Sabtu, 06 Desember 2008

Apa Kabar Syuradikara?



Entah mengapa hari ini saya tiba-tiba saja begitu sering memikirkan Syuradikara? Entah mengapa pagi seakan sukses ‘meneror’ pikiranku, mengobrak-abrik sejuta perasaan dan memori pahit manis akan Syuradikara, almamater tercinta yang terakhir saya kunjungi Juni 2006 lalu. Dan memori misa pagi berbahasa Inggris justru yang pertama kali muncul di kepala ini. Jadi ingat lagu ‘Morning Has Broken’ yang kadang sudah terlalu basi untuk diulang terus sebagai lagu pembukaan misa. Aha, kembali lirik-lirik lagu ini saya senandungkan perlahan meski beberapa bagiannya sudah mulai lupa…’morning has broken like the first morning…like the first bird. Praise for the singing, praise for morning, praise for the seeking fresh from the world…ah maafkan saya jika liriknya ada yang salah. Betapa Syuradikara khususnya asrama putra Asyur sudah begitu kuatnya terpatri dibenak saya.
Hal kedua yang kembali menambah deretan panjang rasa kangen saya yakni pigor a.k.a, alias pisang goreng ala ka’e-ka’e di kantin sekolah (ka’e Ani dan ka’e Lus apa kabar yah?). Terus terang pertama kali menyantap pigor ala Syuradikara ini cukup membuat sedikit syok, ini soal sambalnya itu lho. Waduh seumur hidup waktu itu saya belum pernah makan atau melihat ada pisang goreng yang disantap dengan sambal (bukan buah cabe hijau yang bisa kita temui pada gorengan-gorengan di Jawa). Maksud saya di Timor, mungkin orang makan singkong goreng, atau pisang goreng tapi yang sedikit mentah dengan sambal terasi atau sambal tomat, bagi saya itu lumrah. Namun jika menyantap pisang goreng yang lumayan manis karena jelas pisangnya sudah matang dengan sambal tomat, cabai, belimbing dengan sedikit terasi, itu yang agak berbeda menurut saya. Jadi ingat ketika dulu setelah lidah sudah terbiasa malah akhirnya samapi pada taraf ketagihan, ya ampun, tiada hari tanpa pigor. Kalau lagi bokek alias kantong kosong maka ‘nebeng’ makan pigor pembelian teman itu solusinya. Meminjam istilah bapak kuliner Indonesia Bondan Winarno, memang ‘mak nyus’ deh pigornya ka’e Ani dan ka’e Lu situ. Kadang jika pigor masih ada sisanya, maka ‘pelabuhan’ terakhirnya adalah kamar makan anak asyur.
Kangen ketiga, suasana persahabatan antar anggota komunitas santo Mikhael, wah ini yang tak ada duanya. Kalau saya melihat soal ini bagi anak Asyur maupun Trikara, ada banyak plus-plusnya ketimbang teman-teman yang ketika bersekolah di Syuradikara, tinggal di luar asrama. Saya merasakan betul keakraban dan saling menghormati antar anggota komunitas itu berjalan begitu eratnya. Ah, sampai speechless nih, tak bisa dirangkai dalam kata. Intinya saya sebagai bagian dari komunitas memang sejak awal seolah sudah tersihir dengan ritme hidup, pola hidup serta hubungan interpersonal dalam komunitas ini. Dan saya turut menikmati hal tersebut. Misalnya hubungan antara kami anak asrama dengan saudara-saudara yang menjadi karyawan di Syuradikara, dengan ka’e kantin, dengan petugas kebersihan sekolah, dengan karyawan di bagian bengkel, bagian dapur (Trikara, Asyur maupun pastoran), ka’e-ka’e di bagian keuangan, para pastor di komunitas, para guru, Om-om sopir, Om-om di bagian perkebunan dan peternakan, semuanya begitu akrab, begitu dekat. Sesuatu yang saya rasa tak ditemui dimanapun. Ah…
Banyak hal yang saya rindukan dari Syuradikara. Ketika minggu lalu dalam hubungan pertelepon, SMS dan lewat Friendster dengan beberapa teman, banyak hal yang kami bicarakan soal Syuradikara, soal kerinduan kami ketika seragam kunging putih plus sepatu hitam begitu mengganggu saya saban Senin. Seragam hari kamis yang membuat saya kegerahan karena kain tenun motif Sabu yang begitu tebal lagi berwarna hitam yang kata bu Anas Sei banyak menyerap sinar/cahaya. Kerinduan yang entah kapan akan terobati. Soal desas-desus salah satu guru terbaik Syuradikara yang katanya tak mengajar lagi. Ah, makin menyayat hatilah saya oleh rindu yang buta ini. Maklumkan saja kata-kata saya teman-teman, inilah seorang anak buah dari Syuradikara yang mencoba bermetamorfosis, berubah wujud sekaligus warna, so jangan heran jika tentang saya segala sesuatu bisa terjadi, sayapun pernah kaget dan selalu akan kaget dengan perubahan anda-anda semua, kita semua buah-buah Syuradikara.
