Selasa, 04 Januari 2011

Saudara Bernama #Syuradikara




Refleksi pasca Reuni #Syuradikara angk. 1997-2010 di Aula Golkar Kupang, 29 Desember 2010

Saya baru saja melihat album foto perjalanan saya ke Syuradikara beberapa waktu lalu, lantas ingat momen penting terkait di tanggal 29 Desember 2010, di Kupang. sepertinya saya harus menulis sesuatu tentang apa yang baru saja saya lihat, atas apa yang pernah saya alami tentunya dengan yang saya pikirkan saat ini, detik ini. Sesuatu yang indah akan selalu dikenang dan disimpan baik dalam memori. Yang baik itu adalah SYURADIKARA sendiri!
(depan pendopo utama Syuradikara...selalu bangga dengan seragam kuning putihnya!)
Syuradikara bagi saya adalah mencusuar yang senantiasa memancarkan semangat dan kasih persaudaraan. Yah, saudara. Saya melewati 3 tahun di sana dengan cerita yang tiada habisnya. Bagi saya, Syuradikara adalah model konkrit dari sebuah institusi pendidikan karakter yang sebenarnya. Tanpa harus bercape ria meninggikan kata, karena rasanya sudah dari sononya semua yang mengenal Syuradikara punya insight sendiri-sendiri. Dan itu kembali soal karakter, soal rasa, soal batin, soal nurani! Rasa memang tak bisa bohong. Saya bahkan terlalu rindu untuk tidak membiarkan sedikitpun memori itu lenyap, saya butuh me-refresh-kannya kembali, makanya saya berani untuk datang lagi ke Syuradikara bulan lalu.

***
Saya datang kembali ketika suasananya sudah jauh berubah. Tapi ada banyak hal juga yang menjadi keunikan tersendiri dan itu tetap bertahan. Oke, kawan, OSIS angkatan saya punya proyek ‘radio’ sekolah yang hidup di jam istirahat. Itu masih ada!
Kedua, kantin Syuradikara mungkin yg paling sederhana dibandingkan kantin sekolah manapun, tapi rasa pisang gorengnya, ajib bin ajaib: sejenak bisa melenyapkan bebas pelajaran di kelas barusan.
Ketiga, saya punya ke empat, ke lima dst, hingga kesekian cerita unik Syuradikara, dan gak ada deh ditempat lain, sekolah lain. Warga asrama mungkin punya koleksi cerita lain yg lebih komplit. Saat reuni angkatan 1997-2010 lalu di Kupang, saya bercerita dengan seorang ka’e angkatan 98. ini soal kebanggaan hati saya, kira-kira saya membicarakan seperti ini:

 (depan asrama Putra Syuradikara ------------>

Hal yang membuat saya bangga menjadi bagian dari Syuradikara adalah bahwa saya bisa tau kekurangan dan kelebihan saya, karena Syuradikara. Saya jadi tau apa itu loyalitas dalam berteman, saya punya waktu untuk mengasah empati saya, bahwa saya bisa bangga dengan diri saya atas keunikan dan kelebihan lain yang saya punya-meski saya gak jago matematika! Syuradikara ibarat sebuah cermin besar yang memudahkan saya melihat diri saya sampai yang plaing dalam, oke, ini dia Christianto Senda yang sebenarnya!

 <----bareng Ella Dua Raga-kini kuliah di pendidikan Fisika Universitas Flores, dulu 3 Ipa 2, dan Irma Ladapase, teman baik saya selama di Syuradikara dan saat kuliah di Jogja, sarjana biologi lingkungan d UKDW)

Di Asrama, saya punya pengalaman pahit tentang sesuatu yang disebut sebagai tradisi, bernama senioritas. Ada hikmahnya, saya harus belajar untuk kuat selain bahwa semua manusia punya masalah, kekuatan nurani bagi saya yang paling tangguh untuk mengatasinya, bahkan untuk mengatasi ketakutan saya sendiri. Untunglah saya tidak sempat atau merepotkan diri untuk terjebak lebih jauh dalam tradisi itu. Prinsipil memang, tapi sebenarnya tanpa saya sadari, Syuradikara jg sudah mengajarkan prinsip hidup itu. Entah dalam wujud seperti apa, tp yang saya rasa, ADA! Prinsip yang kadang kuat, kadang lemat. Seperti ketika suatu malam entah kenapa, hanya sebuah kebodohan yang menghantar kami ke sebuah pemakaman atau bahwa kami bisa kuat dan solid, bernyanyi dan bercengkrama ber-16 orang  di bawah pohon mangga Asrama Putra lalu bertanya di kaos hitam seharga 50ribuan yang didesain teman saya Gerald Fori, SIAPA KAMI? Hidup diasrama waktu itu adalah serba mengancam dan diancamà lebih dari dua kali mungkin deg-degan dgn kata ini: ‘jalan keluarnya, ASRAMA DITUTUP!’.



