Sabtu, 28 Februari 2009

Pramuka Syuradikara: Pengalaman Menggelikan berkaitan dengan 'LENCANA'

Ini kisah yang menggelikan (*mungkin juga memalukan bagi Pramuka Syuradikara he-he*), maafkan teman-teman pramuka jika saya membocorkannya disini, dan berharap semoga menjadi lebih baik, jangan sampai terulang. Semua tahu bahwa ektrakurikurel pramuka di syuradikara memanglah selalu ‘mati angin’, kadang muncul, kadang lenyap, kadang diakui dewan guru dan penasihat dari dewan guru (pak Frumen dan ibu Erna), tapi kadang yah sudahlah larut begitu saja dalam kevakuman yang panjang hihihi

Dan kisah berikut bisa jadi karena akibat dari ketidakkonsistenan siswa dan guru (pihak syuradikara sendiri) untuk benar-benar mendukung ekstrakurikuler pramuka secara penuh. Ini terjadi saat rangkaian acara menjelang hari pramuka agustus 2004. Saya bangga pada teman-teman pramuka yang begitu bersemangat tetap menjalankan kegiatan pramuka meski tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari sekolah (hmm, bade plus crew? he-he).

Saat itu kami harus menghadiri beberapa malam perayaan di lapangan Perse. Waktu itu kelas 3 sudah pasti menjadi senior, meski tanpa tanda/atribut bahwa seseorang sudah benar-benar senior, melewati serangkaian prosedur yang umumnya dialami teman-teman anggota pramuka dari sekolah lain, sehingga namanya tanda ‘lencana’, dsb, tidak kami miliki. Mungkin atribut-atribut bergengsi hanya dimiliki beberapa teman, misalnya Marsi Seda yang kebetulan aktif di kepramukaan dibawah Polres Ende. Selebihnya ‘gadungan’, hanya bermodalkan sprit dan kecintaan pada kegiatan bernama pramuka, abis mau apa lagi, sekolah sebesar Syuradikara sangat-sangat minim kegiatan ekstrakurikuler. Yang ada cuma sedikit dan itu-itu saja he-he, sangat membatasi kreatifitas siswa. Guru-guru seolah tenggelam dengan kesibukan mengajar dan terus mengajar di kelas. Sayang sekali.

Singkat cerita, saat malam perdana kegiatan di lapangan Perse kami para senior benar-benar diperlakukan tidak menyenangkan, sebagai yunior, anak bawang, pasalnya karena kami tidak memiliki ‘lencana’ sebagai tanda pengenal bahwa kami adalah senior dari pramuka Syuradikara, yang bukan saja umur, kelas yang sama tapi juga memiliki ‘kedudukan’ yang sama. Tapi apa boleh buat, malam itu kami benar-benar ‘gondok’ habis-habisan. Mau berkelit tapi kami tak punya bukti. Yah sudahlah. Tapi dasar status kami yang memang tidak jelas, tidak diakui, baik itu dari sekolah sendiri atau sekolah lain, yah sudah kenaifan dan keegoisan kami pun muncul tiba-tiba seolah memang harus ada untuk mendukung harga diri kami, gengsi dong, meski benar bahwa kami adalah raja di kandang sendiri tapi menjadi babu di ruma orang hihihihihi…


Solusinya memang tidak cerdas yah disaat kepepet, apa boleh buat, percaya diri saja, meski ini menyalahi aturan yang berlaku. Namanya juga remaja ABG yang memang seolah dekat dengan lingkaran bernama nekat dan nakal sekaligus hehehhe…
Maka diputuskan untuk mengumpulkan uang kurang dari Rp. 5000,-an untuk membeli lencana berwarna hijau yang merupakan lambang supremasi tertinggi para anggota pramuka senior setingkat SMA. Akhirnya malam itu kami kembali ke lapangan Perse dengan atribut baru dengan begitu bangga (*aih, jadi ingat Marsi, Echa, Chyntia, Telly, Melus, Sofi dan Aron Dewa he-he*). Malam itu kami benar-benar dianggap, diperlakukan sebagai sesama senior, ada pengakuanlah dari pramuka di sekolah lain. Ada perasaan geli, lucu, malu, bangga sekaligus bercampur.

Saya kira inilah gambaran betapa dukungan sekolah dan pihak guru terhadap sesuatu hal/kegiatan yang menjadi keinginan siswa jika tidak diindahkan, diakui, dan didukung makanya jadinya begini. Bagaimana kita mau mendapatkan pengakuan, penghargaan dan dukungan dari pihak lain sedangkan pihak internalnya sendiri begitu tidak jelasnya dalam bersikap. Padahal kami sendiri suda membuktikan beberapa prestasi bahkan dengan aktif di pramuka, beberapa kali memenangi lomba-lomba kepramukaan. Saya kira kejadian ini menjadi masukan bagi pihak Syuradikara untuk tanggap dengan potensi siswa-siswinya di luar dari kegiatan akademik semata. Syuradikara memang membutuhkan banyak figur-figur semacam bapak Ferdy Levi, yang bisa concern di berbagai bidang tidak hanya nyanyi atau drumband semata.

Bagaimana menurut Anda? Adakah masukan ke Syuradikara soal EKSTRAKURIKULER?P

1 komentar:

  1. sampai sekarang pun rasanya pramuka masih dipandang sebelah mata, oleh pihak sekolah--

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...