Sebenarnya saya ingin membiarkan rindu ini makin berlarut karena dengan itu sisi lain saya bisa muncul, membiarkan diri saya mencair dalam kata-kata di tombol-tombol kibord laptop. Hanya saja kesadaran terlampau gesit menarik maju kesadaranku, sampai sadar tubuhku sudah basah oleh keringat di siang yang panas. Panas Jogjakarta memang beberapa waktu ini sudah menghukum masyarakatnya dengan panas yang dassyat. Dan saya kembali tergopoh-gopoh memyusun kesadaran saya hingga berhenti memainkan tuts-tuts kibord, saya harus pergi sejenak dari rindu yang menggunung ini. Pulang kembali pada kesadaran, cita-cita menunggu di depan. Hey, sudah jamnya kuliah. Tuh dosenya sudah muncul.
Sampai jumpa rindu, sampai jumpa Syuradikara, secepatnya aku akan mengunjungimu, dengan ijasah sarjana psikologi di tangan, tak perlu lama lagi…
Buat teman-teman sesama alumni Syuradikara, tetap jaga memorimu akan Syuradikara, tak ada kata menyesal kok soal itu. Jamin deh. Ada waktu baik kita bersua di naungan hijau sepuasnya sambil makan pigor, atau tertawa ria di tangga pastoran, tak jauh dari pohon jambu iar yang ranum, hingga bisa jadi Ama Petu akan datang sedikit marah-marah, hush…tak boleh rebut. Ah, ama maafkan aku he-he. Love U ALL
(Jogjakarta, Desember 2008)
Entah mengapa hari ini saya tiba-tiba saja begitu sering memikirkan Syuradikara.Entah mengapa pagi seakan sukses ‘meneror’ pikiranku, mengobrak-abrik sejuta perasaan dan memori pahit manis akan Syuradikara, almamater tercinta yang terakhir saya kunjungi Juni 2006 lalu. Dan memori misa pagi berbahasa Inggris justru yang pertama kali muncul di kepala ini. Jadi ingat lagu ‘Morning Has Broken’ yang kadang sudah terlalu basi untuk diulang terus sebagai lagu pembukaan misa. Aha, kembali lirik-lirik lagu ini saya senandungkan perlahan meski beberapa bagiannya sudah mulai lupa…’morning has broken like the first morning…like the first bird. Praise for the singing, praise for morning, praise for the seeking fresh from the world…ah maafkan saya jika liriknya ada yang salah. Betapa Syuradikara khususnya asrama putra Asyur sudah begitu kuatnya terpatri dibenak saya.
Hal kedua yang kembali menambah deretan panjang rasa kangen saya yakni pigor a.k.a, alias pisang goreng ala ka’e-ka’e di kantin sekolah (ka’e Ani dan ka’e Lus apa kabar yah?). Terus terang pertama kali menyantap pigor ala Syuradikara ini cukup membuat sedikit syok, ini soal sambalnya itu lho. Waduh seumur hidup waktu itu saya belum pernah makan atau melihat ada pisang goreng yang disantap dengan sambal (bukan buah cabe hijau yang bisa kita temui pada gorengan-gorengan di Jawa). Maksud saya di Timor, mungkin orang makan singkong goreng, atau pisang goreng tapi yang sedikit mentah dengan sambal terasi atau sambal tomat, bagi saya itu lumrah. Namun jika menyantap pisang goreng yang lumayan manis karena jelas pisangnya sudah matang dengan sambal tomat, cabai, belimbing dengan sedikit terasi, itu yang agak berbeda menurut saya. Jadi ingat ketika dulu setelah lidah sudah terbiasa malah akhirnya samapi pada taraf ketagihan, ya ampun, tiada hari tanpa pigor. Kalau lagi bokek alias kantong kosong maka ‘nebeng’ makan pigor pembelian teman itu solusinya. Meminjam istilah bapak kuliner Indonesia Bondan Winarno, memang ‘mak nyus’ deh pigornya ka’e Ani dan ka’e Lu situ. Kadang jika pigor masih ada sisanya, maka ‘pelabuhan’ terakhirnya adalah kamar makan anak asyur.
