Minggu, 31 Mei 2009

Kawin Kontrak ala ‘Turis’ Timur Tengah, MUI kok Diam?

Saya sedang membaca koran Kedaulatan Rakyat edisi hari ini Minggu (31/5) dan terpana dengan sebuah surat pembaca berjudul ‘Kontroversi Turis Timur Tengah’. Tentang waktu-waktu tertentu setiap tahun ketika banyak sekali orang-orang dari Timur tengah memadati kawasan Puncak atau Cianjur (dan sejumlah daerah lainnya di Jawa Barat) untuk melakukan ‘wisata’ terselubung, kawin kontrak!


Menarik bagi saya karena tulisan tersebut ditulis oleh seorang pria (RH Sudiharto dari Nagan Lor Jogja), kepakan - saya kira, seorang muslim (surat diakhir dengan assalamualaikum bla..bla..) dan lebih dari itu ditulis dengan banyak kalimat pernyataan dan pertanyaan yang reflektif. Beliau mengaitkan dengan tiga lembaga penting, MUI, FPI, dan NU, yang selama ini nampak menunjukkan ‘taring’nya untuk banyak masalah sosial-keagamaan, tapi tidak dengan kawin kontrak dengan embel-embel syariat islam-artinya sah secara agama, meskipun indikasi terbesarnya adalah tidak lebih dari unsur seksualitas semata bahkan sangat dekat dengan human trafficking dan pelanggaran hak asasi manusia. Kenapa hanya sibuk dengan golput, rokok dan facebook sedangkan tidak dengan kawin kontrak ini, tandas bapak itu dalam suratnya.



Selanjutnya beliau mengaitkan dengan hubungan antar sesama bangsa muslim atau sama-sama bangsa dengan masyarakat yang mayoritas muslim kok kesannya merendahkan derajat gitu, hingga soal peran indonesia dalam pemasukan devisa negara timur tengah dalam penyelenggaraan haji. Kok sebegitu teganya. Disebutkan, apa ini adalah sebuah ‘penjajahan umat islam terhadap umat islam sendiri?’. Mungkin akan sama ketika saya berpikir bahwa orang Barat yang identik dengan Kristen kok begitu teganya ‘menjajah’ bangsa saya dan saya terkena imbasnya juga karena kebetulan saya Kristen.
Diakhir surat bapak ini mencoba membandingkan perlakuan ke TKW dari negara muslim (Timteng dan Malaysia) dan non muslim (Korea, Jepang dan Hongkong), dengan melihat sejumlah kasus kekerasan fisik dan seksual selama ini banyak terjadi di negara-negara muslim. Tapi menurut saya ini bukan berarti dari negara-negara non muslim sama sekali tidak melakukan perbuatan tidak manusiawi. Saya kira ini semata kesan, belum ada bukti otentik.

Saya berpikir lebih jauh, kayaknya dewasa ini perilaku manusia kian jauh dari nilai luhur agama yah, meskipun senyatanya orang itu dekat sekali dengan agama. Atau mungkin hal itu hanya dipakai sebagai tameng untuk meluluskan segala niat pribadi yang tamak, rakus dan suka menjajah orang lain. Saya kira terkait kasus kawin kontrak, tidak luput dari situasi kesejahteraan bangsa ini. Ketika seorang istri ditinggal suami menjadi TKI di luar negeri, sang istri melakukan pekerjaan ‘sambilan’ menikah kontrak. Dan menjadi keuntungan bagi para saudagar kaya dari negeri minyak yang lekat dengan nilai budaya partiarkhi kuat, nilai budaya (atau iman?) ttg poligami yang kuat, ketidak setaraan dalam memandang posisi perempuan dan laki-laki, yang keseluruhannya didukung oleh peran agama, sehingga kadang menjadi dilematis, bahkan untuk FPI, NU dan MUI pun demikian.

Apa perempuan Indonesia bukan bagian dari masyarakat bangsa Indonesia itu sendiri? sehingga Bangsa ini terus-terusan membiarkan orang lain dari bangsa lain mempermainkan hak asasi masyakatnya? Begitu kesan dari bapak Sudiharto. Saya sependapat. Pembiaran akan sama saja dengan penegasan bahwa tipe pemerintahan bangsa ini tak jauh beda dengan tipe pemerintahan tumur tengah, ketika unsur agama begitu kuat pengaruhnya, sampai-sampai perilaku pelanggaran HAM pada perempuan yang notabene adalah warga negaranya sendiri seolah bukan masalah, tak jadi soal, gak perlu diurusin, gak perlu dilarang apalagi difatwakan haram ‘kawin kontrak’nya.

Apa ini lantas bisa dikatakan bahwa agama ramah dan adil bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan? (apapun itu agamanya, jika hanya DIAM melihat sejumlah ketimpangan dan kesenjangan antar manusia). Atau jangan-jangan institusi agama, pemerintahan, dsb hanya dipakai sebagi alat oleh sekelompok orang yang kuat untuk mendindas kelompok lain yang lemah, misalnya nilai agama dipakai pria untuk menindas wanita, dipakai saudagar kaya Timteng untuk memuaskan nafsu seksualnya semata-dengan wanita sebagai objek seksual yang tak beda dengan sebuah barang saja. Jika begini apakah agama (apapun itu agamanya) masih dipercaya sebagai sarana manusia menuju ke kesempurnaan hidup, pencerahan hidup, kebaikan hidup, kebenaran hidup dan kesejatian hidup??

Apa gunanya juga agama ketika di Kompas hari ini (31/5) membahas berita ttg tertangkapnya banyak imigran gelap (turis dadakan he-he dengan tujuan berbeda, bukan untuk kawin kontrak) dari negara-negara di Timteng yang sedang berkonflik, bahkan ketika mereka harus meninggalkan tanah mereka yang kaya minyak hanya untuk mencari tanah baru yang lebih aman tentram bagi kehidupan mereka, yang jauh dari bayang-bayang konflik.

Ini hanya analisis sederhana dari saya, dari sejumlah keterbatasan yang saya miliki dan sedikit kebisaan yang ada, yang coba saya kelola dan rangkai menjadi tulisan ini. Ada banyak kelemahan pastinya, untuk itu sanggahan dan masukan dari banyak pihak kiranya menjadikan kemungkinan yang ‘cacat’ ini bisa menjadi normal sebagaimana mestinya. Terima Kasih...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...