akan keberanian dan sifat kepemimpinannya.

Sungguh cerita ayah ini membuat aku bangga. Sekaligus membayangkan betapa hebatnya Bapak Kamlasi itu.

***
Aku adalah Kamlasi junior keturunan ketiga dari si bule kesasar, kakek kami. Aku sang pemburu ulung, tinggi semampai, berbadan tegap dan ganteng pula. Ini karena perpaduan darah Timor dan Belanda dari kakekku.

Saat ini hubungan antar beberpa kerajaan tetangga sedang memburuk. Perang saudara terjadi karena saling berebut tanah untuk memperluas daerah kekuasaan. Pun antara kerjaan kami, Amanatun dengan kerajaan tetangga Amanuban. Hubungan yang lebih baik justru dengan tetangga jauh kami, kerajaan Mollo nun dilereng gunung Mutis sana.

Suatu ketika, raja mengutusku dan dua panglima perang lainnya untuk pergi ke kerajaan Mollo, menjemput salah satu warga kami yang sempat menjadi tahanan musuh namun kemudian meloloskan diri dan pergi ke kerajaan Mollo untuk meminta bantuan. Sulit memang karena untuk sampai ke tanah Mollo kami harus melalui wilayah musuh. Mungkin hanya kamilah orang yang dipercaya raja akan mampu mengatasi masa-masa sulit tersebut dan kembali ke kerajaan Amanatun dengan selamat.

***
Kata ayahku, dahulu jalan yang paling sering digunakan adalah memalui jalur sungai untuk sampai ke tanah Mollo. Tentang Kamlasi muda yang mendapat tugas ke Mollo, ayahpun melanjutkan ceritanya:

Butuh berhari-hari untuk sampai ke Mollo. Sesampainya di Mollo ketiga prajurit pemberani itu langsung menghadap ke raja, mengucapkan terima kasih sekaligus memohon ijin untuk membawa pulang saudara mereka yang sempat menjadi tawanan musuh. Namun oleh sang raja disarankan untuk beristirahat dulu beberapa hari sebelum akhirnya harus kembali pulang ke Amanatun. Akhirnya saran itu diamini ketiga prajurit tersebut.

Seperti biasa perlakuan untuk tamu penting kerajaan adalah dengan menyediakan seorang gadis belia sebagai pelayan khusus selama tamu-tamu menginap. Masing-masing mendapat satu pelayan wanita yang harus melayani apapun permintaan sang tamu termasuk untuk menjadi teman tidur.

Singkat cerita, terjadilah sebuah hubungan spesial antara Kamlasi muda dengan gadis Mollo tadi, Toto. Cinta yang kemudian menambatkan rasa juga raga sang pemuda, katanya, ‘pulanglah wahai sahabat-sahabatku, katakan pada raja kita bahwa aku masih menetap di Mollo untuk waktu yang tak tentu sambil meyelesaikan waktuku dengan peri cantiku. Nanti aku akan menyusul jika ia benar-benar menjadi istriku.’ Kata Kamlasi muda. Maka pulanglah kedua prajurit itu ke tanah Amanatun, meninggalkan sang jejaka yang terlanjur dimabuk asmara.