Kangen ketiga, suasana persahabatan antar anggota komunitas santo Mikhael, wah ini yang tak ada duanya. Kalau saya melihat soal ini bagi anak Asyur maupun Trikara, ada banyak plus-plusnya ketimbang teman-teman yang ketika bersekolah di Syuradikara, tinggal di luar asrama. Saya merasakan betul keakraban dan saling menghormati antar anggota komunitas itu berjalan begitu eratnya. Ah, sampai speechless nih, tak bisa dirangkai dalam kata. Intinya saya sebagai bagian dari komunitas memang sejak awal seolah sudah tersihir dengan ritme hidup, pola hidup serta hubungan interpersonal dalam komunitas ini. Dan saya turut menikmati hal tersebut. Misalnya hubungan antara kami anak asrama dengan saudara-saudara yang menjadi karyawan di Syuradikara, dengan ka’e kantin, dengan petugas kebersihan sekolah, dengan karyawan di bagian bengkel, bagian dapur (Trikara, Asyur maupun pastoran), ka’e-ka’e di bagian keuangan, para pastor di komunitas, para guru, Om-om sopir, Om-om di bagian perkebunan dan peternakan, semuanya begitu akrab, begitu dekat. Sesuatu yang saya rasa tak ditemui dimanapun. Ah…
Banyak hal yang saya rindukan dari Syuradikara. Ketika minggu lalu dalam hubungan pertelepon, SMS dan lewat Friendster dengan beberapa teman, banyak hal yang kami bicarakan soal Syuradikara, soal kerinduan kami ketika seragam kunging putih plus sepatu hitam begitu mengganggu saya saban Senin. Seragam hari kamis yang membuat saya kegerahan karena kain tenun motif Sabu yang begitu tebal lagi berwarna hitam yang kata bu Anas Sei banyak menyerap sinar/cahaya. Kerinduan yang entah kapan akan terobati. Soal desas-desus salah satu guru terbaik Syuradikara yang katanya tak mengajar lagi. Ah, makin menyayat hatilah saya oleh rindu yang buta ini. Maklumkan saja kata-kata saya teman-teman, inilah seorang anak buah dari Syuradikara yang mencoba bermetamorfosis, berubah wujud sekaligus warna, so jangan heran jika tentang saya segala sesuatu bisa terjadi, sayapun pernah kaget dan selalu akan kaget dengan perubahan anda-anda semua, kita semua buah-buah Syuradikara.
Sebenarnya saya ingin membiarkan rindu ini makin berlarut karena dengan itu sisi lain saya bisa muncul, membiarkan diri saya mencair dalam kata-kata di tombol-tombol kibord laptop. Hanya saja kesadaran terlampau gesit menarik maju kesadaranku, sampai sadar tubuhku sudah basah oleh keringat di siang yang panas. Panas Jogjakarta memang beberapa waktu ini sudah menghukum masyarakatnya dengan panas yang dassyat. Dan saya kembali tergopoh-gopoh memyusun kesadaran saya hingga berhenti memainkan tuts-tuts kibord, saya harus pergi sejenak dari rindu yang menggunung ini. Pulang kembali pada kesadaran, cita-cita menunggu di depan. Hey, sudah jamnya kuliah. Tuh dosenya sudah muncul.
