Minggu, 14 Desember 2008

KADO ULTAH: DUA GIGI PALSU!!

Kata orang mendingan sakit hati (bukan liver lho he-he) daripada sakit gigi? Apa iya? Saya sendiri kesulitan membadingkan kedua jenis ‘penyakit’ tersebut, pasalnya saya jarang sakit gigi meski baru sekali sakit (ampun deh rasanya), sungguh tak mengenakan, dan soal sakit hati ini bukan sekali tapi sudah berkali-kali. Banyak kali sampai saya lupa mengingatnya satu per satu. Anda mungkin akan menganggap ‘…ah ini bisanya penulis saja, iya kan?’ (maaf juga jika dugaan saya ini salah, soalnya saya bukan Mama Lauren sih hwekekekek… Lain kali saya ingin menulis ‘perasaan’ saya jika seolah-olah saya ‘Papa’ Lauren, karena saya laki-laki tentu saja, wah sepertinya menarik).
Kembali ke Laptop. Kembali lagi soal sakit gigi (sakit hatinya tak perlu dibahas lha saya sudah lupa e…). Bertahun-tahun setelah gigi susu saya tanggal kemudian berganti jadi gigi ‘permanen’ saya memang tidak terlalu memperdulikan perawatan gigi yang benar, misalnya saja dari hal-hal kecil gosok gigi setelah makan dan sebelum tidur, selalu ‘sadar’ untuk mengkondisikan gigi kita dalam keadaan basa bukan asam, karena jika Anda membiarkan kondisi gigi serta mulut asam maka sama artinya Anda menyiapkan pesta pora bagi kuman sekeluarga, plus teman-teman, tetangga, beserta segenap kerabat, yah pokoknya lengakp deh. Jika dibiarkan lama maka lubang-lubang tidak kasat mata akan bermunculan, sekali lagi kasat mata sehingga Anda selalu percaya diri bahwa gigi-gigi Anda sehat walafiat saja padahal tidak! Kemudian lubang-lubang tersebut akan ‘kasat mata’ namun ‘tidak kasat perasaan’. Maksud saya adalah gigi-gigi Anda sebenarnya sudah berlubang dengan tanda banyak titik-titik hitam, beruas-ruas yang umumnya ada di seputaran geraham, tapi ‘perasaan’ kita baru mengatakan gigi itu lubang kalau sudah kemasukan makanan, sudah terasa nyeri, itu baru namanya lubang, tidak kasat perasaan tadi. Semua menurut mbak ‘Via’ yang cantik, asisten dokter di Rumah Sakit Gigi Universitas Gajdah Mada tempat saya merawat gigi saya yang sakit ini.
Ternyata gigi saya tidak sekedar sakit, lubang yang saya anggap tidak apa-apa itu ternyata sudah menjadi apa-apa, maksudnya sudah bolong besar, patah dan jalan keluarnya adalah cabut, dua geraham belakang sekaligus. Ini akibat dari masa bodohnya saya, tidak kasat perasaanya saya. Jangan ditiru. Tirulah anjuran mbak Via untuk selalu membuat kondisi gigi kitaa basa setiap saat, selesai makan langsung bersihkan. Seumur hidup dua geraham belakang dicabut. Sakit iya, ampun deh! Selesai kiri, yang kanannya dua bulan kemudian, masih takut sekaligus lagi tidak punya uang. Waktu berikut saya benar-benar harus mencabutnya karena sakit yang tak tertahankan, pesta pora para kumaners seolah tak berakhir. Karena masih bokek, maka alternatifnya adalah rela-rela dicabut oleh para mahasiswa kedokteran gigi yang lagi praktik. Soal rasa ada dua. Pertama, karena bukan dokter ketidaknyamanan selama pencabutan akan cukup membuat deg-degan. Kedua, kebalikannya, paras mahasiswi kedokteran gigi UGM yang terkenal cantik-cantik itu juga membuat saya deg-degan, tapi membuat ketagihan. Aha, Anda mau merasakannya juga, ibarat es krim, dua rasa berbeda sekali gigitan. Hmn, nyam, nyam!
Tapi, saya kembali sedih lagi. Usia 21 tahun, ompong dua? Kalah telak 2-0!

(Setahun kemudian, kira-kira begitu.)