Pernikahan pun dilangsungkan dan tak lama kemudian lahirlah seorang anak laki-laki gemuk, putih da berambut keemasan. Le’u, aku memanggilnya. Yang sulung dan perkasa. Yang bercahaya dan disegani. Le’u Kamlasi yang kemudian beristrikan Takesan, menetap di kampung Mnesat Anin, lembah yang subur, dilalui anak sungai dari Mutis yang mengalirkan kesejahteraan. Le’u dan Takesan memperanakan Soleman dan kelima saudaranya. Soleman yang bernasib baik di zaman Belanda dibawa serdadu kompeni menumpang Kapal berisi cendana menuju ke Semarang. Disana, ia diangkat menjadi tentara KNIL, tentara kerajaan Hindia Belanda. Di Semarang, Soleman yang cerdas belajar bahasa Belanda, Jawa juga Jepang. Lalu berkenalan dengan seorang gadis Jawa tulen, kelahiran Kaliboto Magelang. Siti Aminah namanya. Gadis pembantu sebuah keluarga Belanda yang jago memasak roti-rotian khas Belanda.
Mereka menikah pasca Indonesia merdeka, saat peristiwa Pembantian Westerling berakhir, 23 Februari 1947, buah perkawinan mereka lahir, Elizabeth namannya karena kebetulan dilahirkan di rumah sakit Elizabeth Semarang. Beberapa tahun kemudian keluarga kecil ini hijrah kembali ke Timor. Ke lembah Mnesat Anin yang subur, di Timor Tengah Selatan.
ina nok ume

Cerita ayah, Le’u Kamlasi begitu senangnya mendapat menantu orang Jawa. Apalagi dengan seorang cucu perempuan yang sangat kejawaan. Di Mnesat Anin, keluarga ini mengolah sawah juga beternak ratusan sapi milik Le’u Kamlasi. Sayang waktu itu Le’u sudah mengalami kebutaan, namun kebutaan yang membawanya kepada kekuatan baru, terang baru untuk menguatkan orang lain, menyembuhkan orang lain. Le’u yang kata ayah sangat Belanda sekali tampangnya.

Keluarga kecil Soleman Kamlasi akhirnya pindah ke Kapan, dengan alasan agar Siti Aminah bisa berjualan nasi di pasar. Siti Aminah yang kemudian menjadi Kristen dengan nama baptis Johana. Kata ayah lagi, mungkin dulu warung Johana Kamlasi adalah warung makan pertama di kota Kapan, warung yang setiap hari pasar selalu ramai didatangi para pembeli hasil bumu dari Kupang. Mereka yang kebanyakan adalah pedagang bersuku Sabu dan Rote, yang kami sebut ‘papalele’.

***
Itulah ceritanya kenapa marga Kamlasi yang kebanyakan berasal dari kampung-kampung di Amanatun bisa juga ada di Mollo. Termasuk aku yang menjadi bagian dari generasi Kamlasi ke enam yang sampai ke Mollo. Tentang jejak-jejak darah Belandanya itu sama sekali tidak ada padaku dan ibuku. Ibuku sudah sangat Jawa. Mungkin sedikit pada kakekku, namun pada Om dan beberapa sepupu, tanda-tanda itu masih terlihat jelas. Mereka mungkin tak bersekolah, pemakan sirih, tak bersandal, tak mengenal celana panjang, namun lihatlah tubuh mereka: mata sedikit biru, rambut pirang dengan kulit putih. Beberapa menonjol pada tulang rahang dan hidung.

***
Ayah adalah pencerita yang baik. Ibu juga. Nenek juga. Kakek juga. Dan aku adalah anak juga cucu yang suka mendengar dengan tekun. Karena aku menyukai sejarah. Terutama tentang sejarah manusia. Aku menyukai kehidupan. Aku ingat, saat SD, sebelum kakek meninggal aku selalu tidur dengan kakek dan neneku, mendengar mereka bercerita tentang zaman perang, tentang tulang lengan kakek yang rusak terkena peluru hingga ikut menyanyikan lagu-lagu keroncong atau lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo bersama mereka. Kadang nenek memintaku menyanyikan lagu-lagu di buku Kidung Jemaat. Atau membacakan majalah berisi berita tentang perjalanan liburan Pak Harto sekeluarga di Bali. Yah, nenekku adalah fans berat keluarga Cendana. Lembaran majalah bisa dibolak-balik hingga berpuluh-puluh kali hanya untuk melihat gambar-gambar ibu Tien dan Pak Harto. Itulah kenanganku bersama Siti Aminah alias Johana Kamlasi dan Soleman Kamlasi.

***

Jogjakarta, 14 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...