Minggu, 07 Desember 2008

Cerita Hari Minggu: Saya, Kompas dan Samuel Mulia

Waktu baru pukul 01.15 WIB, ketika keributan di tetangga sebelah kamar kos saya memaksa saya untuk ‘bangun’ lebih awal, dan sejak detik itu saya bena-benar diserang kesulitan untuk jatuh tidur lagi. Padahal rencana saya pagi nanti saya akan menghadiri misa pukul 07.30 WIB. Jika saya baru akan tidur misalkan saja pada pukul lima pagi maka sudah pasti saya akan bangun 8 jam kemudian, meski dua alarm sekaligus saya pasang. Ini kelemahan yang sudah saya ‘idap’ dua bulan belakangan ini. Alhasil pada hari-hari lain saya bisa terlmbat kuliah.
Untungnya pagi itu saya bisa jatuh tidur diluar dugaan, artinya tak sampai pukul 2 pagi. Sayang kali ini hujan benar-benar datang di luar dugaan, sejak pagi-pagi buta Kota Jogja sudah diliputi kabut tipis dan rintikan hujan yang membosankan, maka jadilah penyakit ‘M’ alias malas menyerang, tak perlu lama buat terjatuh lagi dalam pelukan guling dan hangatnya ‘ragi’ (sarung khas suku Ende-Lio khusus laki-laki) hitam pemberian kakak bapak saya di Paga, Maumere sana. Seolah sekejap mata, eh kagetnya sudah pukul 10 lewat. Dengan ‘M’ lagi, saya ke WC untuk menunaikan ‘kewajiban’, membasuh mukan dengan air, wuih segar! Ckck, semenit kemudian segelas sereal kacang hijau plus donat sisa semalam saya lahap hingga tuntas. Pikiran pulih, tenaga meningkat maka saatnya untuk mandi. Di luar masih saja rintik yang seolah memancing penyakit ‘M’ku untuk betah selama mungkin. Tapi ‘naluri mingguan’ (cieh ribet yah banyak istilah, yak inilah subjektifitas.) sepertinya selalu kuat saban minggu pagi. Ada apa?
Saya punya kebiasaan setipa minggu pagi, selain ke gereja (nyatanya pagi ini batal, berharap sih sore nanti tidak hujan sehingga penyakit ‘M’ saya tak perlu datang), saya biasanya selain membersihkan kamar, ke warung makan, maka yang tak pernah lupa adalah ke kantor redaksi Koran Kedaulatan Rakyat, baca Koran gratis sekaligus membeli Kompas edisi minggu. Yah, Kompas edisi minggu yang sudah 3 tahun membuat saya jatuh cinta. Kompas harian pun adalah salah satu bacaan harian utama saya (cieh, hehehe). Dulu sih pernah langganan bersama teman-teman kos tapi tidak lagi. Kalau berlangganan pribadi sih muahal, tak sanggup saya. Setahun lalu ketika Kompas membuat gebrakan Rp. 1000,- per eksemplar khusus edisi siang maka saya untuk beberapa hari jika ada recehan sewuan (seribuan) maka saya membeli. Solusi lainnya adalah rela antri baca Kompas di perpustakaan kampus. Tetapi soal Kompas edisi minggu, tetap, wajib, harus, saya beli he-he. Kini ketika Kompas online makin keren di www.kompas.com maka jika sedang ke warnet portal ini menjadi wajib untuk dikunjungi. Kompas bagi saya adalah salah satu media (koran maupun websitenya) yang terbaik di tanah air. Soal edisi minggu saya tentu punya alasan sendiri bahwa pada edisi ini kompas sudah bisa memuaskan hasrat dan keinginan saya akan informasi yang berhubungan dengan Sastra, Psikologi, Sinema, Seni dan hiburan secara umum. Ada beberapa kolom favorit saya di kompas minggu antara lain Parodinya mas Samuel Mulia, Psikologinya bu Sawitri,dkk, artikel-artikel soal film dan seni dari bung Dahono F, Bre Redana, dkk, kolom sastra (puisi dan cerpen), TTS, dan karikatur mulai dari Panji Koming, Sukribo hingga Beny & Micenya yang gokil. Semuanya keren, menghibur, informatif dan inspiratif. Selain itu saya pun tahu soal politik, ekonomi hingga filsafat justru dari Kompas, terutama di edisi selain hari minggu, di kolom Opini utamanya. Kini secara perlahan saya pun melek (atau tidak gagap lagi) berbicara soal politik, soal ekonomi, soal kebudayaan, soal filsafat bahkan dengan teman-teman saya, dengan dosen saya, wah bangganya. Terima kasih Kompas. Sebenarnya banyak kolom-kolom bagus lainnya kok.
