Sabtu, 31 Oktober 2009

Elizabeth, Antara Magelang dan Timor

Semarang, 21 Februari 1947, aku mendapat kabar dari radio bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi. Oleh perintah Jenderal Spoor pasukan DTS yang diantaranya adalah para tentara KNIL (het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) untuk ditarik kembali ke Semarang. Baru saja berakhir 'pembantaian Westerling' di Sulawesi. Aku beruntung karena tak ikut dalam pertempuran itu. Lagipula aku harus menunggui istriku yang sedang hamil tua.

***

23 Februari 1947, pukul 12. 45 WIB. RS st. Elizabeth Semarang. Bangsal bersalin dengan beberapa
biarawati sekaligus perawat hilir mudik. Di kamar nomor 3 baru saja, dua jam yang lalu, terjadi peristiwa penting nan mengharukan. Aku sendiri Soleman Kamlasi. Aku yang dikenal berperawakan tinggi dan tegas adalah asli Timor yang memperistrikan seorang wanita asli Jawa Tengah, berperawakan mungil dan halus tutur bahasanya. Dialah Siti Aminah yang sebelumnya pernah bekerja sebagai tukang masak di rumah salah satu keluarga tentara Belanda di Semarang. Ketentaraan yang sudah menentukan nasib perjodohan kami. Semarang sebagai kota sejarah yang mempertemukan kami.

Di atas pembaringan nampak istriku sedang tertidur pulas. Bayi mungil perempuanku memang sengaja dipisahkan dulu dari ibunya untuk sementara waktu. Sedang dimandikan kata Charitas Lammerink, suster ordo Fransiskan, seorang Belanda tulen.
Di sudut kamar yang sama, aku sedang mencorat-coret secarik kertas putih dengan sebuah pensil. Tak lama memang. Saking banyak perasaan yang bercampur aduk membuat pikiranku hanya mampu menjangkau kata-kata berikut: Ferderika Elizabeth Kamlasi. Ferderika, noni-noni Belanda yang cantik rupawan yang kukenal memiliki nama seperti ini. Elizabeth, tentu saja mereka sedang berada di ruang bersalin salah satu rumah sakit terbaik yang berdiri pada 18 Oktober 1927. Dan Kamlasi tentu saja adalah marga (orang Timor mengenalnya dengan kata ‘fam’) turun temurun diwariskan ke semua anak-anak. Hanya itu. Berharap dia tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita, mewariskan garis tegas, perawakan tinggi namun halus tubu dan tutur bahasanya. Dia yang aku yakin mewariskan ketajaman sorot mata sekaligus kekuatan dan kesetiannya sebagai seorang perempuan. Oh, Tuhan, ini doa saya.

***

Aku Ferderika Elizabeth Kamlasi. Panggil saja aku Rika. Lahir di kota Semarang, di RS Elizabeth, dari ayah yang asli dari suku Dawan Timor dan ibu yang seorang Jawa tulen, seorang muslim namun kemudian mengikuti keyakinan suaminya menjadi Kristiani dengan nama baptis Yohana Kamlasi. Nama yang indah. Aku beruntung karena mewarisi perpaduan dua unsur unik tadi, menjadi diriku ini yang tidak Jawa tetapi tidak Timor juga. Jika saya di lingkungan orang-orang Timor sudah pasti mereka mengidentifikasikan diri aku sebagai lebih njawani namun di kondisi sebaliknya aku bisa dikatakan ‘kamu terlalu Timor…’ Ahh, sudahlah. Yang penting aku bangga dengan kondisi ini. Lebih beruntung karena bisa dididik dengan pola khas Jawa sekaligus Timor. Aku mencintai kehidupanku.
Usia 9 tahun ayahku memboyong keluarga kecilnya pindah ke Timor, ke tanah kelahiran ayahku. Kami menumpang kapal dagang menuju Timor hingga berhari-hari lamanya di lautan luas. Oya, diusiaku itu, aku tetaplah menjadi jagoan cilik pasalnya aku anak tunggal. Aku tahu beberapa kali ibu mengandung lagi tapi kemudian semuanya sirna. Aku tak tahu kenapa.

Masa remaja kuhabiskan di Kapan, sebuah kota kecil yang sejuk di Timor Tengah Selatan, membantu ibu berjualan nasi. Ibu memang tumbuh sebagai seorang tukang masak yang hebat makanya mungkin warung kamilah satu-satunya warung nasi pertama di kota Kapan yang punya masakan ala Jawa! Saat menjelang hari pasar, banyak sekali pedagang dari Kupang datang membeli hasil-hasil alam dan mereka yang kami kenal sebagai ‘papalele’ biasanya menginap dan makan di rumah kami.