Sampai jumpa rindu, sampai jumpa Syuradikara, secepatnya aku akan mengunjungimu, dengan ijasah sarjana psikologi di tangan, tak perlu lama lagi…
Buat teman-teman sesama alumni Syuradikara, tetap jaga memorimu akan Syuradikara, tak ada kata menyesal kok soal itu. Jamin deh. Ada waktu baik kita bersua di naungan hijau sepuasnya sambil makan pigor, atau tertawa ria di tangga pastoran, tak jauh dari pohon jambu iar yang ranum, hingga bisa jadi Ama Petu akan datang sedikit marah-marah, hush…tak boleh rebut. Ah, ama maafkan aku he-he. Love U ALL
(Jogjakarta, Desember 2008)
Entah mengapa hari ini saya tiba-tiba saja begitu sering memikirkan Syuradikara? Entah mengapa pagi seakan sukses ‘meneror’ pikiranku, mengobrak-abrik sejuta perasaan dan memori pahit manis akan Syuradikara, almamater tercinta yang terakhir saya kunjungi Juni 2006 lalu. Dan memori misa pagi berbahasa Inggris justru yang pertama kali muncul di kepala ini. Jadi ingat lagu ‘Morning Has Broken’ yang kadang sudah terlalu basi untuk diulang terus sebagai lagu pembukaan misa. Aha, kembali lirik-lirik lagu ini saya senandungkan perlahan meski beberapa bagiannya sudah mulai lupa…’morning has broken like the first morning…like the first bird. Praise for the singing, praise for morning, praise for the seeking fresh from the world…ah maafkan saya jika liriknya ada yang salah. Betapa Syuradikara khususnya asrama putra Asyur sudah begitu kuatnya terpatri dibenak saya.
Hal kedua yang kembali menambah deretan panjang rasa kangen saya yakni pigor a.k.a, alias pisang goreng ala ka’e-ka’e di kantin sekolah (ka’e Ani dan ka’e Lus apa kabar yah?). Terus terang pertama kali menyantap pigor ala Syuradikara ini cukup membuat sedikit syok, ini soal sambalnya itu lho. Waduh seumur hidup waktu itu saya belum pernah makan atau melihat ada pisang goreng yang disantap dengan sambal (bukan buah cabe hijau yang bisa kita temui pada gorengan-gorengan di Jawa). Maksud saya di Timor, mungkin orang makan singkong goreng, atau pisang goreng tapi yang sedikit mentah dengan sambal terasi atau sambal tomat, bagi saya itu lumrah. Namun jika menyantap pisang goreng yang lumayan manis karena jelas pisangnya sudah matang dengan sambal tomat, cabai, belimbing dengan sedikit terasi, itu yang agak berbeda menurut saya. Jadi ingat ketika dulu setelah lidah sudah terbiasa malah akhirnya samapi pada taraf ketagihan, ya ampun, tiada hari tanpa pigor. Kalau lagi bokek alias kantong kosong maka ‘nebeng’ makan pigor pembelian teman itu solusinya. Meminjam istilah bapak kuliner Indonesia Bondan Winarno, memang ‘mak nyus’ deh pigornya ka’e Ani dan ka’e Lu situ. Kadang jika pigor masih ada sisanya, maka ‘pelabuhan’ terakhirnya adalah kamar makan anak asyur.
Kangen ketiga, suasana persahabatan antar anggota komunitas santo Mikhael, wah ini yang tak ada duanya. Kalau saya melihat soal ini bagi anak Asyur maupun Trikara, ada banyak plus-plusnya ketimbang teman-teman yang ketika bersekolah di Syuradikara, tinggal di luar asrama. Saya merasakan betul keakraban dan saling menghormati antar anggota komunitas itu berjalan begitu eratnya. Ah, sampai speechless nih, tak bisa dirangkai dalam kata. Intinya saya sebagai bagian dari komunitas memang sejak awal seolah sudah tersihir dengan ritme hidup, pola hidup serta hubungan interpersonal dalam komunitas ini. Dan saya turut menikmati hal tersebut. Misalnya hubungan antara kami anak asrama dengan saudara-saudara yang menjadi karyawan di Syuradikara, dengan ka’e kantin, dengan petugas kebersihan sekolah, dengan karyawan di bagian bengkel, bagian dapur (Trikara, Asyur maupun pastoran), ka’e-ka’e di bagian keuangan, para pastor di komunitas, para guru, Om-om sopir, Om-om di bagian perkebunan dan peternakan, semuanya begitu akrab, begitu dekat. Sesuatu yang saya rasa tak ditemui dimanapun. Ah…
Banyak hal yang saya rindukan dari Syuradikara. Ketika minggu lalu dalam hubungan pertelepon, SMS dan lewat Friendster dengan beberapa teman, banyak hal yang kami bicarakan soal Syuradikara, soal kerinduan kami ketika seragam kunging putih plus sepatu hitam begitu mengganggu saya saban Senin. Seragam hari kamis yang membuat saya kegerahan karena kain tenun motif Sabu yang begitu tebal lagi berwarna hitam yang kata bu Anas Sei banyak menyerap sinar/cahaya. Kerinduan yang entah kapan akan terobati. Soal desas-desus salah satu guru terbaik Syuradikara yang katanya tak mengajar lagi. Ah, makin menyayat hatilah saya oleh rindu yang buta ini. Maklumkan saja kata-kata saya teman-teman, inilah seorang anak buah dari Syuradikara yang mencoba bermetamorfosis, berubah wujud sekaligus warna, so jangan heran jika tentang saya segala sesuatu bisa terjadi, sayapun pernah kaget dan selalu akan kaget dengan perubahan anda-anda semua, kita semua buah-buah Syuradikara.