Kabarnya mbak Via yang cantik itu sudah hampir wisuda menjadi seorang sarjana kedokteran gigi. Soal gigi saya, empat yang tercabut sudah tergantikan oleh dua geraham baru di deretan paling belakang dua di atas, dua di bawah. Sayang, karena di depannya bolong makanya gigi-gigi baru itu tumbuh tidak rapi dan ‘menjulang’ ke atas melainkan miring ke depan, ke arah ruang yang bolong. Gigi tak lagi sakit, namun hati kembali sakit. Kali ini saya boleh terus terang, apa enaknya punya gigi yang tak rapi, ada bolongnya lagi. Setelah ‘insiden’ tanggalnya dua geraham belakang saya, kesadaran akan kesehatan gigi dan mulut perlahan mulai saya tingkatkan. Selesai makan, gosok gigi. Sebelum tidur, gosok gigi. Bila perlu tak ada lagi pesta buat kuman dan keluarganya. Saya jadi rajin ke kedokteran gigi UGM, kontrol murah dengan mahasiswa yang sedang praktik, sekali bersihkan karang gigi dengan paket hemat dan menambal salah satu gigi saya yang berlubang, murah meriah karena dikerjakan oleh mahasiswa (jika dikerjakan dokter harganya bisa berkali-kali lipat, namun karena pekerjaan mahassiswa juga masih dalam pengawasan dokter maka saya berani-berani saja), untungnya lagi bahwa semacam ada kebijakan pasien pria ditangani mahasiswi, pasien wanita ditangani mahasiswa. Keuntungan lain adalah saya sudah punya nomor hape dua mahasiswa kedokteran gigi UGM. Yah, hitung-hitung buat memperluas jaringan pertemanan.
(Tiga bulan kemudian, tanggal 10 Desember 2008, kira-kira jam 6 sore, ada SMS masuk ke hape saya. Aha, dari Tia, anak kedokteran gigi yang dulu membantu menambal gigi saya)
‘Mas Chris, mau gak dua giginya yang bolong diganti dengan gigi palsu. Maaf mengganggu, Tia.’. Saya langsung membalasnya ‘Oh, Tia gpp. Kalo saya sih mau-mau aja, tapi lagi gak punya duit e. Sori yah.’ Tak lama SMS saya dibalas lagi ‘Oh, gpp Chris, nanti saya yang bayarin, kalau mau besok siang ke kampus.’. Saya balas ‘Ok, besok jam 10 setelah dari kampus saya kesitu, makasih.’
Ah, bagai kejatuhan nangka runtuh (karena saya benci durian, maka saya gantikan dengan nangka, gpp yah? he-he). Ternyata Tia kesulitan menemukan pasien untuk praktikumnya. Ia lantas mengingat saya, pasiennya yang ganteng ini (narsis boleh dong…he-he) yang kebetulan punya dua lubang yang bolong bles bles. Dan saya tak perlu berpikir dua kali lagi. Gratis. Karena biaya pasang gigi palsu sekarang plus minus Rp. 500. 000,- sudah termasuk kontrol. Dua gigi berarti sejetis alias sejuta rupiah. Bagi saya yang anak rantau lagi menetap di kos, wah sungguh berkah. Saya lantas jadi tahu bagaimana pengorbanannya seorang mahasiswa kedokteran gigi, yah mencari ‘pasien’ sendiri, mencari ‘sukarelawan’. Simbiosis mutualisme lah. Dari temannya yang lain saya mendapat informasi, kadang yah bapak atau ibu kos yang kebetulan sakit gigi dibawa jadi pasien, kadang teman di fakultas lain, keluarga, dsb. Saya lantas memikirkan bagaimana saya yang jadi mahasiswanya? Sudah berapa duit yang saya keluarkan milalnya untuk praktikum konservasi gigi, praktikum pembuatan dan pemasangan gigi palsu. Ah, betapa beruntungnya saya. Puji Tuhan saya selalu diberi kebaikan lewat orang lain. Dan saya mau juga membaginya buat orang lain. Indahnya hidup dengan saling tolong menolong. Tia sudah membantu saya dari efek ‘kopong’ mulut (maksud saya tonjolan pipi ke dalam) yang mungkin saya alami di masa muda saya jika tidak ada gigi pengganti. Ah, terima kasih. Ini seolah hadiah untuk ulang tahun saya yang ke-22 nantinya. Kado ultah berisi 2 gigi palsu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...