Rabu, 20 Mei 2009

Babel. Pain is Universal...but so is Hope

Babel. Film yang menarik secara tema. Saya sudah telat menonton film ini sebenarnya jika saya harus mengikuti standar para movie mania, tetapi bagi saya itu gak penting, yang penting adalah saya menonton, saya menikmatinya, saya mendapatkan sesuatu (yang minimal berguna untuk diri saya sendiri). Itu paling penting. Saya suka film-film mainstream. Saya suka film-film yang memang serius dibuat bukan sekedar untuk komersialisasi belaka namun demi suatu pencapaian tersendiri bagi para pekerja film itu sendiri. Yah, saya suka film-film kelas festival.
Dan Babel adalah salah satu yang banyak dibicarakan di masanya oleh para kritikus film, pernah berjaya di ajang Cannes film festival dengan memenangi best director.

Babel. Lumayan emosional. Entah apa hubungannya judul film ini dengan Babel sebagai kerajaan kuno di Tigris dan Eufrat, saya belum tahu. Bagi saya Babel adalah drama tentang kehidupan manusia. Suatu kecelakaan tragis di Marocco yang memulai hubungan antar beberapa peristiwa sekaligus di empat kelompk orang berbeda di tempat yang berbeda-beda pula. Saya percaya bahwa hidup ibarat jaringan laba-laba raksasa yang mengaitkan satu manusia dengan manusia lain, meski terpisah waktu dan tempat. Bahkan ketika yang mengaitkan diri saya dengan diri orang lain adalah sebuah masalah, sesuatu yang menyedihkan, dsb.

Semua orang pernah merasakan kebahagian atau pun kesedihan. Dan kebaahagiaan atau kesedihan itulah yang seolah mengaitkan diri saya dan diri orang lain kepada perasaan memiliki nasib yang sama, meski kita terpisah ruang dan waktu. Jadi istilahnya kesedihan itu adalah sebuah benang merah yang menjadikan suatu peristiwa itu saling kait mengait. Pain is universal…but so is hope!

Menarik bahwa Alejandro Gonzales Innaritu membalutnya dengan situasi dan kondisi dunia yang nyata, misalnya hubungan emosional antara orang tua dan anak yang merenggang,anak yang mengalami gangguan bicara jg trauma pasca melihat langsung ibunya bunuh diri, anak kehilangan figur dan terlibat dalam pergaulan yang salah atau mengekpresikan rasa cintanya kepada lawan jenis dengan salah hingga mengalami friustasi seksual (cerita dari Jepang), anak terlibat dalam masalah orang dewasa yang pelik (soal imigran gelap dalam cerita dari Mexico) atau soal kondisi anak di daerah yang lekat dengan imej teroris (cerita dari Maroko). Bahkan imej baik digambarkan jelas di kampungnya si tour guide, penduduknya begitu ramah dengan orang-orang berkulit putih (baca: Amerika). Artinya bahwa tidak semua orang di Timur Tengah adalah teroris dan memiliki pikiran yang sama dengan isi kepala para teroris.

Menarik yang lain adalah soal acting pemain.
Bradd Pitt sepertinya sudah menunjukan eksistensinya bahwa modal utamanya bukan karena fisiknya yang ganteng atau karena kisah hidupnya bersama Angelina Jolie. Dia bermain bagus. Berikut Cate Blanchett. Dia cantik bermain apik juga di Currious Case, The Aviator, Elizabeth, dan The lord of the rings trilogy. Kou Yakusho juga bagus, pas memerankan gadis bisu yang kehilangan figur ayah juga ibu di saat remaja yang notabene adalah masa krisis-masa pentingnya perhatian, komunikasi, keterbukaan dan pendampingan dari orang tua.

Secara teknis bagus, seolah sedang nonton film domumenter yah he-he. Original scorenya keren. Tepat sekali mendukung suasana tiga lokasi berbeda dengan budaya berbeda, Maroko, Jepang dan Mexico. Makanya dapat best Achievement in Music Written di Oscar. Seru saat adegan pesta dansa di pernikahan anaknya Amelia di Mexico. Wah, jadi ingat pesta-pesta dansa di Kupang, di Soe, di Kefamenanu, di Atambua atau di Timor Leste. Yah musiknya, cara menarinya, rutualnya…semuanya. Berasa ingin pulang kampung Juli ini soalnya di Timor lagi musim pesta dansa he-he…


Jogja, 19 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...