Jumat, 23 April 2010

Blok Timur, Kamar Nomor 3 (Sebuah Cerpen)

Sebuah cerpen karya Christian Dicky Senda


‘Blok Timur’, begitulah aku menamakan deretan kamar-kamar kos disisi timur dari sebuah rumah besar di sebuah gang sempit di Utara Jogja. Aku mengenalnya sepuluh tahun lalu, saat pertama kali kamar-kamar itu mulai dihuni. Yah, akulah penghuni pertamanya. Kami bergaul dan bertetangga dengan penghuni blok Barat. Kami lantas menyebutnya, Wowar 20, kesatuan antara blok Barat dan blok Timur.
Sepuluh tahun kemudian, aku masih saja betah di Blok Timur. Sepuluh tahun pula tetangga-tetangga kamar datang dan pergi, membawa senyum sukacita, meninggalkan damai dan kerinduan, meninggalkan masalah.

***

Malam ini, 20 April 2010, percayalah kami bukan akan merayakan hari Kartini. Aku tidak. Mereka, sama sekali tidak. Hari akan berputar sebagaimana hari biasanya berlalu pergi. Karena bagi mereka, mungkin yah, sebagaimana aku melihat dari kacamataku: hari menawarkan sejuta kesempatan dan kesia-siaan yang bersembunyi dibaliknya. Hari adalah setengah kebersamaan dan setengah rasa sepi karena selalu ingin sendiri. Hari adalah bagian dari mereka merayakan sesuatu yang bernama hura-hura dan sisanya mereka gunakan untuk duduk ngalor-ngidul, berkelakar lalu ada yang diam-diam masuk dan larut dalam sebuah permainan rahasia, yang aku namakan, perselingkuhan, atau seks bebas, atau menghisap ganja lalu tidur dengan durasi yang sangat panjang. Permainan bebas bisa jadi adalah juga: bertelanjang bulat sambil merokok, sambil melamun masa depan yang buram atau sambil diam-diam bermain dengan kelamin masing-masing.

Malam ini, 20 April 2010, percayalah kalau listrik diseantero kamar-kamar bisa saja mati tiba-tiba karena tak kuasa menahan beban maha dahsyat ketika sedang dalam jam sibuk para penghuninya. Sibuk dengan diri dan kelompok masing-masing. Sibuk dengan layar televisi atau laptop atau komputer atau stik PS 2. Saking sibuknya sampai hilang rasa peduli satu sama lain bahwa antara dua kamar bersebelahan sedang saling uji sejauhmana titik tertinggi dari volume speaker masing-masing.

Malam ini, aku hanya bercerita hal yang klise dari setiap cerita anak kos. Sebuah pemakluman biasanya diberikan untuk cerita sejenis ini. Aku paham, sungguh paham, karena sebagian pantatku mungkin sudah mengakar dilantai kamar ini sampai-sampai sulit untuk beranjak pergi menjauh. Tapi apa aku bisa pergi? Aku adalah senyawa yang kosong.

Malam ini, 20 April 2010, Blok Timur lengang. Aku seperti biasanya rutin menjalani tugasku sebagai observer tulen atau mungkin sudah saatnya aku mengatakan tugas abadi. Dulu, aku tak merasa sesepi ini. Aku punya beberapa orang teman yang datang silih berganti, dekat dan saling bersenyawa lalu kehilangan lagi. Hilang dan sepilah yang secara otomatis menuntunku untuk mengamati setiap gerak-gerik penguhi Blok Timur. Tanpa komunikasi. Tanpa sahut-sahutan. Tanpa kerlingan mata.

Aku duduk diam sejenak lantas menyalakan laptopku. Marsya nama laptopku. Ingin rasanya menulis. Tapi aku ingin memakai indera pendengaranku kali ini. Aku hanya ingin berdiam diri dan merasakan gelombang-gelombang suara itu datang dan pergi lewat telingaku. Mencoba memilah yang berkesan dan yang tidak lalu merenung lagi. Sesekali aku memakai bantuan bayangan mentalku untuk menelusur lebih jauh objek-objek pendengaran tertentu yang berkesan, tapi kali ini aku hanya ingin membatasi bebunyian yang datang dari penghuni blok Timur saja. Sudah kupastikan itu.

