Kamis, 15 Januari 2009

Sejenak Melongok Marcella Zalianty di Bawah Pohon


Saya barusan keluar dari studio 5 dan berpikir sejenak ‘…namanya Marcela Zalianty, aktris muda berbakat, yang berperan sebagai Maharani seorang anak penari yang khusus datang dari Jakarta khusus untuk mencari jejak ibunya. Dai bermain baik sekali di Under The Tree ini, dan saya mau bilang dia dia bermain gemilang…itu saja. (*sambil mencoba membuang jauh-jauh pikiran bahwa dia kini seorang tersangka!*). Tapi ternyata saya harus larut dalam pikiran bahwa mungkin saja Marcella dalam posisi yang terancamkah? sudah runtuhkah karir beliau? ah, saya seharusnya tidak berpikir terlalu jauh soal ini. Saya hanya mau (*dan mencoba mengalihkan pikiran 100%*) membicarakan Marcella yang ‘indah’ sekali ‘di bawah pohon’, atau Ayu Laksmi (sebagai Dewi) yang hendak ‘natural’ juga di ‘bawah pohon’ atau Nadia Saphira (sebagai Nian, ABG Jakarta, anak Koruptor!) yang entah ada dan tiada (lagi) ‘di bawah pohon’. Yah, saya mau merung kembali bangunan filmnya Garin Nugroho bernama ‘Under The Tree’.
(*1,5 jam yang lalu*). Saya turut mengawali kemunculan Marcella sudah tercenung dalam sebuah taksi, oh my god…Marcella. Ini karena mind set saya menuliskan dengan cukup kuat ‘Marcella sudah di ruang tahanan’ sehingga saya kaget. Ah, betapa tolol dan lemotnya saya he-he. Saya terkecoh. Lupakan infotainment, konsentrasilah pada Under The Tree (UTT).
(*dan benar karenanya saya sudah kehilangan momen sekian detik yang berharga diawal film ini*).

Saya sedang belajar untuk mengapresiasi film-film Indonesia, hanya saja saya sudah mewanti-wanti diri saya untuk membatasi hanya menonton film Indonesia yang bermutu saja. Klasifikasinya, lihat dulu siapa sutradaranya (*Garin, Joko Anwar, Riri, Nan T, Nia Dinata, adalah nama yang sudah pasti akan saya katakana ‘yes!’*), tema ceritanya, pemainnya, saya juga harus membatasi diri untuk film-film horror Indonesia dan komedi ‘esek-esek’ murahan yang juga punya Indonesia. Maaf yah. Saya pun terbiasa melihat cuplikan film dahulu di Youtube, membaca rensensi, baru deh memutuskan yah atau tidak. Saya harus berterima kasih setelah belakangan ini menonton film Indonesia yang lumayan baiklah, semisal Kala, the Photograph, Opera Jawa, Fiksi , Laskar Pelangi, 3 Doa 3 Cinta hingga yang terakhir ini Under The Tree. Maka sayapun harus berterima kasih buat orang-orang hebat tadi, paling tidak ada sedikit harapan yang cerah buat perfilman Indonesia kedepan.
Saya cukup kaget ketika membaca bahwa ternyata di UTT kali ini Garin sama sekali tidak memakai skenario, pemain dibebaskan untuk mengeksplorasi dialog-dialognya. Saya harus memastikan ketika belum masuk studio, ternyata benar, di poster filmnya memang tidak ada penulis skenario. Hebat. Dan terbukti ketika saya menonton. Semua mengalir. Kecuali Ikranegara, Marcella dan Nadia yang memakai bahasa Indonesia, para pemain yang notabene orang Bali justru ‘natural’ dengan bahasa Bali. Hmn, menarik memang. Tidak tanggung-tanggung selain Ayu Laksmi (*yang mantan rocker itu*) dan Aryani Kierkenberg Willems yang asli Bali ada juga maestro-maestro tari Bali terkenal seperti Ni Ketut Cenik yang masih luwes di usia 80 tahun, Ayu Ketut Muklen, Ni Ketut Arini, I Ketut Rina dan Dr. Bulan Trisna Djelantik. Saya pun sedikit (*sedikit saja*) maklum dengan akting-akting mereka yang yang notabene bukan aktor, namun bukankah mereka seniman tari yang juga terbiasa untuk ‘berpura-pura’? ah, saya harus menarik peryataan tadi, ‘kemakluman’ saya tadi he-he.
Jika Opera Jawa terasa begitu ‘berat’ bagi saya karena sangat-sangat surealis, UTT jelas lebih mudah dicerna, karena bukan cerita mitologi Jawa tapi ini benar-benar realitas yang ada di Bali, kehidupan seniman Bali, tari kecak dan sendratari Calon arang yang penuh mistik, soal aborsi, soal cinta antara anak-ibu-bapak-anak, soal kehidupan yang mirip dengan pohon itu sendiri. Sangat humanis! karena mengangkat tema human traficking, aborsi, cinta antar manusia,dll.
(*poster film dalam dengan gambar janin yang kompleks membentuk seperti sebuah pohon*).
Saya teringat dengan teori psikologi, soal tes kepribadian, tes grafik dan Rorscach yang juga membahas kehidupan manusia, dinamika seseorang dari yang sederhana menjadi kompleks, dari id, ego hingga superego, tak sadar hingga sadar, dari akar hingga pucuk daun, kehidupan itu sendiri. Yah, ilmu psikologi kerap menganalogikan kehidupan ibarat sebuah pohon. Sama halnya dengan yang sudah direpresentasikan Garin Nugroho dalam UTT ini.
Saya jadi sadar, oh, ternyata Indonesia kaya sekali dengan tema-tema yang sebenarnya layak untuk diangkat kedalam medium film, banyak hal-hal positif yang ada disekitar kita yang baru sedikit terjamah. Saya juga harus berterima kasih buat Garin Nugroho yang sejak dulu begitu konsisten mengangkat budaya Indonesia kedalam film. Kita kaya, hanya butuh orang-orang kreatif untuk mengolahnya jadi indah. Siapa yang bisa membantahnya???
Saya tidak perlu membahas lebih banyak soal akting para pemain atau keseluruhan film ini. Perfecto! Gaya pengambilan gambar di UTT lebih baik, bergerak, dinamis, keren. Hanya saja saya ingin menitipkan kritik buat Garin,…kok gambarnya buram banget, saya tidak bisa melihat ‘warna’ Bali dengan indah, alam Bali, laut Bali!
Akhirnya saya menutup tulisan ini dengan harapan perfilman Indonesia kdepan akan lebih baik sambil menanti Pintu Terlarangnya Joko Anwar yang akan tayang tanggal 22 Januari nanti atau debut perdana Slank di film Musikal ‘Generasi Biru’ yang lagi berkat tangan dingin Garin, film ini akan di putar bulan depan. Adakah film Indonesia berikut yang patut di tonton???
(*lagi..saya teringat nasib Marcella Zalianty, muda, berbakat…ah, nasib orang siapa tahu? Tuhan dan Tuhan lewat Mama Lauren he-he…semoga!!!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...