Sabtu, 31 Oktober 2009

Ruma Maida: Antara Jas Merah atau Film Sejarah Saja?

Ruma Maida. Ayu Utami. Teddy Soeriaatmadja. Film Indonesia.
Empat kata utama yang seolah menjadi magnet utama bagi saya untuk menonton film ini.
Saya ingin memulai dari 'film indonesia'. Hingga kini saya masih menaruh harapan besar bahwa kita bisa bangkit dan lebih jaya lagi jika kita berbicara topik 'perfilman tanah air masa kini'. Ini karena ada sineas-sineas hebat yang dipunyai negeri ini, pada detik ini, dan lebih dari itu, ada sekian juta manusia Indonesia yang punya niat baik, menonton dan terus mendukung perkembangan perfilman tanah air. Penonton yang kritis. Penonton film yang mendukung perubahan lebih baik, lebih berkualitas bukan penonton yang hanya menambah daftar panjang dan yang secara langsung menjebloskan perfilman tanah air ke dalam lubang hitam berisi film-film 'murahan', njelei (jelek!), kancut! Kuantitas semata tanpa kualitas. Maka saya akan selalu berterima kasih kepada orang-orang seperti Garin Nugroho, Riri Riza, Joko Anwar, Teddy S, pasutri Ale dan Nia Zulkarnaen, dan masih banyak sineas bermutu yang dimiliki negeri ini, yang selalu menghasilkan karya yang berkualitas bukan semata kuantitasnya doang! Terima kasih juga buat aktor dan aktris negeri ini yang kerap menjaga dan mendukung kualitas perfilman tanah air dengan tidak ikutan ramai-ramai main film kelas kancut, film asal-asalan, film 'murahan'. Sebut saja nama Nicolas Saputra, Christine Hakim, dsd...

AHH lupakan itu, kembali ke Ruma Maida.


Ayu UTAMI, saya kenal ketika kelas 2 SMA, saat demam Saman juga nyampe ke Flores, ke Ende, ke SMA saya. Novel dengan kata-kata bagai kristal. Saya suka sastra dan Saman membuat saya lebih mencintai Sastra hingga ketika Bilangan Fu membius saya habis-habisan. Ayu Utami, penulis sastra wanita terbaik Indonesia saat ini. Dan jika mengaitkan Ayu dengan Ruma Maida, maka komentar saya adalah 'Ini skenario film Indonesia terbaik tahun 2009!'. Sebagai penulis mahir, Ayu tentunya punya landasan yang kuat, punya deretam riset yang menopang bangunan skenario Ruma Maida. Buktinya lihat saja, kisah Ishak Pahing, Bung Karno dan masa pergerakan kemerdekaan (saat Sumpah Pemuda hingga Merdeka) dirangkai begitu indah dan otentik. Tinggal mengawinkannya dengan fiksi dan perisitiwa masa kini : tokoh Maida Manurung (terinspirasi tokoh nyata Butet Manurung, tokoh pejuang pendidikan suku Anak Dalam), soal kondisi rakyat Indonesia pasca merdeka 60 lebih tahun tapi masih dengan kondisi yang tak menentu. Peristiwa Mei 1998.

Soal Ishak Pahing saya tidak tahu betul apa ini tokoh nyata atau rekaan Ayu.Si pencipta lagu Keroncong Tenggara, yang ditulis Ayu konon dari lagu itu mengispirasi Bung Karno untuk mendirikan persatuan negara non blok (meski nyatanya, lagu Keroncong Tenggara diciptakan sendiir oleh Ayu. Ahh betapa hebatnya wanita satu ini!).

Hanya cerita Ishak Pahing inilah yang paling menarik hati saya untuk mencermati lebih dalam film ini. Menarik memang kalau kita berbicara datau bercerita sejarah. Masa lalu menurut saya penting, apalagi jika masa lalu itu adalah sekumpulan niat dan harapan baru tentang sebuah masa depan! Jas Merah= JANGAN MELUPAKAN SEJARAH! Yah tentang sejarah di Ruma Maida inilah yang menjadikannya film spesial, unik, dan menggugah semangat. Saya kira film-film berkualitas harus punya tiga elemen tadi, spesial, unik dan menggugah semangat. Menarik yang lain karena saya yang tinggal di Jogja ini tahu kalau Bandara Adisucipto kini, dahulu dikenal sebagai Bandara Maguwo.

Secara teknis film ini lumayan. Teddy baik secara teknis di film Ruang, dan kembali baik di Ruma Maida. Lewat gambar-gambar artificial, kamera statis di Ruma Maida 'masa lalu' dan gambar-gambar yang dinamis dengan kamera handheld di Ruma Maida pasca reformasi.


Ayu Utami, seperti yang saya bilang, dia penulis serius dan pastinya menulis RM dengan perhitungan matang. Riset pastinya, jika melihat kutipan-kutipan kalimat dan pesan dari tokoh seperti Bung Karno, misalnya yang menarik bahwa 'kemerdekaan jiwa hanya bisa didapat lewat pendidikan''. Jika bercermin dari kalimat itu untuk kondisi bangsa ini sekarang maka apa betul jiwa kita sudah merdeka??? Atau tentang kisah cara Jepang mengirimkan mata-mata lewat sosok para fotografer Jepang yang waktu itu menjadi profesi yang tiba-tiba marak di negeri ini. Artinya Ayu berhasil merangkai kisah sejarah dengan kisah rekaanya menjadi satu aliran yang menarik: Ruma Maida. Maida dan Maeda: sama-sama punya tujuan mulia memerdekakan jiwa manusia. Maida lewat sekolah gratisnya dan Maeda (Laksamana Maeda) lewat dukungan morilnya agar rakyat Indonesia merdeka. Suatu 'kebetulan' yang bermakna dalam.

Berbicara akting pemain: sosok Bung Karno (Imam Nurbuwono, temannya Farid Ardian) cukup mencuri perhatian saya, selain tokoh Bung Hata, Syahrir, dan WR Supratman. Verdy Solaiman dan Nino Fernandes oke banget. Hanya saja Atiqah dan Yama kok agak kurang yah. Pendukung Ruma Maida cerita 'jadul' OKE semua...Imelda Soraya, Wulan Guritno, David Shcmutzer, dsb. Mungkin karena terbawa suasana jadul, tata kostum juga bagus, sinematografi dan teknis2 lainnya keren, makanya Ruma Maida cerita jadul keren.

Apapun itu, RM film sejarah. Ayu berhasil menulis skenario yang tidak njelimet, tidak berat dan menggurui karena penuh dengan pesan-pesan 'besar'. Ceritanya ringan tapi menyentuh dan dalam maknanya.

Jika kemarin orang bilang Film MERAH PUTIH boleh garang di teknis (visual effect dan sinematografi) tapi lemah di skenario, maka Ruma Maida bisa membuktikan dirinya UNGGUL di keduanya, teknik dan skenarionya.

Saya notnon RM di hari perdana tayang dengan jumlah penonton kurang dari 8 orang! Jika film ini turun layar karena tergeser dengan alasan jumlah penonton minim maka kasihan sekali hai kalian semua anak muda yang belum nonton film ini!


Jogja, 31 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...