Minggu, 15 Maret 2009

kangen bapatua, kangen mamatua…

(sebuah kisah nyata anak perantauan)

Hmm sendirian di kost, mendengar Taufik Ikhsan mengoceh di radio sambil aku membaca Koran Kompas. Jogja panas sekali malam ini. Aku tiba-tiba begitu kangen dengan bapatua dan mamatua, sebutan sayang kami anak-anak untuk ayah dan ibu di rumah, di dataran tinggi Mollo Utara sana yang pastinya malam ini suhunya bertolak belakang dengan suhu di Jogja. Jam 11 malam sudah pasti menjadi fase mimpi indah buat bapatua dan mamatua, karena sepi dan dingin sudah membiasakan mereka untuk tidur malam selalu lebih awal, jam 8 selimut sudah membaluti tubuh mereka, menunggu kantuk menyerang di depan televisi dengan bara arang yang hangat yang biasanya ditaruh di kaleng bekas atau kuali bekas, alat pemanas ruangan sederhana, yang siap menghantar mereka pada istirahat.


Malam ini tiba-tiba aku terpikir tentang bunga kerinduanku yang lain, yakni sebuah rencana menuliskan kembali silsilah keluarga besar pihak ibuku yang bermarga Kamlasi, aku merasakan rindu yang mendalam ketika tanpa sadar mulai menulis sepotong ranting silsilah dari pihak ayah dan ibu yang membuahkan delapan bersaudara termasuk aku didalamnya yang paling akhir. Aku lantas tersenyum panjang sekali membaca deretan nama-nama indah saudara-saudaraku. Rasa kangen ini hanya akan terus membuat lorong imajinasiku terasa panjang dan aku bebas menjalaninya, menumpahkannya kedalam tulisan. Aku selalu keranjingan menulis!

Aku begitu kangen dengan dinamika sehari-hari di rumah, melihat bapatua begitu menyayangi ternak-ternaknya segerombolan babi ras dan dua ekor sapi kebanggannya. Sebelum tidur ia pakai untuk memasak makanan untuk babi-babi berupa campuran daun keladi, umbi keladi, ampas kedelai sisa proses pembuatan tahu ditambah sisa-sisa makanan. Sebelumnya ia juga sudah mengguling rendaman kedelai lantas mengolahnya menjadi tahu.

Pagi-pagi buta, saat kabut masih tebal membaluti seantero kota kecil bernama ‘Kapan’ itu, bapatua dan mamatua sudah bangun memasak air, menanak nasi, memberi makan babi, membangunkan 4 orang cucunya yang kebetulan tinggal bersamanya untuk bersiap-siap ke sekolah. Tak lupa pula ayah menengok dua ekor sapinya untuk memastikan mereka masih berada di tempat yang masih banyak rumputnya.


Aku selalu kangen dengan omelan ibu juga dengan masakan beliau, perpaduan rasa antara Timor-Jawa-dan Flores, itulah uniknya keluarga kami, ibu begitu fasihnya mencampuradukan rasa makanan sehingga hal itu akan nyaman di lidah ayah yang orang Flores tapi juga dilidahnya yang sangat kental dengan rasa ‘kejawen’ abis he-he. Saya suka tumis daun singkong, sambal goreng tempe, juga kue talamnya. Ketika musim jagung muda beliau gemar membuat dodol dari jagung muda, uhh, enaknya!
Lain halnya dengan bapatua, hari-harinya selain mengurusi ‘anak kost’nya, sebutan sayang buat binatang-binatang piaraanya, biasanya dihabiskan ke kebun singkong, pisang dan jeruknya. Dulu pernah dicobanya menanam apel dan vanilla tapi gagal, tak cocok mungkin. Dulu, pasca pensiun dna masih kuat ia aktif menggarap sawah di kampung ibu puluhan kilometer lagi dari rumah, tapi kini diberikan ke orang lain dengan sistem bagi hasil. Jadi kangen juga sama suasana di sawah, saat panen yang membuat badan ini gatal-gatal, saat mandi di kali, saat menyantap singkong rebus dengan sambal, hmm, masa kecil yang indah!

Kini sesekali ayah dimintai bantuannya untuk membantu sebagai penyuluh pertanian atau sebagai penasehat di lingkup kecamatan atau desa, maklum ayah tergolong ‘sesepuh’ meski ia bukan asli disana, ia pendatang, kase, hanya saja kebetulan punya pengalaman yang lebih makanya ia dihormati di kampungku. Aku ingat dulu pernah ia tolak berkali-kali tawaran untuk menjadi kepala desa atau terjun ke dunia politik. Itulah sosok yang selalu aku kagumi, pendiam, tidak banyak bicara, tapi pekerja keras. Ia mungkin bisa selalu miskin kata-kata atau ucapan tapi aku selalu merasa ia sangat kaya kasih sayang!

Ia berbeda dengan ibu dalam beberapa hal. Mungkin inilah yang membuat mereka begitu klop dalam segala setuasi. Ibu atau mamatua tergolong cerewet tapi sangat-sangat penyayang. Ia sosok ibu yang selalu berjuang untuk mesejahterakan suami dan anak-anaknya fisik dan psikis. Sudah kubilang ia jago sekali dalam memasak, hal yang membuat beberapa dari kami anak-anaknya juga bisa atau terbiasa memasak. Dalam hal lain dia sangat perhatian dan selalu uring-uringan jika anak-anaknya sakit atau disakiti he-he…

Aku masih kangen dan merasa bangga dengan keberadaanku dalam keluarga besar ini. Kami bersaudara berdelapan, aku anak paling ekornya, sekaligus anak yang tumbuh dengan kasih sayang yang lebih bahkan kadang aku sendiri merasa berlebihan, karena aku sudah ketagihan, aku menjadi manja. Aku rasa itu menjadi wajar dalam keluarga besar dan aku ada ketika ayah sedang menjelang masa pensiun makan itu mungkin menjadikan akulah yang begitu dekat ketika saudara-saudaraku pergi bersekolah keluar rumah, dan aku menemani ayah dan ibu yang sedang merasakan artinya pensiun itu. Itu menurutku.


Aku tak tahu lagi harus melanjutkan isi hatiku, rasa kangenku yang mana lagi, kini aku hanya bisa berharap waktu secepatnya bisa membawa tubuhku benar-benar nyata dalam dekapan bapatua dan mamatua, aku ingin mereguk kekuatan dah kehangatan mereka sesaat yang aku yakini itu selalu menguatkan langkahku. Jujur ketika menulis ini, yang kubutuhkan adalah hanya tenaga untuk menggerakan jari-jari ini di laptop dan harus berpikir panjang, saya membiarkan otak dan perasaan ini bekerja dan semua terlampaui menjadi tulisan ini. Tumpahan rasa kangenku.

Aku hanya kangen, aku ingin pulang, ingin tidur di samping bapatua dan mamatua, seperti dulu-dulu. Aku hanya butuh ketenangan dari sifat bapatua dan kerjakeras darinya, senyum dan tawa dari hati mamatua, aku inginkan itu, aku ingin menaruhnya dalam gelas-gelas di hatiku sampai penuh, ini obat mujarab saat-saat aku melangkah menelusuri masa depanku. Masa dimana aku bisa berjalan dan juga bisa merasakan bahwa aku adalah kepingan dari hati-hati mereka, itu diriku, aku adalah senyum mereka, hatiku adalah hati mereka, senyumku adalah senyum mereka dan berharap ketulusan yang sedang kuretas ini adalah benar-benar tumpahan dari jiwa mereka.
aku kangen bapatua, aku kangen mamtua….

Jogja, 15 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...