Minggu, 16 Agustus 2009

Alasan-Alasan Kenapa NTT Selalu Dirindukan (Catatan Harian Anak Rantau)

Semua mungkin hanya berawal dari rasa rindu. Homesick. Yah. Rasa kangen. Rindu akan kampung halaman. Entah juga karena sedikit ‘iri’ dengan teman sekampung yang bisa pulang.

Entah.

Mungkin.

Ahh…

Tapi paling tidak peliknya kerinduan ini (lho kok bisa? Saya terlalu terburu-buru he he) tak akan lama melilit diri saya untuk jatuh dalam kesedihan semata. Mungkin saja (saya coba memaklumi) bahwa ini adalah situasi emosional yang manusiawi. Situasi emosional yang membuat kerinduan bercabang menjadi berbagai macam rasa. Rasa yang berwarna. Tergantung cara indera ini bekerja dan memaknainya. Yang pasti bahwa pagi ini ada sekian rasa yang kait mengkait dan berpokok pada rindu tadi.

Homesick.

‘aahh, drama king lo!’ seru nurani saya.
(namun terbatahkan. Pasalnya tak ada salahnya sang ‘King’ menulis perasaannya. Ini hanya karena dirinya sedang keranjingan menulis. Itu saja…).


***


16 Agustus 2009.

Saya bangun dengan ‘rasa’ yang sama seperti hari-hari kemarin.
‘Tuhan, selamat hari minggu yah. Terima kasih untuk malam minggu kelabu dariMu: saya bisa setia di seputaran ruang konseling dengan ibu Psikolog yang rajin ngomong alias cerewet.

Tuhan, kenapa rasa kangen begitu menyesakkan dada saya? Kangen rumah dan penghuninya. Bau tanah. Kabut di pagi hari. Jeruk. Pesta dansa. Masakan mama. Semua itu hanya ada di kampung halaman saya.


***


Masih di Tanggal 16 Agustus 2009. Pagi. Pukul 07.00 – 09.00 waktu Bumijo Lor: merendam pakaian kotor. Nyuci. Sarapan roti moca. Bersih-besih kamar (saya menyebutnya kotak biru kapal pecah!). nonton televisi. Mandi. Siap-siap menuju kantor redaksi koran Kedaulatan Rakyat (KR).

Saya punya rutinitas saban hari minggu pagi. Mampir ke depan redaksi KR, baca koran gratis lalu membeli koran Kompas di tempat langganan. Tak banyak yang tahu jika sejak pagi buta – setiap hari tempat itu selalu ramai dengan transaksi jual – beli berbagai media cetak baik koran, majalan, ataupun tabloid, antara loper, antar pengecer. Saya terbiasa membeli Kompas atau Intisari atau sesekali National Geographic Traveller dengan harga super miring! Disini, dipelataran redaksi KR.


***

Kembali ke topik rasa rindu saya yang bercabang itu (he he, pohon kali bercabang yah?). Kompas edisi minggu sudah di genggaman. Kedaulatan sudah ludes terbaca. Sejenak berpikir dan memutuskan untuk rehat sejenak di bangku taman hijau yang mudah ditemui di sepanjang jalan Mangkubumi (ini juga asalah kenapa saya begitu mencintai Jogja!). Rehat untuk melanjutkan perjalanan membacaku pagi ini. Jogja sedang ramah tersenyum. Lalulintas ke arah Malioboro nampak masih sepi. Sepi yang membuat lamunan rinduku melayang kemana-mana. Ahh.


***


Bagiku Kompas edisi minggu adalah pilihan utama untuk dibaca saat weekend. Ini karena saya sudah terlajur jatuh cinta dengan kolom Parodi-nya Samuel Mulia (yang menginspirasi saya untuk terus menulis). Cinta yang sama pula untuk kolom kartun ‘Benny & Mice’, ‘cerpen’ dan ‘sajak’ pilihan serta ‘foto pekan ini’. Betapa hari saya selalu berwarna karena mereka.