Usia 21 tahun aku menikah. Tak terbayangkan sebelumnya jika jodohku adalah seorang jejaka muda, si hitam manis yang terkenal santun dan sederhana, pria keturunan suku Lio – Flores, asli! Aku mengenalnya sebagai Sius. Ignasius Senda, seorang polisi muda yang baru bertugas di kota kami. Perkenalan yang panjang untuk sampai pada persetujuan ayahku untuk menikahkan kami. Kami akhirnya menikah, di berkati secara Katolik oleh seorang pastur Eropa namun kemudian aku bebas pada pilihan awalku sebagai seorang Kristen Protestan. Apalah artinya perbedaan itu? Bagi saya tidak ada. Sudahlah jalani saja hidup ini.

Aku berbahagia dikaruniai delapan orang anak yang hebat-hebat. Diberikan seorang suami yang sederhana dan penyabar. Pekerja keras pula.

Semenjak pergi dari Jawa di usia 9 tahun sebenarnya aku pernah sekali berlibur lagi ke Jawa. Hanya sekali dan setelahnya komunikasi dengan keluarga ibu di Magelang hanya melalui surat.

***

Aku mungkin adalah seorang pemuda Flores yang beruntung pada saat itu. Keberuntungan yang membawa diriku pada Sekolah Polisi Ngeri Kupan sebagai angkatan kedua. Bahkan ketika dipertemukan dengan Rika, wanita yang kukenal bertubuh Jawa namun karakter Timor mungkin banyak menonjol he he. Cantik dan tegas. Kokoh sebagai wanita, sungguh-sungguh mendukung dan memotivasi. Sosok hebat dibalik kekuatanku dan kesuksesanku.

Aku beruntung karena punya delapan orang anak yang hebat-hebat. Mereka yang hampir pasti mewarisi sifat-sifatku dan istriku, semoga saja lebih beruntung dari pada kami. Aku selalu mendoakan mereka.

***

Aku Iker. Lahir dengan nama Christianto. Kakek saya, Soleman Kamlasi menyarankan nama itu. Kata beliau biarlah akhiran ‘to’ sebagai salah satu penanda bahwa cucunya ini masih mempunyai hubungan dengan Kejawaan atau masih punya jejak darah Jawa di nadinya. Christianto yang sejak 21 Desember 1986 didoakan agar kelak bisa mempersatukan lagi keluarga yang terpecah belah.
Ketika aku remaja sebelum meninggal dunia, nenekku, Siti Aminah Rajimin alias Yohana Kamlasi menitip pesan, katanya, ‘’mungkin salah satu diantara kamu dan kakakmu bukan saja bisa menyambung lagi tali kekeluargaan yang terputus pasca kepindahan aku ke Timor namun lebih dari itu besar harapanku agar kamu bisa memperistri seseorang yang mirip denganku, wanita Jawa tulen…’’. Aku hanya tersenyum mendengarnya, senyuman seorang remaja. Dan kini sudah empat tahun berada di Jawa, kuliah dan sudah bertemu keluarga besar nenek di Magelang, indah rasanya. Bangga menjadi bagian dari satu keluarga besar yang multi etnis, multi agama, perbedaan-perbedaan yang melahirkan keunikan baru sebagai anak manusia. Yah, aku bangga karena lahir dan dibesarkan dengan kebudayaan Timor, Jawa sekaligus Flores yang kental. Kesemuanya sungguh berperan membentuk karakter diriku. Hidupku kini.

***

5 Oktober 2009, aku mendapat kepastian bahwa ayah dan ibuku akan mampir ke Jogja lalu ke Magelang, setelah dari nikahan kakak lelakiku yang sangat beruntung mendapatkan seorang gadis Sumatra. Bertambah lagi warna kultur dalam keluarga besar kami. Itu hebat. Aku selalu berpikir, carilah jodoh dari latar belakang etnis yang berbeda darimu, itu akan menambah daftar keunikan dalam hidupmu dan anak-anakmu kelak. Hidup harus dibuat beraneka warna kawan.
Yah, Ferderika Elizabeth Kamlasi akan mampir lagi ke kampung halamannya, tempat dirinya dan ibunya dilahirkan. Kembali untuk menunjukkan jejak-jeka masa lalu itu pada suaminya, sama halnya ketika dulu sering suaminya menunjukan jejak keluarga besar di Flores.
Seminggu lagi mereka akan benar mampir. Dalam buku harian aku menulis:
‘’Semoga ini menjadi perjalanan yang menyenangkan bagi mereka, di masa tua mereka karena kesempatan yang sama dalam hidup tidak datang dua kali. Aku hanya ingin mereka bahagia berada disini. Kusiapkan rencana dengan matang, pergi ke Magelang, jalan-jalan ke Borobudur atau Prambanan, berkeliling Jogjakarta. ‘’

Elizabeth dan Ignasius benar-benar akan mampir ke Jogjakarta.
Horeeee…..


Jogja 10 Oktober 2009
CDS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...