Sebenarnya saya ingin membiarkan rindu ini makin berlarut karena dengan itu sisi lain saya bisa muncul, membiarkan diri saya mencair dalam kata-kata di tombol-tombol kibord laptop. Hanya saja kesadaran terlampau gesit menarik maju kesadaranku, sampai sadar tubuhku sudah basah oleh keringat di siang yang panas. Panas Jogjakarta memang beberapa waktu ini sudah menghukum masyarakatnya dengan panas yang dassyat. Dan saya kembali tergopoh-gopoh memyusun kesadaran saya hingga berhenti memainkan tuts-tuts kibord, saya harus pergi sejenak dari rindu yang menggunung ini. Pulang kembali pada kesadaran, cita-cita menunggu di depan. Hey, sudah jamnya kuliah. Tuh dosenya sudah muncul.
Sampai jumpa rindu, sampai jumpa Syuradikara, secepatnya aku akan mengunjungimu, dengan ijasah sarjana psikologi di tangan, tak perlu lama lagi…
Buat teman-teman sesama alumni Syuradikara, tetap jaga memorimu akan Syuradikara, tak ada kata menyesal kok soal itu. Jamin deh. Ada waktu baik kita bersua di naungan hijau sepuasnya sambil makan pigor, atau tertawa ria di tangga pastoran, tak jauh dari pohon jambu iar yang ranum, hingga bisa jadi Ama Petu akan datang sedikit marah-marah, hush…tak boleh rebut. Ah, ama maafkan aku he-he. Love U ALL
(Jogjakarta, Desember 2008)cul di kepala ini. Jadi ingat lagu ‘Morning Has Broken’ yang kadang sudah terlalu basi untuk diulang terus sebagai lagu pembukaan misa. Aha, kembali lirik-lirik lagu ini saya senandungkan perlahan meski beberapa bagiannya sudah mulai lupa…’morning has broken like the first morning…like the first bird. Praise for the singing, praise for morning, praise for the seeking fresh from the world…ah maafkan saya jika liriknya ada yang salah. Betapa Syuradikara khususnya asrama putra Asyur sudah begitu kuatnya terpatri dibenak saya.
Hal kedua yang kembali menambah deretan panjang rasa kangen saya yakni pigor a.k.a, alias pisang goreng ala ka’e-ka’e di kantin sekolah (ka’e Ani dan ka’e Lus apa kabar yah?). Terus terang pertama kali menyantap pigor ala Syuradikara ini cukup membuat sedikit syok, ini soal sambalnya itu lho. Waduh seumur hidup waktu itu saya belum pernah makan atau melihat ada pisang goreng yang disantap dengan sambal (bukan buah cabe hijau yang bisa kita temui pada gorengan-gorengan di Jawa). Maksud saya di Timor, mungkin orang makan singkong goreng, atau pisang goreng tapi yang sedikit mentah dengan sambal terasi atau sambal tomat, bagi saya itu lumrah. Namun jika menyantap pisang goreng yang lumayan manis karena jelas pisangnya sudah matang dengan sambal tomat, cabai, belimbing dengan sedikit terasi, itu yang agak berbeda menurut saya. Jadi ingat ketika dulu setelah lidah sudah terbiasa malah akhirnya samapi pada taraf ketagihan, ya ampun, tiada hari tanpa pigor. Kalau lagi bokek alias kantong kosong maka ‘nebeng’ makan pigor pembelian teman itu solusinya. Meminjam istilah bapak kuliner Indonesia Bondan Winarno, memang ‘mak nyus’ deh pigornya ka’e Ani dan ka’e Lu situ. Kadang jika pigor masih ada sisanya, maka ‘pelabuhan’ terakhirnya adalah kamar makan anak asyur.
