Minggu, 15 November 2009

Bobby, Doggy, Noddy (sebuah cerpen)

Episode Masa Kecil. Desember 1992.

Anjing.

Aku suka anjing. Aku suka bermain dengan anjing.

Anjing.

Kami. Aku dan keluarga besarku suka memelihara anjing. Banyak manfaatnya. Bisa menghabiskan sisa-sisa makanan yang tak habis daripada sisa-sia terbuang. Anjing, yang bisa menjaga rumah dari orang asing yang nekad. Anjing yang jika dilatih dengan rasa sayang akan tumbuh menjadi teman bermain yang baik, anak buah yang santun, rekan yang menghibur.

Ada banyak sudah anjing yang kami pelihara. Namun soal nama kami memang tidak terlalu banyak memilih nama berbeda. Seingat saya, nama Bobbylah yang sering dipakai, bahkan mungkin ada Bobby 4 atau 5. Anjing terakhir yang aku pelihara sejak SMP dan masih bertahan hidup hingga kini, tidak aku beri nama Bobby melainkan Doggy.

Entah kenapa ayahku suka memberi nama Bobby. Jika Bobby satu sudah meninggal, maka anjing berikutnya juga dinamakan Bobby. Bobby 2. he he he.
Lain ceritanya dengan nama anjing Kakek saya, namanya bahakan agak nyeleneh, ‘Mok’. Mok dalam bahasa Kupang adalah kurang lebih mug, gelas bertangkai.Mok umumnya tidak terbuat dari keramik melainkan dari sejenis logam, seng atau timah? Entahlah. Aku pun tak tahu apa artinya ‘Mok’menurut Opaku. Seperti Bobby, generasi turunan peliharaan Kakekku selalu bernama Mok.

Keluarga kami Kristen maka kami boleh makan dagung anjing. Kecuali ibu saya tidak makan daging anjing. Bukan karena beliau bukan Kristen. Beliau juga tidak menyukai daging kambing. Ini soal selera saja. Tapi ibu piawai mengolah daging anjing menjadi makanan yang lezat, RW misalnya. Kataku daging anjing itu panas. Makanya lebih cocok dimasak dengan banyak bumbu dan cabai merah. Aneh jika daging anjing dimasak sop bening plus daun seledri.

Aku ingat ketika kecil, kira-kira TK, kami mempunyai seekor anjing, Bobby namanya, yang lincah dan setia. Menarik jika ada saat tertentu seminggu sekali, saat petang, kami sekeluarga biasanya mengunjungi Opa dan Oma yang jarak rumah mereka kira-kira satu kilometer hanya dengan berjalan kaki (kadang saja memakai motor). Bobby pun biasanya kami ajak. Bobby bukan tipe anjing yang ketika diajak hanya bisa memancing anjing lain untuk menggonggong atau melakukan aksi-aksi nekad-agresif ala binatang. Bobby beda. Selalu tampil tenang dan lekat dengan tuannya. Gonggongan kecil sahut-sahutan antara Bobby dan anjing-anjing yang kami temui mungkin hanya sebatas ‘say hello’ saja pikir saya. Hmmm.

Kebiasaan Bobby yang aku ingat, pasti akan selalu sampai duluan ke rumah Opa dan Oma, langsung menuju dapur dan mengorek-ngorek pintu dapur bagian belakang sambil mengendus-endus. Hal itu selalu terpola sehingga kemudian dibaca Opa dan Oma aku sebagai kepastian bahwa anak, menantu dan cucu-cucunya pasti mau datang. Yah, Bobby memang sedang menyampaikan sebuah berita penting, kedatangan anak, menantu dan cucu-cucu yang membuat Opa dan Oma bahagia. Semua terpola dengan baik, berjalan dengan baik, sehingga saat pintu dapur belakang digedor-gedor sambil diendus maka itu sudah dipahami sebagai pesan: Rika mau datang (Rika – panggilan sayang Oma ke anak perempuannya, ibuku).

Dan biasanya setelah kami sampai ke rumah Oma, Bobby lantas menghilang, kembali ke rumah, menjaga rumah. Pola yang sama ajegnya. Bobby sang pembawa berita dan Bobby sang penjaga rumah.

