Selasa, 17 November 2009

Playstation

Playstation! OMG! Saya terbangun pagi ini, di usia yang hampir 23 tahun dan menyadari diri bahwa saya belum pernah main playstation seumur hidup saya! Saya bahkan hanya berkesempatan memegang stick PS ketika masih SD. Yah hanya memegang tanpa tahu cara penggunaanya.

Mungkin pengalaman ini terlalu bodoh buat jika dibaca dari kacamata anak jaman sekarang atau anak muda seumuran saya. Terlalu bodoh atau terlalu kuper? Atau terlalu apanya, saya tidak tahu. Saya tidak bisa menilai diri saya sendiri. Saya butuh lingkungan dan orang lain untuk menilai saya. Bolehlah Anda menilai ini sebagai apa. Terserah.

Saya memang anak kampung, lahir dan besar di kampung. Kampung Baru, Mollo Utara. Ratusan kilometer jaraknya dari Kota Kupang. Kota yang berhawa dingin, subur dan dikelilingi gunung-gunung. Tapi bukan berarti semua teman-teman saya di kampung dulu tak bisa main PS. Mungkin ini soal interes, soal kebiasaan dari rumah, soal pola didik orang tua, mungkin.

Bagi saya tidak mengenal PS bukan berarti masa kecil saya suram, kurang bahagia. Bagi saya mungkin pengalaman masa kecil saya jauh lebih kaya dibandingkan anak-anak seusia saya yang saban hari hanya berada di depan layar televisi dan komputer.

Saya dulu suka nonton televisi, tapi di rumah orang lain. Tidak ada televisi di rumah, bukan karena tidak mampu tapi mungkin saja waktu itu keberadaan televisi bukan menjadi pilihan utama bapak saya. Apalagi Playstation.


Kenapa saya berani bilang masa kecil saya lebih kaya?
Yah, namanya anak kampung, permainan sehari-hari pun serba kekampung-kampungan. Serba tradisional. Seingat saya, permainan di masa terkecil saya adalah dimulai dengan bermain peran, bermain rumah-rumahan plus peran ayah-ibu-anak-om-tante, bermain pura-pura ‘dokter-dokteran’, ‘pasar-pasaran’. Ada permainan, kata orang Timor, ‘Gala asing’, ‘main sembunyi’ alias petak umpet kata orang Jawa. Main karet gelang, main gambar, main kelereng, main sikidoka, main layang-layang, hingga membuat rumah-rumahan kecil di atas pohon di hutan, masak-masak di hutan, seru. Hampir semua permainan di lakukan di tanah lapang atau di hutan, saat bareng-bareng pergi mencari kayu bakar atau menimba air. Ini karena di kampung saya memasak dengan kayu bakar waktu itu (hingga kini di rumah saya masih juga mengandalkan kayu bakar) adalah pilihan terbaik, murah meriah, dan berbicara air bersih ada saat dimana volume air PDAM menipis dan terpaksa kami anak-anak harus berjalan kaki sekilo hingga 3 kilometer untuk mengambil air.

Saya ingat betul, setiap siang sepulang sekolah, kira-kira jam 2 siang, kami segerombolan anak-anak usia SD hingga SMA (kadang bareng om dan tante), pergi ke hutan. Sepanjang jalan kami bisa bercanda, berlarian, bermain lumpur, mampir memetik jambu biji yang tumbuh subur di hutan (ada jambu biji merah, putih hingga kuning, di hutan di kampung saya). Selain makan jambu biji, kami bisa saja meminta kelapa muda di kebun orang, atau singkong atau pisang yang kami temui (meminta izin atau kadang mencurinya) lalu dibakar beramai-ramai. Seruu.

Kami bahkan menyempatkan diri dulu mandi di kolam yang kotor. Yah masa kecil yang selalu saya ingat, lutut saya penuh sekali dengan bekas luka, kecil hingga besar, semuanya adalah kenangan yang indah untuk dikenang (cieeeehhh sok lebay gitu deh he he he).

Ada kebiasaan ketika musim panas, Mollo Utara yang terkenal dingin pun ikutan kena imbas panas-gersang. Air bersih biasanya susah. Untuk menghemat air PAM, kami biasanya beramai-ramai dengan kakak, dengan om, dengan tante dan teman-teman menumpang truk pengangkut pasir sungai menuju ke Kali Sebau atau Kali Bijeli yang jaraknya belasan hingga puluhan kilometer dari kampung kami untuk mandi, mencuci pakaian kotor diselingi makan siang bareng, bakar-bakar ubi, dsb…sungguh pengalaman masa kecil yang menyenangkan.

Dulu di tahun 90an, demam parabola juga sempat menjangkiti ratusan penduduk kampung. Memang hanya orang-orang tertentulah yang mampu membeli parabola. Maklum di tanah pedalaman, jauh dari kota Kupang, kami hanya mampu menangkap siaran TVRI meski kadang suka eror. Maka stasiun seperti RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, dsb hanya bisa ditangkap lewat parabola. Sudah pasti setiap hari, terutama hari minggu, berbondong-bondong anak-anak hingga orang dewasa pergi ke rumah-rumah penduduk yang punya parbola. Doraemon, Power Rangers hingga Wiro Sableng, Renegade hingga Xena, Maria Mercedes hingga Rosalinda. Belum lagi sinetron-sinetron lokal yang mulai menjamur.

Mungkin ini yang namanya keseimbangan hidup. Keseimbangan masa kanak-kanak kami. Televisi juga aktivitas permainan tradisional, dekat dengan alam, dekat dengan hewan dan manusia.

Sehingga kini, ketika saya sadar, saya belum pernah main Playstation, itu bukan kiamat bagi saya. He –he he…mungkin permainan eletronik saya yang paling ‘hi-tech’ hanya tetris.



Jogjakarta, 15 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...