Blok Timur terdiri dari 9 buah kamar yang masing-masingnya berukuran 3x3 meter. Ada dua kamar yang tak berpenghuni, yang sepi tanpa saling bersenyawa. Senyawa yang kosong.

Aku tak mendengar lagi suara derai air membasahi lantai kamar mandi. Waktu sudah menunjukan pukul 21. 15 WIB. Penghuni kamar 03 baru saja berlalu pergi. Mungkin akan mencari makan malam di luar. Namanya Ray. Tinggal bersama istri mudanya, Nisa. Mereka adalah satu contoh gairah anak muda yang tumpah ruah di dalam kamar kos, larut dalam kerahasiaan dan menghasilkan anak, bayi laki-laki bernama Ade yang kemudian mereka kirim ke rumah orang tua di kampung, karena mereka harus melanjutkan kuliah. Si suami yang sering meneriakan kata goblok pada pasangannya, kadang sambil berkelakar tapi sering juga dalam keadaan serius (menurutku). Dan si istri anak kuliahan yang belum genap 20 tahun, sukanya bangun kesiangan dan merasa normal sebagai anak muda yang bebas. Aku mengetahui banyak rahasia tentang mereka, dari kasak kusuk yang kudengar, dari pengamatanku sendiri, dari senyawa-senyawa yang menyatu dengan gelombang yang sering mampir ke telingaku, ke mataku, ke kulitku.

Aku menulis banyak tentang mereka, sedikit sudah kubagi disini, lebihnya biar kusimpan saya di salah satu fileku di tubuh Marsya.

***

Dari kamar 04, aku mendengar percakapan santai dua orang yang kadang-kadang tertawa cekikan disela topik berbahasa Inggris. Tugas kuliah mungkin. Penghuni kamar itu namanya Yud, berambut gondrong dengan tatapan dingin. Oya, matanya bulat dan menonjol. Sukanya begadang dan Facebookan hingga pagi ketika aku baru bangun dan hendak mandi. Salah satu tetangga kamar sering memanggilnya gendut meski nyatanya dia tergolong kurus. Sepertinya dingin namun nyatanya dia yang paling sering kedatangan tamu. Bergerombol tamu cewek dan cowok, mendengarkan musik, berkelakar hingga larut malam.

Tetangga sebelahnya yang usil itu, namanya Johan. Pandai bergaul dan tergolong paling tampan dari seluruh penghuni kamar blok Timur. Sukanya bertelanjang dada dengan boxer mininya bersosialiasasi dari kamar ke kamar. Pacarnya cantik dan seringkali menginap disini. Bentuk dari sebuha permainan rahasia? Aku tak tahu. Angin rasanya tak mampu bersenyawa dan mengirimkan kabar padaku diujung sini. Ah, mereka sudah dewasa. Aku saja yang kesepian dan sok repot.

Disebelah kamar Johan, kamar 06, dihuni oleh sepasang mahasiswa. Entah teman, entah saudara, entah kakak adik, entah apapun hubungan mereka, nyatanya mereka adalah dua pria muda yang tinggal sekamar. Aku boleh saja menaruh pertanyaan rahasia atas mereka tapi sungguh jawaban yang sudah kutemukan tidak menggiring aku pada sebuah kesimpulan miring yang sama dengan faktanya yang juga miring. Okelah, mereka bukan gay! Kamarnya sering ramai, tapi sering juga mereka mereka menyepi berdua. Masing-masing dengan laptopnya. Online. Facebookan. Aku pun terlalu jauh jarak sosialnya untuk bisa bercakap-cakap dengan mereka. Sungguh ini adalah sebuah kebetulan bahwa aku tak mengenal akrab satu sama lain, pasalnya ruangku terlalu kosong tanpa mampu bersenyawa.

Kamar 07: Kosong. Tak berpenghuni. Di depan pintunya tertera tulisan, ‘RUANG KKULIAH’. Dulu sempat disewa seorang aktivis kampus untuk dijadikan ruang kuliah bagi anggota ‘kelompok’nya. Aku sering mendengar jargon-jargon berau politik menggema dari arah sana. Kini tak lagi dipakai untuk kuliah. Entah kenapa. Mungkin belum ada lagi politikus yang ‘mengasuh’ mereka untuk tujuan tertentu.