Anjing memang memiliki daya penciuman yang tajam. Aku sudah membutkikan itu sejak aku masih TK malah. Ini soal Bobby lagi. Dia sudah mampu mencium bau tuan-tuanya bahkan dari radius 200-300 meter. Sehingga pada kenyataanya kami akan selalu disambut jauh-jauh dari pintu rumah. Mencium-cium kaki kami dengan penuh sayang dan mata berbinar tajam di kegelapan malam. Bahkan Bobby mampu menjemput dan mengejar Ayahku yang sedang mengendarai motor menuju ke rumah. Wah senangnya.

Sayang kebahagiaan kami tidak berlanjut lama. Bobby yang malangmengakhiri hidupnya persis di depan rumah kami sendiri. Bobby mati ditambrak mobil ambulans yang melaju kencang! Ayahku terlalu terpikul sehingga keinginan sang Dokter untuk mengganti Bobby dengan anjing baru, anjing ras, ditolak Ayah dengan halus.

Terlalu keterlaluan jika dagingnya kami makan. Omku lalu berinisiatif mengubur Bobby di dekat pohon jambu, di belakang dapur tempat aku kecil biasanya bermain. Dibawah jasadnya yang sudah menjadi tanag, beberapa tahun kemudian ditanami pohon kelapa. Kelapa yang kini sudah tinggi, melebihi tinggi saya yang berusia 23 tahun. Kelapa yang mungkin sudah menghisap seluruh kebajikan hidup Bobby. Semoga menjadi kebajikan baru yang lebih baik.

***

Episode Pulang Ke Rumah. Desember 2007.

Waktu yang tepat untuk pulang ke rumah. Merayakan Natal bersama keluarga.

Kembali merasakan kembali kehidupan yang paling jujur bersama keluarga tercinta. Bersama Doggy, anjing yang kupelihara saat kelas 2 SMP dan bertahan hingga aku sudah duduk di bangku semester empatku. Doggy yang kini kudapatan tumbuh menjadi anjing dewasa yang ribut menggongongku, tuanya, hingga hari kudua aku di rumah. Doddy yang kata ibu saya ‘makin malas’, ‘cerewet kalau makan’ dan ‘gengsian’. Weleh-weleh. Maksud ibuku, gengsian = pilih-pilih makanan. Wadooowwhhh!

Doggy yang kini sukanya berantem dan jarang di rumah. Kalau pulang rumah tahunya wajah sudah babak belur. Digigit ‘Aitarak’ anjing milik misionaris di Gerejaku.

Tapi kata ibu, ‘masih ada untungnyalah memelihara Doggy, biar ada yang jagain rumah…’
‘…tak ada niat buat kami untuk membunuhnya, dimasak jadi RW!’ lanjut ibu.

Yah Doggy sudah terlalu tua untuk dimakan. Sudah terlalun tua pula untuk dididik jadi anjing penurut. Tapi Doddy perlu menjadi anjing senior yang bijak, pikirku (agak gila memang!)

Ahh lupakan.

***

Episode Rumah Impian. 22 Desember 2015.

Noddy, anjing lokal Timor berwarna putih kecoklatan yang kami dapat saat mengunjungi kampung Opa di pedalaman Timor. Kami menyukainya. Aku hanya mengingat nama Bobby dan Doggy ketika pertama kali menggendong anjing pemberian Omku ini. Noddy. Tanpa arti khusus. Aku hanya tertarik dengan pelafalan dan penulisan yang hampir mirip. Bobby. Doggy. Noddy. Kami lantas membawanya ke Jogja. Aku ingin memeliharanya di rumahku. Aku ingin mendidik Noddy seperti Bobby yang setia dan baik hati. Juga ingin mendidik Noddy, agar tidak menjadi tua dengan sikap aneh sepeti Doggy. Anjing bisa santun dan mencintai dengan tulus. Kami menyukainya. Kami. Aku dan istriku, Ilonna, wanita keturunan Jerman-Jawa yang sejak kecil juga punya cerita yang sama dengaku, cerita tentang anjing-anjing kesayangannya. Anjing-anjing ras berbulu tebal dan indah. Tapi kini Ilonna malah lebih menyukai anjing lokal. Ajing Kintamani, Anjing Jawa dan Anjing Timor, si Noddy.

'dan mungkin generasi turunan anjing-anjingku akan selalu kunamai Noddy? Entahlah.'



Jogjakarta, 15 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...