Selasa, 02 Desember 2008

Review Novel 'Sang Pemimpi'


Ini novel kedua dari rangkaian tetralogi Laskar Pelangi (LP), yang agak telat saya baca he-he…Sama ketika film LP menghebohkan perfilman tanah air hingga menjadi top box office (kabar terakhir film ini sudah menyedot kurang lebih 4,3 juta untuk penonton bioskop, artinya belum terhitung jumlah penonton layar tancapnya. Wah!). Malah kini novel terakhir ‘Maryamah Karpov’ juga telah menyerbu pasar buku tanah air, kita lihat saja reaksinya.
Sang Pemimpi bagi saya ketika belum membaca akan seperti isi novel LP, penuh kejutan dan kaya (diluar dari isi LP soal pendidikan tanah air dan kemiskinan di daerah tambang, saya tertarik dengan kreatifitas Andrea mengolah pengetahuannya akan dunia sains, karena banyak istilah sains justru membuat novel LP makin kaya!). Sayang hal tadi tidak saya dapatkan di novel Sang Pemimpi ini. Awalnya terasa membosankan, unsur komedi yang terkesan ‘maksa’, nilai moralnya juga tak sekaya di LP. Dan yang mengganggu saya adalah tokoh Jimbron yang gagap dan tergila-gila pada kuda itu. Itu dia jatuhnya ‘maksa’ jika Andrea beralasan menambah unsur komedi. Secara keseluruhan isi novel ini kurang menggigit (sama dengan perasaan saya setelah menonton film LP beberapa waktu lalu).
Berikut yang menjadi pertanyaan saya adalah perbedaan cerita ketika Andrea ke Jakarta. Jika di LP dikatakan ‘…setelah tamat SMA, aku (Syahdan), Ikal, Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau ke Jawa…’. Kecuali Trapani (saya selalu kasihan dengan tokoh yang diceritakan mengalami ‘mother complex’ ini. Namun bedanya pada Sang Pemimpi, Ikal pergi ke Jakarta bersama Arai, bukan dengan anggota LP lainnya, bahkan dalam SP yang menceritakan kehidupan Ikal selama masa remaja (SMA) namun tak pernah ada kaitan lagi dengan tokoh-tokoh LP. Jika SP adalah kelanjutan dari LP kok beda yah?? Atau memang bahwa novel ini merupakan bagian dari tetralogi LP tetapi ceritanya beda atau bagaimana? (Beritahu saya jika ini salah saya memahaminya…).
Seperti yang sudah saya bilang tadi, banyak ‘kekutan’ di LP misalnya penggunaan istilah sains. Saya kira itu kekuatan LP. Mungkin karena keinginan penulis mencoba gaya penulisan yang lebih ringan serta ada unsur komedinya yang menjadi novel ini bagi saya masih kurang. Atau mungkin karena situasi masa SMA memang sudah ‘lebih medingan’ ketimbang masa-masa sulit di SD yang menjadi andalan Andrea dalam bercerita. Apapun itu saya kira kehadiran Andrea sebagai penulis baru sudah menambah khasanah kesusastraan tanah air. Saya makin tak sabar untuk membaca Edensor dan Maryamah Karpov (he-he…saya selalu agak telat untuk hal ini). Maaf buat para pembaca LP yang fanatik dan pasti punya penilaian berbeda dengan saya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...