***


Saya membaca dengan rasa. Saya membaca dengan rindu yang terus mengintip. Pagi ini di bangku taman hijau di jalan Mangkubumi. Dan diselanya, saya membiarkan imajinasi bebas berlarian lantas akan berbenturan dengan sebuah ‘insight’: cling! Aha. Ide yang bagus nih buat dituliskan ke note Facebook, diary atau blog.

Saya hanya menamai imajinasi saya dengan ‘Pedang’. Berharap selalu tajam, makanya saya terbiasa untuk mengasahnya.


***


Kompas, edisi Minggu 16 Agustus 2009. OMG! Selamat ulang tahun negeriku Indonesia.
*mataku masih menari. Tertumpah di tiap-tiap lembaran koran. Masing-masing tentu akan melahirkan ‘insight’nya sendiri-sendiri. Saya suka itu.*


Di halaman 13:

‘Kontak Jodoh’. Mata ini tiba-tiba berhenti menari. Terpaku pada sesosok wajah yang khas: cling! Aha. Orang NTT kayaknya nih. Saya membatin. Benar saya dekat foto tersebut ada tulisan kecil ‘Jejaka Flores’, 33, 165/65, Katolik, bla…bla..bla…

‘Ha-ha-ha-ee, Eja, semoga kau beruntung lah…’ bisiku dalam hati.

Tapi kok bertalian dengan itu langsung merasa kangen Ende yah??? Oh, Syuradikara!

Di halaman 16:

‘Foto Pekan Ini’, ada tulisan berjudul ‘Mota’ain Bukan Lagi Jembatan Kepiluan’
Ke Tumor Timur rasa ini pergi. Ke Atambua rasa ini berlari. Ke NTT kangen ini memang ingin pulang. Tapi hampir dipastikan bahwa saya belum pernah merasakan seperti yang dirasakan oleh manusia-manusia di dalam foto itu, berpelukan di bawah tulisan besar ‘ Wellcome to Indonesia’, merasakan kerinduan itu meleh karena ada sebuah perpisahan yang sebentar lagi harus dijalani dan entah kapan lagi pertemuan itu kembali terjadi. Aku membaca tulisan di mata mereka: ‘kami dipisahkan oleh sejarah. Oleh putusan politik para petinggi negeri. Dipaksa untuk terus-terusan dihantui ‘homesick’.


***


Di halaman 23. Sajak. Hanna Fransisca menulis sebuah kerinduan:

‘di rumah tua sepasang tangan keriput masih menanak nasi jagung yang kau suka. Asap halus mengepul di wajah ibu yang menua.’

Ah. Homesick. Rindu rumah: rindu Ferderika Elizabeth Kamlasi. Rindu omelannya. Rindu kue Talam buatannya.



***


Membaca. Mata menari. Tertumpah pada Halaman 33.

Aksen: ‘Warna-Warni Kain Indonesia’.

Saya selalu merasa karena saya bangga bahwa ketika menyebut ‘Kain Indonesia’ maka nama NTT tak akan lupa untuk dikaitkan. Kita harus tahu itu. Kita harus bangga karena itu.

‘Tanah kita kaya kawan’, bisik nurani saya. Puji Tuhan karena kain, berbondong-bondong pasang mata ‘orang asing’ melirik tanah kita. Saya tak berlebihan dengan kalimat tadi. Saya tahu nama besar seperti Oscar Lawalata sudah bersusah payah memburu kain langsung ke Sumba, ke Alor. Atau Ramli. Atau Edward Hutabarat ke Flores (lalu menantang model Izabel Yahya berpose persis di samping Komodo, langsung di habitatnya!).
Atau Ghea Panggabean ke Sabu dan Timor.

Saya jadi ingat peristiwa minggu lalu saat siang bolong nyasar ke pameran Investasi Daerah 2009 dan bertemu dengan saudara sekampung, dari TTS, mewakili NTT ikutan pameran itu. Thanks to Mr. Thom, dkk, yang su jauh-jauh membawa kain-kain Dawan yang eksotis ke Jogja. Juga jeruk Soe yang manis itu. Sumpah deh waktu itu penyakit ‘homesick’ langsung ke stadium satu he he he.

Seorang teman saya dengan begitu kagetnya bilang: ‘sumpeh lo Senda, nih kain dari daerah lo? Gila kereen banget. Kapan-kapan gue dibawain yah???’