(pisang goreng yang nikmat---> 

Tapi saya bangga, karena itulah titik baliknya, dan ada harga yang mahal yang harus dibayar angkatan kami waktu itu, yah sisa ber-16 saja. tiba-tiba saja daging busuk yang tertutup rapat atas nama tradisi terbongkar. Saya ingat beberapa kali rapat dewan guru dan komunitas secara khusus membahas hal ini, mungkinkah reformasi itu ada di tubuh Asyur, Trikara dan Syuradikara pada umumnya? Angkatan kami merasakan itu, ketika status ‘presidium’ entah satu, dua atau tiga, diganti dengan status baru, satu ‘ketua asrama’ to! Presidium yg mewakili angkatan tertentu ‘yang sedang berkuasa’ waktu itu mungkin dipandang hanya sebagai wujud dr legitimasi untuk melakukan kekerasa fisik dan psikis dari senior ke yunior, makanya ditiadakan. Entah kenapa, sampai detik ini banyak alumni syuradikara sendiri yang masih bergulat dengan pro kontra: penting atau gak penting sih senoritas itu? Plonco-ploncoan itu? Saya ingat betul energi yang habis bg dewan guru, pater rektor dan pater-pater di komunitas waktu itu. Baru-baru ini saya mampir ke kamar makan asrama dan mengobrol sejenak dengan siswa-siswa asrama putra Syuradikara. Iseng saya melemparkan permasalah diatas. Saya pikir, reformasi dulu benar terlaksana, tapi jawaban adik-adik itu lantas meragukan saya lagi: rasanya ‘tradisi’ itu diam-diam masih dipertahankan. Dipertahankan tanpa siap untuk dipertanggungjawabkan, bagi saya rasanya memprihatinkan.

Untuk poin ini saya harus bilang bahwa saya tidak bangga sama sekali, karena ini jauh lajur dari semangat lahirnya Syuradikara.

(Saya sedih dan berdoa untuk seseorang  di pekuburan Biara Bruder BB sana, semoga tenang disana.)

<-----------------suasana makan siang di asrama putra #Syuradikara-Asyur. lauknya masih sama, enak kalau makan siang, dan kembali ke teri dan kacang hijau di malam dan pagi harinya!) 

***

Kembali lagi soal kebanggaan saya. Saya terhitung sebagai angkatan ke-49 sehingga setahun kemudian saya merasakan yang namanya pesta Emas. Dan mungkin hanya Syuradikaralah Sekolah menengah umum pertama di NTT yang membolehkan siswa-siswanya memakai jeans di hari jumat dan sabtu (hal ini tentu saja membuat iri ka’e-ka’e alumni sebelum tahun 2004. banyak kegiatan rohani di kapela dan di sekolah nyatanya mampu menyeimbangkan antara kepala dan hati. Sehingga ketika kini orang kembali menyuarakan pendidikan karakter, Syuradikara sudah melakukan jauh-jauh hari bahkan ketika pertama berdiri.

Saya lantas bercerita alasan kenapa saya ingin kembali lagi ke #Syuradikara: misa pagi di kapela st. michael, terutama english mass servicenya, dengan lagu pembukaan yang gak bikin bosan,Morning Has Broken! Saya suka lagu itu…


***

Sore itu di gedung Golkar Kupang, 29 Desember 2010, jam seolah terbuat dari karet, bisa ditarik ulur seenaknya. Menurut undangan acara berlangsung dari pukul 16.30 dan misa syukur tepat pukul 17.00. nyatanya jam 18.00 misa baru dimulai, dengan deretan kursi yang disiapkan panitia yang 80% masih kosong! Bete pertama. Hingga pukul 20.00, alumni mulai banyak berdatangan. Sayang sekali gak ada orang lain dari angkatan 2005 selain saya. bete kedua! Akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dengan angkatan 2006, kebetulan ada Riyadi, Gradia dan Jelly sebagai teman ngobrol. Perlahan suasana hati saya mulai cair. Seru juga. Gak ada teman seangkatan gak masalah. Berinteraksi dengan angkatan yang sama sekali baru saya kenal jg tak kalah asyiknya. Wah, ternyata banyak ka’e yg datang sudah pada kerja di Jakarta, Bali, Jogja, Ruteng dan Maumere, masih menyempatkan diri utk hadir. Seru. Bisa bertukar cerita dan ide. Inilah gunanya, sekalian bisa menambah jaringan pertemanan. Riyadi lantas berbisik ke saya, ‘ka dicky, jaman sekarang, pengalaman dan link jauh lebih penting dari pada IP dan kepintaran.’. Betul juga bro…apalagi ini atas nama kenal sebagai keluarga besar Syuradikara, kemudahan selalu datang menghampiri. Beta lantas ingat perjalanan lalu ke Flores. Karena dah banyak kenalan dan seperti saudara, jadi sonde kelaparan ju di perjalanan. Apalagi pikiran mo menginap dimana. Mo di larantuka, di maumere atau di ende, selalu ada yang mengajak mampir, traktir makan, ngajak jalan, bahkan menawarkan pekerjaan. Thanks God. Inilah hidup sebenarnya: membangun jaringan persaudaraan dimanapun…

Viva Syuradikara…


3 komentar:

  1. hahaha,.. "radio" pas istirahat itu masih ada???jgn2 dgn speaker dan peralatan yang sama?? betapa bahagianya saya membaca ini,..

    BalasHapus
  2. mantapa ka'e..b juga akan segera posting tulisan mengenai reuni kemarin :) ..senang ketemu ka'e di reuni :)

    BalasHapus
  3. doddy: thanks...itu su bro...masih ada, makanya saya deng irma waktu itu kaget..tempat speakernya ms sama...ujung atas kantin, samping ruang ibu matilde...hehe cuman bunyinya kurang jernih jd sonde jelas suaranya sang penyiar 'radio'...
    volta: be tunggu...di FB ko di blog? kalo ada blog minta link-nya...thanks

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...