Kamar 08: Penghuni baru. Kuliah di fakultas Sastra UGM. Cenderung tertutup karena memang saban hari pintu kamarnya tertutup dan tak sedikitpun gordin tersibak meski ada aktivitas terdengar dari dalam sana. Aku tak tahu namanya.

Kamar 09: Penghuni baru juga. Pekerja keras, setahuku. Soalnya jarang sekali di kos. Kalaupun ada, pintu dan gordin selalu tertutup rapat. Aku selalu menduga: pintu yang sering tertutup karena ada banyak rahasia sedang berlangsung di dalam sana. Terbuka karena tertutup atau tertutup karena ada yang terbuka di dalam sana. Sebuah filosofi kamar! Baru saja kutahu dari angin, namanya Lui. Seorang mahasiswa juga seorang pekerja yang pulangnya selalu malam. Dinamis namun penuh misteri. Aku sering melihatnya membawa banyak DVD dari rentalan, lewat dengan acuh didepanku lantas terbuai lama di kamarnya. atau sering secara diam-diam mencuci pakaian di belakang, menjemurnya lalu kembali bersembunyi di kamarnya. aktivitas ajegnya adalah bangun pagi-pagi, mandi dan berlalu pergi, entah kemana, hingga malam menghantarnya kembali melewatiku dengan acuh masuk ke kamarnya. aku melihat, acuhnya memicu ketidaksukaan penghuni kamar blok Timur. Ray salah satunya yang paling frontal. Semakin acuh, semakin larut semakin jauh jaraknya.

Kamar 01: Ram, mahasiswa belia yang sukanya dugem. Ceking dan perokok berat. Paling slengean. Pernah ribut-ribut dengan anak kos lama karena kebiasaan Ram yang suka memakai handuk orang lain dengan seenaknya. Tipe cuek tapi jaringan sosialnya tinggi dan berkelas.

Kamar 02: Kami biasa memanggilnya dengan sebutan mas Ari. Seorang teknisi yang piawai dalam hal sistem informasi. Itulah mengapa ia berbisnis pemasangan jaringan internet bagi anak kos yang berminat. Gara-gara dialah komputer-komputer di hampir semua kamar bisa hidup lebih dari 12 jam sehari hanya untuk ONLINE! Facebookan, dsb. Mas Ari orangnya kalem. Pekerja keras dan jarang di kos. Namun ketika sudah berada di kos biasa kamarnya akan ramai karena pengaduan inilah, itulah, soal internet tadi. Dari kamarnyalah, kabel-kabel merintang asal-asalan dari satu kemar ke kamar lain, semrawut kayak kabel-kabel listrik di jalanan Jogjakarta.

Kamar 03: sebuah kamar kosong yang ditinggali penghuni 6 bulan lalu. Sepi disana. Debu menebal, bersenyawa dengan udara hampa menghasilkan bau pekat. Plafonnya sudah bersarang laba-laba. Lantainya membengkak disalah satu sisinya. Mungkin karena raksi panas membentuk ronga akibat fondasi yang kurang padat. Temboknya belang-belang merah biru, ada sebuah lemari sedang bertengger di sudut ruangan. Hal lain yang tersisa adalah beberapa buah poster film yang masih menggantung. Aku mengenal baik penghuni dulu, dia adalah seorang penikmat film.

***

Lagi-lagi aku merasa sepi disini. Serasa terjebak dalam sebuah permainan rahasia yang tak berkesudahan. Tapi kenapa aku masih disini? Aku dulu berteman baik dengannya, dengan dia sebelum dia. Dengan mereka, disini. Bersenyawa, menjadi hidup, menjadi tanpa sepi. Ahh, mungkin saja benar jika pada kenyataanya, entah hingga kapan, aku mungkin akan selalu sepi atau mendapat teman baru, namun yang pasti sepi menawanku untuk terus mengamati mereka, dari sini, dari kamar 03, karena akulah sepi, akulah senyawa kosong dalam sebuah medium hampa berbau pekat. Di kamar 03, Wowrwar 20, Blok Timur, aku ditawan sepi yang membekas pada lantai, pada tempok, pada plafon, pada lemari, pada debu, pada udara yang agak hampa ini. Aku sepi yang terjebak…


Jogja, 20 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...