Mereka baru saja mencoba warna-warna hidup mereka hari ini, kemarin, minggu lalu, bulan lalu. Mungkin juga akan berganti warna esoknya. Atau lusa, karena mereka disebut anak-anak. Karena mereka anak-anak yang berproses dalam rentang masa emas, begitu kata para ahli psikologi perkembangan anak. Masa ketika sel-sel otak berkembang dengan sangaaaat pesatnya sehingga panca indera mereka begitu peka untuk merespon/bereaksi terhadap apapun yang ada disekitar. Kami, orang-orang dewasa biasanya akan surprise atau kaget, kadang takut, marah, membiarkan atau malah ikut mendampingi, meluruskan. Maka terjadilah ketika hal-hal baru dimaknai, dirasakan, dipersepsi sesuai kapasitas mereka lantas melahirkan sejuta warna berlalu, menetap, datang cepat dan berganti jadi warna baru: karena mereka baru saja mencoba hal-hal baru dalam hidup mereka. Dan kami, orang-orang dewasa mereka sepatutnya ada disamping untuk merespon dan terus memberi stimulus baru, jadi warna baru positif, melekat dan berkarakter. Karena masa emas itu masa sensitif, bahwasanya kami jug tahu bahwa rasa ingin tahu mereka menari di ubun-ubun setiap waktu. Ini mungkin sebagin kecil dari cerita warna-warna mereka.
***
Kami, orang-orang dewasa mereka, baru saja merasakan warna baru itu unik, berkarakter dan terus berganti rupa. Bulan lalu, minggu lalu, kemarin, hari ini. Kami sempat mengamati jika hari ini beberapa diantara mereka mencoba saling menyanyangi. Ada yang terbuka, sebagian lainnya agresif verbal: ‘aku tuh mau nyium kamu, boleh gak?. Maka teringatlah masa sebulan lalu, kata mereka: ‘pacaran itu berteman, itu yang kami tahu’. Atau ketika luapan rasa bangga karena bisa menulis nama gurunya bercampur rasa suka maka jadilah sesuatu yang bernama ‘surat cinta’ hanya sekedar disisipin ke kantong baju pak gurunya sejurus kemudian berlalu sambil menghamburkan tawa cekikan dan keriaan bersama teman-temannya. Cukuplah tulisan ‘cakar ayam’ mereka membuat sang guru tersenyum geli. Prosesnya tak lama. Hari-hari berlalu menggantikan yang manis lalu berubah tren. Sebulan lalu kata-kata tak sopan begitu cepat tersiar diseantero sekolah menyisakan gema-gema yang memerahkan telinga kami: gobl*k, jel*k, tel*k, nak*l, macam-macam. Namun itulah tren, secepat waktu berganti, lupalah mereka. Kadang tidak hanya agresi verbal saja, agresi fisik pun cukup membuat kami berhati-hati mengawasi dan meluruskan yg ‘bengkok’. Televisi nyatanya menjadi sarana mereka mengasah potensi alamiah mereka: agresi/agresif. Sering pada ‘musim’nya spiderman pun bisa jatuh dari panjatan bola dunia atau ayunan, atau power ranger harus nangis karena didorong avatar hingga terjerembab, atau ala swack down, atau Ben 10, atau Krishna atau Upin Ipin yang aslinya manis bisa jadi mendadak jagoan ketika berhadapan dengan avatar misalnya. He he he he…
***
Tentang tren anak-anak, semuanya pasti selalu berubah, memberi pengalaman dan pelajaran: yang dulunya jagoan dan super aktif karena punya pengalaman jatuh eh jadi lebih tenang dan manis. Secara alamiah mereka berproses, baik atau buruk sama-sama memberikan sumbangan pelajaraanya. Bahkan hanya untuk sekedar membiarkan mereka menangis jika kekecewaan dan kesakita itu seharusnya dilampiaskan dengan air mata. Bagi kami, tangisan tak mengenal jenis kelamin. Tangisan hanya berteman dengan jiwa yang pernah menangis dan mengenal itu sebagai bagian dari kesedihan khas manusia. Dan yang menjadi juara adalah mereka yang bisa menerima emosi senang sebagai senang dan sedih sebagai sedih, karena itu menyehatkan.
***
Tentang waktu yang berganti, ada banyak warna yang siap memberi kesan abadi: kesabaran, kerjasama, kekuatan dari sebuah pertemanan. Tentang berbagi, memaafkan dan saling mengingatkan antar teman. Tentang tawa dan sedih, membuka diri dengan terbiasa untuk ngomong, terbiasa untuk tidak memendam. Terbiasa untuk menjadi asertif dan kritis. Tentang warna lainnya, kemandirian, berlaku adil pada sesama. Bahkan ketika kami harus takjub bahwa mereka bisa dengan sederhana menyelesaikan persoalan diantara mereka secara mandiri, dengan logika sederhana dan itu ampuh 100 kali lipat ketimbang omongan kita orang-orang dewasa. Yah, betapa mudahnya mereka makan dengan lahapnya hanya karena mereka sepantaran duduk bersama. Berhenti menangis karena yang menghibur adalah teman mereka sendiri, merasa terkoreksi jika yang bicara adalah kawan sehati mereka. Ahh. Sesimpel itulah warna dan dunia mereka. Hanya kadang, pikiran dewasa kitalah yg membuat semuanya nampak njelimet.
***
Tentang warna-warna mereka, selalu kami tulis pada lembaran memori dan hati kami, karena itulah yang membuat kami bisa terus survive menjadi guru mereka…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...