Jumat, 29 Mei 2009

Dari Malioboro hingga Segitiga Koral, Perjalanan yang Meresahkan

Pemkot Jogja berencana serius mengkaji proyek padestrianisasi kawasan Malioboro dengan mengoptimalkan lagi lahan-lahan parkir di luar kawasan Malioboro, begitulah berita yang saya baca pagi tadi dari sebah koran lokal Jogja.
Saya sudah jatuh cinta dengan Jogja. Dan saya sudah bosan dengan kesemrawutan penataan kawasan Malioboro kini. Bahkan seolah sudah kehilangan jatidirinya sebagaimana kawasan ini awal mulanya dibangun.

Konsep padestrian memang menjadi tonggak sejarah berdirinya kawasan ini. Sayang sekali karena orang Jogja sendiri kewalahan menghadapi gempuran globalisasi, sehingga dalam perkembangannya kawasan ini hampir kehilangan ‘citra dirinya’, bertahan dengan kekhasan tradisionalnya atau menjadi modern dengan arsitektur yang campur aduk-tumpang tindih hingga ke soal fungsi dari kawasan Malioboro itu sendiri yang akhirnya berubah jauh dari cita-cita awalnya berdiri.

Yang paling menonjol adalah soal Malioboro itu mau seperti dulu lagi menjadi kawasan padestrian yang nyaman, orang bebas berjalan dengan nyaman, bisa saling bertegur sapa (gak seperti kenyataan sekarang masing-masing sibuk dengan kendaraannya sendiri, dengan wajah tertutup helm, dsb. minim tergur sapa!), sepeda-sepeda berseliweran, andong dan becak hilir mudik, penjaja makanan khas Jogja, perajin batik dan benda-benda seni lainnya menjajakan karya-karya kreatifnya yang berselera lokal, atau melihat Malioboro kini yang macet, kotor, bau, segala penjuru tempat menjadi lahan parkir, penuh mobil, penuh motor, sampai-sampai hanya tersisa sejengkal dua jengkal ‘jalanan setapak’ buat orang berjalan (itupun dengan konsekuensi menyenggol sepeda motor di kiri kanan, kemungkinan keserempet mobil atau motor jika tidak awas.)
Liat saja kursi-kursi taman berwarna hijau yang tersedia di sepanjang Malioboro tak berfungsi, lha gimana orang mau duduk dengan nyaman jika di kiri kanannya penuh kendaraan yang mepet-mepetan.

Soal parkiran yang semrawut yang selalu membuat saya ‘gondok’ ketika mengunjungi Malioboro. Saya pernah beberapa kali mencoba merasakan perbandingan antara kondisi Malioboro saat semrawut dengan saat Minggu pagi ketika untuk beberapa jam kawasan ini ditutup untuk kendaraan umum, dan semua warga bebas melakukan aktivitas olah raga bersama, aih, begitu nyamannya berjalan, nikmatnya merasakan udara pagi yang bersih.

Saya bahkan iri jika melihat kota-kota di negara maju sekalipun begitu perhatian dengan kasawan padestrian di kotanya. Ketika banyak wisatawan begitu nyaman berjalan hilir mudik tanpa kesulitan karena ada banyak sepeda motor
Saya bersyukur jika kini pemerintah kota mulai sadar dengan ancaman menghilangnya jatidiri Malioboro jika berbagai permasalahan ini dibiarkan terus berjalan.

Saya bahkan bermimpi Malioboro menjadi kawasan yang bebas dari kendaraan pribadi, hanya bus trans Jogja saja yang boleh melewati kawasan itu misalnya, wah-wah itu pasti akan kelihatan lebih baik.

Saya sudah jatuh cinta dengan Jogjakarta sampai sayapun harus bertanggungjawab atas masa depan Malioboro. Sehingga wajar jika kini saya khawatir dengan kondisinya.

Sama halnya jika kini saya pun ikutan khawatir dengan berita soal masa depan SEGITIGA KORAL yang dikhawatirkan juga oleh banyak kalangan akan HILANG pada akhir abad ini. Saya perlu khawatir karena tanah saya berada dalam kawasan tersebut. Yah, NTT termasuk yang berada dalam kawasan SEGITIGA KORAL.

Saya khawatir sebagaimana banyak orang khawatirkan soal keresahan ekonomi juga sosial yang bakal timbul nantinya segitiga koral ini akan lenyap!

Segitiga Koral mencakup lebih dari 76% jenis koral pembentuk karang laut dan 35% jenis ikan koral. Segitiga Koral adalah pusat kehidupan laut yang mendukung kehidupan yang ada di darat dan udara. Bahwa ada sekian proses berantai terjadi. Bayangkan jika salah satu mata rantainya terputus!

Kita harus tahu, kita harus khawatir lantas berbuat sesuatu untuk perubahan. Artinya saya yang sedang khawatir ini juga harus sadar untuk membuat perubahan. Supaya saya jangan dicap asal ngomong, bisanya cuma ngomong, cuma menulis, tapi nol besar dalam hal implementasi.

Bumijo Lor, 23 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...