Kangen ketiga, suasana persahabatan antar anggota komunitas santo Mikhael, wah ini yang tak ada duanya. Kalau saya melihat soal ini bagi anak Asyur maupun Trikara, ada banyak plus-plusnya ketimbang teman-teman yang ketika bersekolah di Syuradikara, tinggal di luar asrama. Saya merasakan betul keakraban dan saling menghormati antar anggota komunitas itu berjalan begitu eratnya. Ah, sampai speechless nih, tak bisa dirangkai dalam kata. Intinya saya sebagai bagian dari komunitas memang sejak awal seolah sudah tersihir dengan ritme hidup, pola hidup serta hubungan interpersonal dalam komunitas ini. Dan saya turut menikmati hal tersebut. Misalnya hubungan antara kami anak asrama dengan saudara-saudara yang menjadi karyawan di Syuradikara, dengan ka’e kantin, dengan petugas kebersihan sekolah, dengan karyawan di bagian bengkel, bagian dapur (Trikara, Asyur maupun pastoran), ka’e-ka’e di bagian keuangan, para pastor di komunitas, para guru, Om-om sopir, Om-om di bagian perkebunan dan peternakan, semuanya begitu akrab, begitu dekat. Sesuatu yang saya rasa tak ditemui dimanapun. Ah…
Banyak hal yang saya rindukan dari Syuradikara. Ketika minggu lalu dalam hubungan pertelepon, SMS dan lewat Friendster dengan beberapa teman, banyak hal yang kami bicarakan soal Syuradikara, soal kerinduan kami ketika seragam kunging putih plus sepatu hitam begitu mengganggu saya saban Senin. Seragam hari kamis yang membuat saya kegerahan karena kain tenun motif Sabu yang begitu tebal lagi berwarna hitam yang kata bu Anas Sei banyak menyerap sinar/cahaya. Kerinduan yang entah kapan akan terobati. Soal desas-desus salah satu guru terbaik Syuradikara yang katanya tak mengajar lagi. Ah, makin menyayat hatilah saya oleh rindu yang buta ini. Maklumkan saja kata-kata saya teman-teman, inilah seorang anak buah dari Syuradikara yang mencoba bermetamorfosis, berubah wujud sekaligus warna, so jangan heran jika tentang saya segala sesuatu bisa terjadi, sayapun pernah kaget dan selalu akan kaget dengan perubahan anda-anda semua, kita semua buah-buah Syuradikara.
Sebenarnya saya ingin membiarkan rindu ini makin berlarut karena dengan itu sisi lain saya bisa muncul, membiarkan diri saya mencair dalam kata-kata di tombol-tombol kibord laptop. Hanya saja kesadaran terlampau gesit menarik maju kesadaranku, sampai sadar tubuhku sudah basah oleh keringat di siang yang panas. Panas Jogjakarta memang beberapa waktu ini sudah menghukum masyarakatnya dengan panas yang dassyat. Dan saya kembali tergopoh-gopoh memyusun kesadaran saya hingga berhenti memainkan tuts-tuts kibord, saya harus pergi sejenak dari rindu yang menggunung ini. Pulang kembali pada kesadaran, cita-cita menunggu di depan. Hey, sudah jamnya kuliah. Tuh dosenya sudah muncul.
Sampai jumpa rindu, sampai jumpa Syuradikara, secepatnya aku akan mengunjungimu, dengan ijasah sarjana psikologi di tangan, tak perlu lama lagi…
Buat teman-teman sesama alumni Syuradikara, tetap jaga memorimu akan Syuradikara, tak ada kata menyesal kok soal itu. Jamin deh. Ada waktu baik kita bersua di naungan hijau sepuasnya sambil makan pigor, atau tertawa ria di tangga pastoran, tak jauh dari pohon jambu iar yang ranum, hingga bisa jadi Ama Petu akan datang sedikit marah-marah, hush…tak boleh rebut. Ah, ama maafkan aku he-he. Love U ALL
(Jogjakarta, Desember 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...