Maka ketika Kompas edisi minggu sudah ada di tangan saya, maka lembaran yang pertama saya buka dan saya baca adalah kolom Parodinya mas Samuel Mulia seorang penulis mode dan gaya hidup terkemuka di Indonesia, berikutnya kolom cerpen, puisi baru kolom psikologi, selanjutnya terserah mata dan perasaan ini akan beranjak ke mana. Parodi ala Samuel memang selalu menyegarkan hari Minggu. Dengan ulasan yang sederhana, sangat inspiratif, sedikit bumbu kocaknya (yang saya duga sudah menjadi bagian dari pribadi sang penulis). Rata-rata yang ditulis adalah pengalaman pribadi penulis namun yang menjadi menarik adalah kemasannya, cara berceritanya, simple tetapi berisi. Kadang soal remeh-temeh, tapi itulah kehidupan, itulah manusia, hal kecil bisa saja terjadi dan yang saya tangkap dari ulasan mas Sam adalah bahwa justru hal-hal kecil itu yang kurang atau bahkan luput dari perhatian, atau bahwa yang kecil bisa jadi bermakna besar bagi kehidupan. Sama seperti orangnya yang kecil mungil, tetapi soal rasa dan pengalaman tentu penulis punyaa kelebihannya sendiri. Lucunya adalah saya lebih tahu dan mengenali hingga akrab dengan tulisannya duluan bahkan tiga tahun lamanya, ketimbang sosoknya. Awalnya yang mana sih wujudnya? Itu baru terjawab ketika tidak sengaja saya menonton acara Metro 10 di Metro TV, yang kebetulan acara polling tersebut menayangkan komentar mas Sam sebagai salah narasumber tayangan tersebut. Oh, ini toh Samuel Mulia itu. Belakangan saya lebih mengenal akrab dengan beliau justru lewat Facebook.
Ketika siang ini membaca Parodinya, maka saya pun dibolehkan untuk tertawa sepuas-puasnya oleh diri dan kesadaran saya, oleh hari minggu yang sendu oleh rintik-rintik hujan. Ini soal tulisan ‘Susah Senang’nya. Ada dua hal yang menarik perhatian saya untuk berefleksi lebih mendalam dari tulisan itu, nyatanya justru berupa kalimat ulangan dari penulis yang ia dapatkan dari orang lain (pelajaran moral yang lain bahwa berbanyaklah relasi, pertemanan, pergaulan, banyak hal positif yang bisa didapatkan, sama halnya yang selalu digembar-gemborkan Samuel tiap minggunya). Yah, pengalaman adalah guru yang baik. Pertama kata-kata dari bokapnya Mas Samuel, ‘pilihan untuk sekolahmu selama ini atas inisiatifmu, bukan saya. Sekarang karena alasan susah kamu memutuskan pindah jurusan. Ini yang terakhir saya biayai. Tetapi ingat, kemanapun kamu pergi, disana juga selalu ada kesusahan. Bahkan ke tempat yang kamu pikir kamu benar-benar suka’.
Kedua datang dari SMS yang dikirim teman Samuel kepadanya, ‘Mengapa Tuhan menciptakan ruang di antara jari-jari kita? Karena ia ingin mengisi ruang yang kosong itu dengan tangan-Nya sehingga kita tidak merasa sendirian dalam keadaan apa pun’.
Saya kemudian sadar bahwa hidup ini ibaratnya koin mata uang dengan dua buah sisi, baik dan buruk, susah dan senang, lowong dan berisi, dalam satu tubuh. Hal yang kadang belum bisa saya terima. Dalam hidup saya kadang masih saja berniat lalu kabur dari susah itu. Benar kata mas Samuel bahwa soal susah dan senang dalam hidup tak ada pilihannya mau yang mana. Yah, koin mata uang tadi itu, meski yang dilihat adalah sisi senangnya tetapi tetap sisi susah ada dibaliknya, disisinya yang selalu menemani, dibawa kemanapun. Ah, terima kasih untuk tulisannya mas Samuel. Kapan-kapan boleh kok saya menjadi guide Anda soal keinginanmu mengunjungi Flores yang pernah disampaikan lewat Facebook itu he-he…
Ketika masih membolak-balik halaman Koran, mata saya tertuju gambar sosok bu Muslimah, pak Harfan dan para laskar pelangi. Ah, novel dan juga film yang sudah banyak member pelajaran moral buat saya. Teringat lagi masa-masa ‘sulit’ pendidikan SD saya di pelosok Mollo Utara, saat dimana kekurangan masih tampak jelas disana-sini. Merasakan ruang kelas yang bocor, berusah payah mengisi penuh bak di toilet sekolah hingga belajar menghitung menggunakan potongan-potongan kayu kecil atau lidi. Itu belasan tahun lalu, hal yang sayang masih dialami oleh anak-anak generasi Milenium. Sungguh keadilan masih jauh dalam hal pendidikan anak-anak Pertiwi. Sungguh kesenjangan dalam bidang pendidikan kian terasa bak langit dan bumi.
Tapi sedetik kemudian yang membuat saya sedikti tersenyum adalah laporan akhir tahun perfilman tanah air, soal box office yang justru digondol 2 film produksi tahun 2008 yang secara tema tidak mainstream (artinya jauh dari horror dan komedi seks), yakni Laskar Pelangi yang sudah mengantongi jumlah penonton hingga 4,36 juta orang diatas jumlah penonton film Ayat-Ayat Cinta (3,7 juta penonton).
Saya kemudian merenung lebih jauh, beberapa minggu lagi tahun 2008 akan berakhir. Entah apa yang akan terjadi nanti, yang jelas mau memilih senang, susah tak mau hilang! Semoga yang terbaik buat Bangsa Ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...