Bangga jadinya….

***

Kita terlahir khas, sependapat dengan keberadaan alam kita. Terima kasih Tuhan. Kita unik dan itu membuat ‘orang asing’ tadi melirik kita. Takhluk karena keeskotkan itu. Tak ada alasan untuk tak suka.

Itu terbukti di halaman 35!

‘CITRA’ INDONESIA.

Khas. Unik. Kain dari pulau SABU. Titi Syuman dan tiga bocah Sabu yang menampakan senyum termanis dan terlugu mereka.

Ini adalah serangkaian iklan dari produk Citra. Semalam saya menonton format iklan televisinya. Saya memang kemudian tak kaget lagi ketika tahu ada nama Davy Linggar dan Jay Subiyakto dalam proyek ini. Jaminan untuk kualitas artistiknya. Jay seniman hebat. Setahu saya beliau sudah sering wara-wiri ke NTT. Jejak terakhir yang saya tahu darinya adalah mengunjungi Flores (Riung) lalu memasukan nama Hotel Pondok SVD di Riung ke dalam 10 hotel Indonesia terbaik yang unik dan tidak meninggalkan unsur lokalitasnya. Anda boleh mengeceknya sendiri di majalah National Geographic Traveller edisi Juli 2009. Saya bangga. Saya sudah sekali melihat hotel milik SVD itu. Saya rindu ke Riung lagi.


***

Rindu kian membuncah dan saya kian mencintainya. Mencintai baunya disaat tawa bahagia. Saya juga cinta kepada tanah, ruh leluhur dan warna hidup masyarakatnya. Semua tahu, NTT punya sejuta warna. Karena dia unik dan berwarna.

Pada akhirnya rindu teruslah membuncah. Tinggi melayang. Menganga lebar. Lalu berat dan jatuh berwarna. Saya rindu kampung halaman.


***


Halaman 41. Advertotial produk sabun Lifebuoy.

‘….dan yang terlihat dan tertanam di hati hanyalah keunikannya dan aku mencintai itu. Sampai terus aku membawa ingatan itu dalam mimpi. Nurani selalu lirih dan jujur berkata. Berkata untuk ditulis. Menulis kerinduan yang timbul dari sebuah gambar, 10 bocah cilik dengan wajah, senyum, rambut dan warna kulit yang khas: senyum anak-anak NTT!

TERIMA KASIH OOO….
‘KARNA KAWAN-KAWAN DONG, KATONG PUNG HIDUP DI NTT JADI LEBE SEHAT!’

Rp. 272.626,700,- untuk revitalisasi posyandu di NTT.

Terima kasih ooo. Keberadaan katong sudah menjadi inspirasi Anda semua untuk berbagi, untuk mengerti dan menghargai satu sama lain. Menjadi satu saudara. Terima kasih untuk memberi-menerima dan mencintai perbedaan. Sadar untuk mengakui bahwa tanah katong kaya. Ruh kita kuat. Karakter kita unik. Hidup kita penuh warna, seramai warna-warna dalam kain tenun kita.

Tak ada alasan untuk bilang: ‘hei, lihatlah tanahmu, lihatlah rumahku, indah kan? Mari kita jaga itu. Kita pelihara. Kita gali dan apresiasi keindahannya untuk kejayaan NTT, untuk kualitas hidup kita yang lebih baik lagi!’

***
Percayalah bawah pada dasarnya adalah saya hanya merasa RINDU. Saya bilang, tulisan ini punya bayangan emosionalnya sendiri, sehingga mungkin akan bisa dibaca dengan rasa yang berbeda pula. So, bacalah dan mengertilah dengan rasa, tak usah dengan banyak-banyak logika. Intinya: baca juga dengan rindumu!

NB: Tulisan ini rampung sejenak lalu terlintas ide untuk menulis status terbaru di Facebook:

‘ Sedang menulis sebuah kerinduan besar tentang kampung tercinta...




__________________________________________________

Jogja, 16 Agustus 2009. Dirgahayu Indonesia ke-64! Jaya selalu!

Ditulis untuk http://www,iker-anaktimor.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...