Surprise sore ini, saat nonton Trans TV, Primitive Runaway, acara menarik dr Trans dimana bintang tamu dr kalangan artis yg notabene orang kota tulen diajak tinggal beberapa hari dengan sebuah suku tradisional yang boleh dibilang masih ‘primitive’, sambil merasakan rutinitas harian mereka yang pastinya sangat mencengangkan peserta acara ini. Surprisenya saya sore ini bahwa episode PR ini menghadirkan artis sinetron Kiki Amalia dan komedian Kiwil ke suku Boti, salah satu suku di kecamatan Ki’e, Timor Tengah Selatan NTT, yg selama ini dikenal masih memegang teguh tradisi lokalitasnya. Ini bukan soal para artis, tapi lebih kepada Boti yg saya kenal tapi sayangnya belum saya lihat. Gubraaaaakk, payah yah?! Lahir besar di Timor tapi tentang suku yang satu ini kok malah teman saya yang jauh di Jawa malahan sudah pernah kesana (mbak Harum misalnya).
***
Saya jadi berpikir, Puji Tuhan di era seperti ini, memang sudah seharusnya perubahan juga menjadi bagian dr semua warga masyarakat Indonesia. Bahwa TV kemudian menjadi media informasi yg menjembatani sebuah perubahan besar sekaligus mempererat sesuatu bangunan besar bernama ‘keberagaman Indonesia’. Ini yg selalu saya tulis jika melihat kondisi selama ini bahwa ada begitu banyak ketimpangan dalam berbagai hal terjadi di negeri ini. Sederhana saja, acara seperti PR pada akhirnya menjadi sebuah media edukasi bagi semua warna negara tentang banyak hal besar yang kita punya, sekedar untuk menghapus dosa besar pembangunan selama ini yg sangat sentralistik dan mengabaikan wilayah-wilayah lain. Padahal semua punya keunikan dan potensinya masing-masing, sayang saja jika kita masih saya menafikan itu. Teman-teman saya yg menonton PR yg kebetulan sudah 3 episode menonjolkan sisi lain dari 3 suku berbeda di NTT (seingat saya di Alor, di Ende dan kali ini di Timor). Termasuk juga episode lain, ttg suku anak dalam di Jambi, dsb. Dengan begini, semua warga negara punya kesempatan untuk mengenal sama saudara sebangsanya di wilayah lain. Akan lebih baik ketimbang kita Cuma berslogan ‘kenali negerimu, cintai negerimu’ namun disaat yg bersamaan tindakan kita sama sekali gak mencerminkan kata2 itu, terlampau jauh merayakan euforia sentralistik. Akhirnya, gak perlu kaget misalnya jika 70 % uang nyatanya berputar di Jakarta, dan sisanya 30 % saling bagi membagi di 30an lebih
propinsi di Indonesia. Kasihan di Papua, di NTT, di Ambon, entah berapa nilainya. Dan gak perlu kaget sebenarnya jika orang Jakarta akhirnya lebih cepat, murah dan mudahnya membuang-buang uang ke Singapura, ketimbang berwisata ke Sumatera, Sulawesi, kalimantan atau Papua atau Ambon yg jauh lebih menarik dr Singapura. Kembali lagi ke masalah infrastruktur dan pembangunan yg timpang. Sehingga berwisata ke Bunaken saja misalnya jauh lebih malah ketimbang berwisata ke Singapura.
Kalau sudah begini, orang Jakarta mungkin akan fasih dengan sudut-sudut mall di Singapura dan kebingunan karena gak tahu Bunaken itu di mana? Raja Ampat itu dimana, apalagi Boti? Jauuuuh. Jadi ingat saat ospek dulu teman2 saya selalu salah menebak letak kampung saja. ‘Senda, dari mana asalnya?. ‘Kupang’ jawab saya. ‘Kupang??? di sulawesi yah?. Atau ‘eh, Sen, kupang itu di NTB yah?’. Mana sih? Gubraaaaaak….!!
Pengen nonton PR lagi minggu depan, 2 artis muda ibu kota akan tinggal bersama warga salah satu suku di Maluku. Trims untuk stasiun TV yg udah berani menjangkau daerah di luar Jawa. Meski kata teman saya yg bekerja di Trans 7, kenapa mata acara dr luar Jawa masih kurang diminati? Ini soal rating dan share-nya. Fakta masih ada kalo acara tentang luar Jawa masih kurang menyedot minat pemirsa TV. Apa mungkin ini krn masyarakat penonton TV semuanya masih terpusat di Jawa? Selain bahwa pulau ini masuk Guinnes Book Of Record sebagai pulau terpadat di dunia?
OMG! Kita sudah terlampau jauh merayakan dosa pembangunan. Pembangunan yang timpang dan memiskinkan!
Jogja 7 Agustus 2010
sumber foto: hansitta.inilahkita.com (Kepala suku Boti, Nune Benu dan isteri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...