Minggu, 21 Februari 2010

Sebuah Perseteruan

Ini cerita tentang dua kubu, dua kutub berlawanan dan saya berusaha untuk menjadi samudera yang bisa memeluk dua belahan berbeda tersebut. Bukannya sok, tapi saya sedang berusaha dan belajar untuk menjadi pihak yang objektif, pihak yang netral dan pihak yang ingin melihat suatu persoalan dari banyak kacamata berbeda termasuk kacamata kedua kubu berseberangan tersebut. Gak mudah memang, karena saya tak mau terjebak dalam isu, gosip dan hal-hal yang bukan fakta. Konon hal-hal tadi lebih mudah mengoyak emosi dan itu menyebabkan kacamata seseorang bisa langsung berubah dari objektif ke subjektif.

Kadang saya ingin ada jembatan yang bisa menghubungi kedua kutub tersebut. Semacam jembatan Suramadulah atau golden gate, kalo mau keren. Tapi akan sulit ketika saya berada di satu sisi kutub A dan sadar bahwa penghuni kutub A menghujat habis-habisan kutub seberang, kutub B. Apalagi jika A posisinya lebih tinggi dalam suatu sturktur organisasi daripada posisi B yang terbilang anak buah. Waduh, mumet iki. Emang, secara hierarkis, posisi saya sebagai ‘samudera’ lebih berat dan dekat dengan sisi A tapi bukan berarti saya melepas hubungan emosional dan komunikasi dengan sisi B. hanya saja kedekatan saya dengan sisi A membuat saya bisa melihat dengan mata telanjang, jurang yang sengaja diciptakan A dalam hubungannya dengan B, atau sikap A yang selalu underestimate ke B, sekali lagi bahwa A posisinya lebih diatas dari sisi B. Jika dilihat, apa benar jika A yang seharusnya sebagai contoh, pengayom, perangkul, bersikap demikian?

Pada siang dan malamnya, saya berusaha untuk ‘medamaikan’ kedua kubu tersebut. Tapi susah jika A selalu merasa benar dan yang selalu salah adalah B. Jika ada pelabelan negatif bahwa kelompok B patut dicurigai setiap alasan-alasannya sebagai sesuatu yang tidak jujur, apa itu sah untuk ukuran ‘orang-orang level atas bersikap ke anak buahnya yang berada di posisi B’?

Ternyata ada pola baru bahwa orang2 dalam posisi A sedang mencari massa, mencari orang yang bisa melegitimasi sikap-sikap mereka ke B, harapannya saya salah satunya, meski sayang itu kurang disambut baik saya, meski saya pun berada di ‘level’ yang sejajar dengan mereka, level A.

Saya bahkan selalu ingat pepatah, ‘jika seseorang datang padamu dan menggosipkan orang lain, maka bisa dipastikan dia pernah melakukan hal demikian dengan datang ke orang laiinya dan menggosipkan dirimu!’. Saya selalu memegang kuat pepatah itu. Jika kehadiran saya di sisi A atau sisi B hanya membawa gosip belaka, bukan fakta, bukan kebenaran, maka bisa dipastikan saya adalah PENGGGOSIP, saya adalah pembawa kabar buruk bernama ‘adu domba’, karena mengggosipkan A ke B sama artinya sering juga saya menggosipkan B ke A. Tapi jika demikian, apa iya selama ini saya sudah seperti itu? Menceritakan keburukan A ke B dan sebaliknya sering juga menceritakan keburukan B ke A? saya manusia, saya mungkin pernah berbuat, tapi untuk kasus antara A dan B ini, saya yakin 100% bahwa saya adalah pihak ketiga sekaligus pihak utama dan kedua yang paling bijak, netral dan masa bodoh. Cuek. Jika berbicara hubungan profesional antara A dan B dan saya sebagai bagian dari sebuah kesatuan dalam bola dunia maka saya seharusnya mampu bersikap profesional bahwa saya sebagai bagian dari A bisa saja salah, kurang mendekatkan diri ke B, kurang tahu apa maunya B, yang notabene adalah anak buah saya.
Kenapa jika B lebih nyaman curhat ke C ketimbang curhat ke A sebagai pemimpinnya. Ada apa dengan kepemimpinan saya, jika saya adalah benar-benar di kubu A!

Tentang kenetralan, saya hanya ingin profesional mengompakkan kita dan tujuan bersaam tercapai. Itu saja. Saya juga hanya ingin, jika A salah maka dia akan saya tempatkan sebagai yang salah. Atau sebaliknya. Jangan sampai saya juga ikut-ikutan memakai kacamata salah padahal benar, namun karena saya terbiasa membohongi nurani saya dengan berkata picik tentang orang lain, berpikir negatif tentang orang lain, menempatkan anak buah saya selalu yang berada di posisi yang salah karena yang tersetting di kepala saya adalah bahwa mereka, B, anak buah saya, selalu yang salah. Lalu saya membiasakan diri mengompori sesama teman di kubu A untuk beramai-ramai membenci kelompok B! karena saya suka dengan bahasa yang memanas-manasi, yang membuat gerah, membuat telinga panas, membuat saya puas dan orang lain tetaplah salah.

Oh, God, saya hanya sedang terjebak diantara kubu yang sukanya ‘benci tapi rindu’, kubu A, yang sukanya menyalahkan B tapi membutuhkan cinta dan tenaga B, jika dan hanya jika saya adalah A dan tergolong diatas maka saya bisa dengan seenaknya memperlakukan B sebagai babu yang gampang dan mudah disalah-salahi?

Siapa saya, A, yang pemimpin tolol atau bagian dari A yang ingin dekat dengan B, menyatukan semua yang menjadi bagian dari sebuah bola dunia? Bisa jadi A gampang membuat jebakan untuk terus-terusan membuat jarak dengan B, tapi saya pun ingin membuat B aman sebagai bagian dari B, percaya diri sebagai bagian dari B.

Ini hanya kisah tentang seorang yang terjebak dalam iklim ‘pemimpin yang kesulitas memainkan peran, bijak-profesional atau gossip-ambradul!

Jogja, 21 Feb 2010
gambar: www.testfreak.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...